Saat pertama kali membaca cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo, saya dibuat tercengang dan terheran-heran. Kok ada sih, orang yang punya ide sekeren ini, dan mampu menarasikannya dengan sangat baik?—kiranya begitulah respons yang saya berikan. Saya mampu larut dan terhanyut dalam cerita yang disusun oleh Kuntowijoyo melalui bahasa yang sederhana, tetapi terasa begitu dalam.

Kuntowijoyo mampu mengutarakan pendapatnya mengenai kesenjangan antara laki-laki dan perempuan melalui sebuah narasi yang begitu mudah dan nikmat untuk dilahap. Namun, lebih dari sekadar kesenjangan! Saya rasa, dalam cerpen ini, Kuntowijoyo juga mengajak pembacanya untuk larut dan ikut mendalami bagaimana perasaan seorang perempuan yang menjadi istri sekaligus menjadi seorang ibu dalam menghadapi kehidupan. Yang digambarkan oleh Kuntowijoyo tak lain adalah hal-hal yang lumrah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Gambaran mengenai perasaan seorang ibu saya temukan dalam cerpen ini ketika Kuntowijoyo menarasikan bagaimana sosok ayah melarang Buyung (sosok anak laki-laki) yang berdiam diri di dalam kamar melalui kalimat, “Untuk apa di kamar, heh, laki-laki mesti di luar kamar!”. Atau ketika sosok ayah melarang Buyung mengumpulkan bunga-bunga dan mengoleksi di dalam kamarnya melalui kalimat, “Engkau mulai cengeng, Buyung. Boleh ke sungai untuk berenang, bukan mencari bunga.” dan melalui narasi sosok ayah yang menyuruh Buyung untuk membuang bunga-bunga dalam panci yang disimpan di kamarnya.

Sosok istri yang juga seorang ibu di dalam cerpen ini digambarkan bahwa ia mencoba untuk mampu menyeimbangkan bagaimana caranya bersikap, antara menjadi istri yang baik dan ibu yang baik secara sekaligus. Hal ini saya temukan dalam kalimat, “Keluarlah cepat. Peganglah apa saja. Sapu atau apa. Cepatlah.”. Melalui kalimat yang dilontarkan oleh sosok ibu di situ, saya menemukan sebuah kekhawatiran seorang ibu yang takut kalau anak lelakinya akan dimarahi oleh ayahnya jika hanya berdiam diri di dalam kamar. Namun, melalui kalimat itu, saya juga menangkap kekhawatiran seorang istri yang takut akan dimarahi oleh suaminya karena membiarkan anak lelakinya hanya berdiam diri di dalam kamar.

Saya rasa, gambaran yang diberikan oleh Kuntowijoyo atas hal-hal yang dilakukan oleh seorang ibu ketika suaminya melarang anaknya berdiam diri di kamar dan ketika suaminya melarang anaknya menyukai bunga-bunga, adalah respons yang juga akan saya lakukan kalau saya ada di posisi tersebut—ini merupakan pendapat berdasarkan dari apa yang saya rasakan sebagai seorang perempuan muda lajang, yang punya kekhawatiran tentang bagaimana kehidupan yang akan saya lalui jika sudah menjadi seorang istri, atau bahkan seorang ibu.

Lalu ketika sampai pada halaman ke-18 dalam cerpen ini, saya semakin dibuat tercengang oleh dialog yang dilontarkan oleh Buyung—bocah lelaki yang masih duduk di bangku sekolah dasar—kepada ibunya. “Ibu, katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin?”. Di situ, Kuntowijoyo menggambarkan respons seorang ibu dengan tertegun, berdiri kaku, tidak berkutik, dan bahkan matanya merah seperti menangis. Ketika membaca dialog tersebut, saya ingin sekali berteriak di hadapan Kuntowijoyo, “Hey, saya juga akan seperti itu  jika anak saya yang masih kecil berbicara sebijak itu mengenai kehidupan!” dan setelah itu, saya akan dengan gagah mengucapkan, “Kekerenan Anda ini tidak waras!” meski terkesan tidak tahu malu.

Berlebihan memang, tapi melalui cerpen ini, saya sebagai perempuan merasa sangat terwakilkan. Kekhawatiran yang saya miliki terkait bagaimana jika nanti menjadi seorang istri dan seorang ibu, dijawab dan digambarkan dengan begitu baik oleh Kuntowijoyo. Kebingungan yang dirasakan oleh seorang istri dan ibu dalam menyikapi anak dan suaminya yang memiliki watak bertolak belakang ini juga sangat bisa saya rasakan.

Melalui cerpen ini, saya bukan hanya mendapatkan sebuah cerita, tetapi saya juga dapat belajar untuk semakin mengerti dan mendalami. Ternyata, menjadi perempuan memang begitu berat, tapi juga hebat. Ketika perempuan menjadi seorang istri, ia dituntut untuk patuh pada suami. Ketika perempuan menjadi seorang ibu, nurani dan kasih sayangnya menjadi begitu besar kepada anaknya, lebih besar ketika ia belum menjadi seorang ibu.

Dan ketika dihadapkan pada posisi keduanya, yaitu menjadi seorang istri dan seorang ibu, hal itu menjadi sebuah “anugerah sekaligus bencana” yang membuat perempuan menjadi lebih dari sekadar ketar-ketir dalam menyeimbangkan sosok keduanya yang ada dalam satu tubuh, yaitu dirinya. Bahkan, tidak jarang, perempuan juga bisa kehilangan nilai dirinya sendiri karena termakan oleh status sebagai istri dan ibu. Maka dari itu, di dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo, penyampaian pesan yang begitu dalam terkait kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, juga terkait betapa “keren”-nya menjadi seorang ibu, menurut saya tersampaikan dengan sangat baik.

Editor :Ciqa

Gambar: Pexels