Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Bahwa publik akan selalu menerima dan menganggap sesuatu adalah penting karena media telah memilihkannya dan menganggap sesuatu itu sebagai hal yang penting.

Sepenggal ungkapan diatas pernah diutarakan oleh mendiang Rusdi Mathari, seorang wartawan, atau lebih tepatnya sosok yang peduli banyak pada dunia media di tanah air dalam salah satu bukunya. Belakangan kita bisa melihat bahwa, banyak sekali hal-hal yang sebenarnya sangatlah tak penting untuk diketahui, namun begitu sering dikabarkan sehingga lambat laun mendistorsi fokus dari isu yang lebih urgen.

Melawan Berita Receh

Sebagian publik telah menyadari hal itu dan mereka resah.“Kok bisa ya media sekelas A beritain hal receh kaya gini?” ungkap seorang warganet mengomentari unggahan berita salah satu media besar di Indonesia tentang Nia Ramadhani Bakrie yang ternyata keheranan dengan harga tiket KRL yang menurutnya terlalu murah . Nia juga pernah banyak diberitakan saat  tak mampu mengupas kulit buah salak. Sebagai orang yang bisa sekolah karena hasil kebun salak saya jadi miris.

Diluar topik orang terkenal yang tak penting, muncul beberapa isu tak substansial seperti Sunda Empire dan Keraton Sejagat yang gempar awal tahun 2020 lalu. Ambil contoh dari detik.com, salah satu media massa daring ini sampai menayangkan 444 artikel dengan tag Sunda Empire.

Tak bisa dipungkiri, setidak penting apapun hal jika subyeknya adalah selebriti atau tokoh tersohor ya punya nilai berita. Sebab mereka memiliki nilai prominence atau keterkenalan yang menjadi salah satu pertimbangan.

Dari sekian banyak kemungkinan kenapa media-media nasional, terutama media daring tak henti-hentinya menerbitkan informasi receh yang jelas nirfaedah ini yang jelas adalah fakta bahwa pembacanya tak sedikit. Termasuk anda.

Melihat kebutuhan media terhadap jumlah klik dan share memang begitu besar dan kadangkala mengalahkan nilai urgensi informasi yang dibagikan itu untuk masyarakat. Hal yang perlu digaris bawahi, media massa sejatinya memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang memiliki nilai penting bagi khalayak.

Seringkali saya merasa senang saat mencibir berita sampah tersebut di twitter. Dalam batin, ah ternyata saya kritis juga, tau berita yang sampah dan yang berkualitas.Tapi saya kemudian berpikir. Jangan-jangan saat saya ikut-ikutan berkomentar pedas tentang unggahan berita nirfaedah di sosial media justru semakin menguntungkan media bersangkutan?

Sebab secara tidak langsung saya pun turut membagikan berita itu di linimasa sosial media saya. Kemudian banyak pengikut yang penasaran seberapa sampah berita itu lalu membacanya. Mereka pun ikut berkomentar serta membagikan tulisan itu. Seterusnya sampai akhirnya menjadi viral dan menduduki deretan tulisan trending di media yang bersangkutan.

Mungkin itulah alasan mengapa media massa secara terus menerus memproduksi konten nirfaedah yang tidak ada urgensinya bagi publik. Sebab pembacanya ada dan terus bertambah seiring semakin banyaknya warganet yang menghujatnya.

Pelaku Media Dilanda Dilema

Jangan dikira orang-orang media termasuk para wartawan yang menulis berita-berita itu tak paham seberapa tak penting hal yang mereka tuliskan tersebut. Media pasti melakukan riset pasar, memahami karakter audiens mereka.

Mungkin saja kenyataannya adalah hasil riset tersebut menunjukkan kecenderungan masyarakat Indonesia sangat doyan dicekoki konten yang tidak penting tersebut daripada hal-hal yang menyangkut kepentingan publik.

Kadangkala jika menemui berita yang sedemikian receh, merisak penulis artikel atau wartawan yang menulis berita tersebut juga sebenarnya tak  berpengaruh besar. Lha kan sebenarnya media massa itu sebuah entitas yang kompleks, wartawan hanya punya kendali secuil dari sebuah sistem yang besar. Disitu ada juga pemilik bisnis yang belum karuan punya perhatian banyak pada idealisme jurnalis.

Pasti para pelaku media juga dilanda dilema, sebab kalau cuma menurunkan artikel yang mereka anggap penting hanya sedikit pembacanya. Karena realitanya media itu ladang bisnis yang harus meraih pundi-pundi rupiah untuk memberi makan setiap wartawan dan semua karyawannya.

Melawan Dalam Diam

Memang selayaknya perkara ini harus kita lihat dengan kacamata yang lebih luas. Semua ini adalah persoalan ribet yang kalau dipikir-pikir tak selesai atau bahkan bertambah parah jika hanya dengan pola mencibir berita di sosmed yang begini-begini saja. Sebab perkara berita yang sedang dibahas ini masih di tataran kualitas, bukan fakta atau hoaks.

Fenomenanya akan lebih hitam putih jika kita berbicara penyebaran fake news ataupun berita hoaks, sebab penulis atau orang yang menyebar luaskannya bisa diadili secara hukum dan lebih mudah memberikan efek jera. Lha kalau berita receh? Mentok-mentok diadili di mahkamah sosmed dan beritanya pun tambah viral.

Tujuan akhirnya adalah membuat kita bahkan sama sekali tidak perhatian dan bahkan untuk nyinyir pun malas kepada artikel-artikel sampah itu. Bukan malah membuat hal-hal itu menjadi semakin viral. Sebab jika pelaku media tahu pasarnya juga mulai gak doyan berita receh, tentu mereka akan meningkatkan kualitas.

Maka perlu dipikirkan lagi cara dan medium baru untuk kritik berita receh tanpa membuatnya viral. Tentu hal ini bakalan menjadi perjalanan panjang. Sepanjang apa? Tergantung bisa secepat apa publik menyadari pentingnya literasi media.

Stop making stupid news viral!

 

Penulis: Hammam Izzuddin

Mahasiswa Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta dan Pimpinan Redaksi Majalah Kuntum.

 

Ilustrator: Ni’mal Maula