Jepang adalah salah satu negara yang masih memegang kuat ideologi patriarki. Laki-laki dianggap lebih unggul dan superior dibandingkan perempuan.
Fenomena patriarki ini diproyeksikan dalam salah satu novel bergenre detektif karya Keigo Higashino berjudul ‘Salvation of a Saint’ atau bahasa Jepangnya “Seijo no Kyuusai”. Akhir-akhir ini saya memang sedang giat-giatnya membaca novel bergenre misteri dengan tokoh utama detektif sebagai pemecah masalah.
Saya akui, Keigo Higashino-sensei memang jago dalam mengeksekusi sebuah cerita ditambah banyaknya plot twist yang tidak terduga.
Sebelum membahas sinopsisnya, saya peringatkan tulisan ini mengandung spoiler bagi yang belum membaca. Novel ‘Salvation of a Saint’ merupakan serial Detektif Galileo.
Secara umum, novel ini menggambarkan kehidupan rumah tangga yang terlihat harmonis, tetapi sebetulnya tidak harmonis-harmonis banget juga. Pasangan suami-istri Mashiba Yoshitaka dan Mashiba Ayane (nama gadisnya Mita Ayane) baru menjalani bahtera rumah tangga satu tahun lamanya.
Yoshitaka bekerja sebagai direktur sebuah perusahaan IT dan Ayane bekerja sebagai guru kerajinan kain perca termasyhur di Jepang. Mereka tinggal di sebuah kawasan perumahan elit.
Rupanya dalam pernikahan tersebut, mereka telah membuat perjanjian. Apabila dalam kurun waktu satu tahun usia pernikahan Ayane tidak juga mengandung, maka Yoshitaka akan menceraikannya.
Dari sinilah cerita ‘Salvation of a Saint’ dimulai. Suatu hari Ayane memutuskan pulang ke kampung halamannya di Hokkaido dan meninggalkan Yoshitaka sendirian di rumah.
Wakayama Hiromi, murid kesayangan sekaligus asisten Ayane menemukan Yoshitaka tewas mendadak dengan secangkir kopi yang tumpah di sebelahnya. Polisi sempat menduga Yoshitaka bunuh diri. Namun, setelah menemukan beberapa petunjuk barulah terungkap bahwa sebenarnya ini adalah pembunuhan dengan kopi beracun.
Sejak awal pelaku pembunuhan sebetulnya sudah bisa ditebak yakni Mashiba Ayane karena dia memiliki motif yang paling kuat. Saya juga sempat curiga pada Wakayama Hiromi karena ternyata dia adalah… jangan deh. Nanti tambah spoiler.
Utsumi Kaoru dan Kusanagi, penyidik dari Kepolisian Metropolitan berusaha memecahkan kasus ini. Tetapi Utsumi memandang Kusanagi terlalu menaruh rasa empati yang besar (dan diduga memiliki rasa pribadi) terhadap Ayane sehingga menganggap penilaian Kusanagi terkesan subjektif.
Akhirnya Utsumi meminta Profesor Manabu Yukawa yang dijuluki Detektif Galileo untuk memecahkan kasus pembunuhan yang ternyata rumit ini.
Lantas, bagaimana caranya seorang Ayane memasukkan racun ke dalam kopi Yoshitaka sementara dia berada ribuan kilometer dari rumahnya? Profesor Yukawa pun mengungkap trik pembunuhan tersebut tahap demi tahap secara halus bagai kepingan puzzle hingga tercipta sebuah kesimpulan yang cukup bikin saya seperti tukang keong. Sekali lagi, Keigo Higashino memang jenius.
Lalu apa yang menarik dari novel ini? Ya, saya rasa premis yang diangkat dalam novel ini sebenarnya bisa relate juga dengan kehidupan rumah tangga di Indonesia.
Sayangnya, belum banyak penulis-penulis lokal yang berani mengangkat tema detektif begini. Atau kalaupun ada, mungkin kurang laku karena kebanyakan pembaca kita lebih berminat pada genre romansa, drama, horor atau komedi. Genre-genre tadi lebih banyak meraih atensi.
Menulis sebuah cerita bergaya misteri memang susah susah gampang. Tapi serius deh, melihat fenomena rumah tangga masyarakat Indonesia yang gagal dan kemudian terekspos di berita televisi maupun internet sebenarnya bisa dijadikan premis sebuah novel detektif.
Berita-berita kasus pembunuhan antara pasangan suami istri, orang tua membunuh anak dan sebaliknya, semua bisa dijadikan ide novel kriminal.
Saya kemudian teringat pada fenomena poligami Coach Hafidin yang beberapa waktu lalu sempat ramai di Twitter. Salah satu penganut budaya patriarki juga. Sebelumnya saya memang sudah pernah mendengar nama blio sekitar dua tahun lalu, pernah lihat di sebuah pamflet di Twitter juga. Pertama kali melihatnya, saya heran, kok ada ya orang yang menjadikan poligami sebagai komoditas?
Narasi Newsroom berhasil mengemas liputan bersama Coach Hafidin secara ciamik sampai bikin penontonnya emosi. Salut sama reporternya, bisa tahan emosi selama wawancara.
Saya sangat tercengang begitu mendengar statement pria paruh baya tersebut saat bercerita tentang dirinya yang sempat menceraikan salah satu istrinya karena sudah menopause dan tidak bisa lagi menghasilkan anak, bentuk patriarki yang kental.
Nah, Mashiba Yoshitaka ini sebelas dua belas sama Coach Hafidin. Ngeselin, bikin mangkel, emosi naik sampai ubun-ubun. Mungkin Mashiba Yoshitaka memang Coach Hafidin versi warga Jepang dan fiktif.
Kalau di Jepang ada aturan boleh poligami, sudah pasti Yoshitaka menduakan Ayane dan menikah diam-diam dengan Wakayama Hiromi. Ups, bocor deh. Intinya orang modelan begini pasti ada dan jumlahnya tidak sedikit. Tersedia di seluruh dunia, nggak cuma Indonesia dan Jepang. Hati-hati aja buat perempuan.
Artinya dapat disimpulkan bahwa mereka berdua, yang satu karakter fiktif, yang satu manusia betulan, sama-sama memandang perempuan sebagai mesin penghasil anak.
Budaya patriarki satu ini memang harus dihilangkan. Tidak dapat dimungkiri pula bahwa mengandung, melahirkan, dan menyusui adalah kodrat perempuan. Tetapi apakah perempuan pantas mendapat perlakuan demikian? Tentu tidak.
Pernikahan bukan sekadar ajang menghasilkan keturunan dan menyalurkan nafsu, melainkan juga ajang untuk memahami karakter satu sama lain, belajar saling menghargai, dan mengesampingkan ego.
Kembali ke novel, di dunia nyata, tindakan Ayane membunuh suaminya sendiri tidak dibenarkan juga. Meski saya akui Ayane memang penjahat ulung dan tak kalah jenius dari Profesor Yukawa dalam menyusun motif pembunuhan.
Makanya, penting bagi perempuan untuk melakukan tindakan preventif alias kalau sedang bucin, tolong akal sehatnya tetap dipertahankan. Kalau sudah melihat gelagat aneh dari pasangan, lebih baik akhiri daripada dipaksakan lanjut ke jenjang pernikahan. Namun kalau sejak pacaran tidak terdeteksi sama sekali, sulit juga ya. Itulah pentingnya berdoa.
Editor: Ciqa
Gambar : Tehila Lashem. con
Comments