Katanya, sejarah ditulis oleh para pemenang. Tapi kalau begitu, bagaimana dengan versi dari mereka yang kalah? Ada banyak cara membaca sejarah Indonesia. Nggak harus lewat buku nonfiksi tebal dan berat. Lewat fiksi sejarah, kita juga bisa menyelami suasana zaman, rasa-rasa yang tak tertulis di buku sejarah resmi. Salah satu novel fiksi sejarah yang menarik dibaca adalah Entrok, karya pertama dari Okky Madasari.
Buat kamu yang ingin mulai memahami konteks sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan tapi merasa bosan dengan bacaan akademis, Entrok bisa jadi pilihan yang menarik.
Perkawinan Nasib Perempuan dan Kemiskinan
Cerita Entrok dibuka dengan kisah sederhana: keinginan seorang anak perempuan membeli entrok alias BH (breast holder). Tapi pada masa itu, entrok adalah barang mewah.
Marni, tokoh utama novel ini, adalah anak dari seorang buruh pengupas singkong di Pasar Ngranget. Ibunya miskin dan nyaris nggak pernah punya uang karena upah buruh perempuan dibedakan dengan upah buruh laki-laki. Perempuan hanya diupah bahan makanan, sedangkan laki-laki menerima upah uang receh.
Marni gregetan. Dia memutar otak, bagaimana caranya memiliki entrok meski kerjanya hanya dibayar singkong? Akhirnya ia banting setir dengan memutuskan menjadi kuli seperti laki-laki.
Hidup Marni terus berputar. Dari kuli, jadi pedagang panci, lalu kaya raya bersama suaminya. Tapi apakah dia bahagia? Tidak juga. Suaminya, Teja, punya gendhakan (selingkuhan) di mana-mana. Masalah hidup seperti jatuh cinta padanya. Ada cobaan, dia coba. Beragam ujian, dia kerjakan. Namun, hidup kadang memang bercanda, setelah segala hal Marni hadapi, akhirnya dia kalah dan menjadi gila. Sebagai pembaca, sejujurnya saya ikut gila bersama dia.
Paket Lengkap Pahit-Manis Sejarah Indonesia
Entrok seperti paket lengkap di restoran: perempuan, kemiskinan, pungli, orde baru, patriarki, agama leluhur, pemaknaan agama yang keblinger, politik, korupsi, kebebasan yang nyaris tidak ada, hingga nasib buruk yang konon sudah digariskan.
Dalam 288 halaman, Okky Madasari menjahit berbagai isu pelik itu jadi cerita yang padat dan penuh rasa. Kepahitan hidup Marni ditenun, dijahit, dan diobras sampai membuat tokoh dan pembacanya sama-sama gila.
Sebagai buku fiksi sejarah, Entrok menyajikan rangkaian sejarah dengan detail dan runut yang membuat pembaca dapat menyelami kelamnya hidup di zaman itu. Hal yang mungkin nggak akan ada di buku-buku non fiksi sejarah.
Dari Entrok, kita pembaca dapat tau bagaimana seorang perempuan memperjuangkan nasibnya sendiri di dunia yang jahat. Bagaimana Marni yang seorang pemeluk agama leluhur, dipaksa untuk memahami agama baru yang kelakuan pemeluknya ada yang di luar nalar. Bagaimana Marni menghadapi laki-laki yang menjadi simbol kekuasaan. Hingga bagaimana berdamai dengan itu semua.
Perempuan dan Perempuan
Satu bagian yang paling menggelitik adalah soal buruh perempuan yang kerap diremehkan. Seperti upah mereka dibedakan dari laki-laki—konon praktik itu masih terjadi hari ini.
Marni yang dulunya melarat dan hidup sebagai buruh pengupas singkong, tumbuh menjadi kuat dan berhasil menjadi juragan. Rumahnya gedongan, sawahnya berhektar-hektar, dan bisnis tebunya yang laris manis. Dulu, bisnis tebu memang legit.
Dulu Marti menggerutu soal perbedaan nasib laki-laik dan perempuan, tapi sekarang dia berhasil menjadi bosnya laki-laki. Setiap bulan, saat tebunya dipanen, Marni akan merogoh kantongnya sendiri untuk membayar para kuli laki-laki itu.
Marni berharap berharab agar ada perempuan yang mau bekerja untuknya. Ia ingin menyamakan nasib perempuan dengan laki-laki dengan mengupah dengan upah yang sama.
Catatan Kecil untuk Entrok
Sebagai karya fiksi sejarah, Entrok nyaris sempurna. Tapi tetap ada celah. Sebagai buku fiksi, Entrok terasa seperti log book penelitian. Saking banyak dan padatnya isu yang dimasukkan dan ditulis secara sistematis, kesan fiksi dari buktu ini kadang menghilang.
Tapi kalau kamu mencari cerita yang menggambarkan bagaimana hidup jadi perempuan di masa kekuasaan yang keras, Entrok bisa jadi bacaan yang membuatmu merenung—dan mungkin, sedikit menggila juga bersama Marni.
Editor: Pratama
Comments