Ada yang pernah baca buku berjudul Rich Dad Poor Dad? Buat kamu-kamu dari kalangan generasi X seperti saya pasti pernah baca. Malah, bisa jadi sudah khatam buku seri lanjutannya macam The Cashflow Quadrant dan Rich Kid Smart Kid. Buku-buku karya Robert T Kiyosaki ini memang sempat hype pada zamannya. Wajar saja, dalam bukunya itu beliau menyampaikan satu konsep yang belum pernah dipahami banyak orang ketika itu: kebebasan finansial.

Konsep yang disampaikan dalam buku itu memang bagus. Beliau mengurai empat tipe manusia ke dalam bentuk kuadran berdasarkan caranya memperoleh pendapatan. Ada yang namanya Employee, Self-Employee, Business Owner, dan Investor. Di antara keempat tipe itu, Business Owner dan Investor dianggap sebagai kasta tertinggi karena kemampuannya membuat uang bekerja untuk mereka, bukan mereka yang bekerja untuk uang. Keren, kan?

Tapi, yang bikin saya enek adalah cerita pengantar di buku itu. Beliau menyampaikan bahwa teori kebebasan finansial ini terinspirasi dari kedua ayahnya. Yang pertama adalah ayah kandungnya yang berpendidikan tinggi, seorang pegawai pemerintah, tapi gajinya pas-pasan dan hidup miskin. Sedangkan ayah yang kedua adalah ayah temannya yang pendidikannya enggak terlalu tinggi, orang biasa, tapi mampu menghasilkan banyak uang. Dan, keduanya, ayah yang miskin dan ayah yang kaya itu, selalu dibanding-bandingkan untuk memperkuat konsep tentang kebebasan finansial itu.

Membanding-bandingkan ayah yang miskin dan ayah yang kaya beserta latar belakang yang berbeda jelas enggak apple-to-apple. Dampaknya enggak bagus dan bahkan bisa jadi toxic buat sebagian pembacanya. Seenggaknya, saya mencatat ada tiga hal yang bisa jadi pemikiran toxic di buku Rich Dad Poor Dad itu.

Pertama, menyepelekan pendidikan formal di sekolah. Dalam buku Rich Dad Poor Dad ini digambarkan bahwa ayah pertama yang berpendidikan tinggi hidupnya miskin karena enggak punya kebebasan finansial. Hidupnya hanya mengandalkan dari gaji tiap bulan. Memang betul, pendidikan tinggi bukan jaminan untuk jadi kaya raya.

Tapi, saya khawatir ada pembaca yang berpikir: buat apa sekolah kalau ujung-ujungnya tetap miskin? Ini jelas pemikiran yang sesat. Padahal, pendidikan di sekolah itu penting buat semua orang. Seenggaknya pendidikan itu jadi sarana untuk mengembangkan cara berpikir, belajar mencari solusi, belajar mengatasi konflik, dan tentu saja memperluas wawasan.

Kedua, menganggap rendah status pegawai. Seperti yang sudah dibilang tadi, tipe Business Owner dan Investor adalah kasta tertinggi dalam kuadran tipe manusia berdasarkan caranya memperoleh pendapatan. Ini jelas bikin orang-orang bertipe Employee dan Self-employee menjadi insecure.

Berdasarkan pengalaman, pembaca yang terpengaruh buku Rich Dad Poor Dad ini terkesan merendahkan para budak korporat. Buat apa jadi pegawai? Lebih baik jadi pengusaha yang bisa bebas finansial. Lebih baik jadi kepala semut daripada ekor harimau. Itulah ungkapan-ungkapan yang sering terucap dari para ‘calon pengusaha’ baru. Alih-alih jadi motivasi, pernyataan seperti itu malah terkesan merendahkan orang yang berstatus pegawai. Memangnya, kalau semua orang jadi pengusaha, siapa yang bakal jadi pegawainya?

Ketiga, euforia semu pengusaha baru. Buku ini juga mengajak para pembaca untuk lebih melek finansial dan menggiring untuk pindah kuadran. Tentu saja pindah kuadran ke tipe Business Owner dan Investor, bukan tipe Self-employee apalagi Employee. Ya, enggak salah, sih.

Tapi, saya khawatir ini akan melahirkan calon-calon pengusaha baru yang sekadar ikut-ikutan. Pinjam uang ke bank, kredit kendaraan untuk menunjang operasional, dan sebagainya. Padahal, dalam dunia bisnis, banyak sekali pertimbangan, perencanaan, dan komitmen yang harus dijalani. Kalau sembarangan, bukannya menambah pendapatan tapi malah menambah utang. Ingat, dalam buku ini disebut istilah Business Owner, bukan sekadar enterpreuneur. Artinya, harus punya sistem yang terukur yang bisa dijalankan dalam bisnis.

Itulah tiga pemikiran toxic yang saya temukan dalam buku Rich Dad Poor Dad. Sebetulnya, sih, yang paling saya takutkan dari buku ini adalah munculnya para pejabat negara yang tertarik untuk mendapatkan kebebasan finansial. Alih-alih mundur dari jabatannya, mereka malah menggunakan jabatannya itu untuk memuluskan bisnisnya.

Apa perlu saya sebutkan contohnya? Ah, kamu-kamu pasti sudah tahu. Ehm.

Editor: Ciqa

Gambar : google.com