Dalam menjalani suatu tugas ataupun aktivitas, beberapa orang seringkali merasa tak puas dan cenderung pasrah. Mereka merasa jika apa yang dilakukan selalu tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Tak heran jika acapkali timbul rasa rendah diri jika dibandingkan dengan pencapaian orang lain.

Pada dasarnya, perasaan rendah diri terhadap sebuah pencapaian timbul dari diri orang tersebut. Ia berpedoman jika harus sesuai dengan harapan, agar terkesan wow dimata orang lain. Dari sinilah muncul adanya sikap perfeksionis yang seakan wajib diterapkan.

Mengenal lebih jauh tentang perfeksionis itu sendiri

Perfeksionis sejatinya bukanlah tolak ukur keberhasilan seseorang. Sikap ini timbul karena kita merasa harus terlihat sempurna di bidang apapun. Jangan sampai orang lain mengetahui kekurangan atau kelemahan kita. Cukuplah diri sendiri yang merasakan itu semua. Haruskah menjadi perfeksionis di mata orang lain?

            Terdapat dua pandangan yang menjawab pertanyaan di atas. Pertama, perfeksionis di mata orang lain sangat diperlukan. Kedua, Tidak perlu menjadi perfeksionis di mata orang lain. Mengapa terjadi perbedaan pemikiran tersebut?

            Menjadi perfeksionis memang terkadang diperlukan, namun bukan berarti menjadi sebuah kewajiban. Itu tergantung dari pemikiran diri sendiri, mau jadi perfeksionis atau jadi apa adanya. Mereka yang ingin perfeksionis biasanya dituntut oleh keadaan. Di mana ia harus mampu melakukan hal tersebut agar tak diremehkan oleh orang lain.

            Sebagai generasi milenial, saya merasa jika perfeksionis dalam diri harus dilakukan. Ya, sejatinya perfeksionis itu ada di mata kita sendiri. Orang lain belum tentu tahu apakah yang kita lakukan itu perfeksionis atau tidak. Karena mereka hanya melihat hasilnya saja, tanpa mengetahui bagaimana prosesnya.

            Dalam penggambaran perfeksionis ini, akan saya berikan contoh dengan pengalaman pribadi. Saya merupakan seorang pelajar dengan background prestasi akademik yang mumpuni. Dari jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas, saya sudah terbiasa menjadi juara kelas. Maka, tak heran jika timbul jiwa ambisius jika saya harus bisa mempertahankan ataupun menambah pencapaian tersebut.

             Ketika menuruti sikap ambisius tersebut, seringkali saya merasakan jatuh bangun dalam mewujudkannya. Saat saya berhasil mencapai target, maka banyak orang yang bangga. Namun, ketika saya jatuh , maka banyak pula yang kecewa. Siapakah orang yang saya maksud?

            Keluarga. Ya, merekalah yang akan merasakan itu semua. Oleh karena itu, setiap melakukan suatu pekerjaan saya berusaha untuk perfeksionis agar mendapatkan hasil sesuai dengan target. Siapa sih yang tidak mau dibanggakan oleh keluarga sendiri? Saya pikir semua orang pasti menginginkannya.

Jatuh bangun dalam mempraktikannya

            Dalam mencapai perfeksionis ini tentu tidaklah mudah. Ketika menjalani ujian sekolah, maka saya akan belajar dengan sungguh-sungguh hingga merasa cukup. Saya belajar dengan cara membuat rangkuman pribadi untuk memudahkan saya menghafal pelajaran yang akan diujikan. Mulai dari membaca buku, mencatat ketika dijelaskan guru, mempelajari soal-soal tahun lalu, dan berselancar di Google jika perlu. Nah, setelah saya merasa cukup maka saya akan berhenti.

            Terbukti dengan proses belajar di atas, saya berhasil dan dinobatkan sebagai  ranking dua paralel sekolah. Ketika saya berhasil, maka keluarga, guru, dan teman-teman pasti bangga dengan pencapaian saya. Tak heran jika sikap perfeksionis menjadi kewajiban tersendiri bagi saya dalam melakukan apapun.

            Contoh lain, selain berpacu pada prestasi akademik, saya juga berkecimpung di organisasi. Saya mengikuti dua organisasi eksternal sekolah, yaitu Ruang Edit dan Mentor Lulus Kampus. Di kedua komunitas tersebut, saya ditugaskan sebagai divisi editing.

            Dalam menjalani komunitas di bidang editing, tentunya sikap perfeksionis sangatlah dibutuhkan.  Sebagai anak edit tentu merasa tersinggung jika hasil editan kami dianggap jelek dimata orang lain. Maka, tak heran jika saya berusaha memberikan yang terbaik dimata saya dan dimata orang lain. Alasannya, gengsi lah.

            Di komunitas editing tersebut, saya bertugas di bidang poster. Setiap diadakan suatu acara, maka saya akan membuat poster terkait kegiatan tersebut. Begitupun pasca acara, saya harus membuat poster dokumentasi kegiatan yang akan di-upload di media sosial komunitas tersebut.

Tentunya perlu ketelitian dan kecermatan dalam membuat poster tersebut. Karena dalam poster tidak hanya isinya saja yang dilihat, namun juga keindahan poster tersebut. Jika editan poster tersebut indah, aesthetic, dan menarik, tentunya akan menggugah minat pembaca. Namun jika poster yang kita buat amburadul, maka pembaca tak akan melirik isi dari poster tersebut.

Oleh karena itu, perfeksionis dalam dunia editing sangat diperlukan. Perfeksionis disini dilihat dari dua sisi, yaitu perfeksionis dimata pembuat karya dan perfeksionis di mata penikmat karya. Karena sejatinya, perfeksionis dimata diri sendiri belum tentu perfeksionis di mata orang lain. Maka, perlu juga melihat selera orang lain.

Lantas, bagaimana cara membangun perfeksionis di mata orang lain?

            Salah satu cara yang saya lakukan agar terlihat perfeksionis di mata orang lain adalah dengan memberikan hasil kinerja saya kepada teman dekat. Saya menyuruhnya untuk berkomentar terkait karya saya dan apa yang menurutnya kurang layak. Jika ia tertarik dan paham dengan maksud karya saya, maka bisa dibilang kinerja saya sempurna dimata orang lain. Namun, jika karya saya malah membingungkan dan tidak terbaca, maka saya belum berhasil dalam mengerjakan karya tersebut. Artinya, saya gagal dimata orang lain.

            Dari pemberian evaluasi terhadap karya kita, maka kita akan tahu apa kekurangannya. Kemudian kita bisa merevisi agar orang lain puas dengan kinerja kita. Jika sudah maka karya tersebut bisa dipublikasikan. Ketika orang lain mengapresiasi karya kita, maka sejatinya kita telah berhasil menjadi perfeksionis dimatanya.

            Namun, perfeksionis bukanlah kunci. Itu semua tergantung dari pilihan diri. Kita ingin terlihat sempurna dimata orang lain, maka berusahalah perfeksionis di depannya. Jika kita merasa cukup puas pada pencapaian diri,  namun kurang dimata orang lain, itu tidaklah masalah.

            Jadilah perfeksionis dimata diri sendiri. Itu menjadi langkah pertama jika ingin perfeksionis di mata orang lain. Karena jika ingin sempurna di mata orang lain, perlu adanya kepuasan diri sendiri. Berusahalah bangga terhadap pencapaian diri sendiri dan janganlah berpacu pada pencapaian orang lain. Kamu hebat dan bermartabat. Kamu sempurna dan luar biasa. Kamu baik dan tunjukkan yang terbaik.

Editor: Nawa

Gambar: google.com