Di Instagram, saya menemukan akun yang menarik perhatian saya bernama The Offline Club. Kamu bisa menemuinya di instagram @Theoffline_Club. Isinya cukup unik, kegiatan komunitas dari berbagai negara yang punya satu aturan sederhana: tanpa gadget.

Mereka hanya duduk bersama, membaca buku, ngobrol, merajut, melukis, atau sekadar menikmati momen. Nggak ada scroll TikTok, nggak ada foto-foto buat Instastory. Yang ada justru kehadiran manusia yang utuh dan organik. Saya pribadi merasa tenang melihatnya.

Manusia Butuh Manusia

Komunitas seperti ini belum saya temukan di Indonesia. Tapi saya yakin, dalam beberapa tahun ke depan, konsep ini bisa booming. Kenapa? Karena pada dasarnya manusia memang membutuhkan hubungan sosial.

Saya teringat buku Outliers karya Malcolm Gladwell. Di buku itu ada fenomena unik yakni ada sebuah desa yang masyarakatnya berumur panjang, dan berebeda sekali dengan desa yang di sekitarnya.

Setelah diteliti, ternyata salah satu faktor harapan hidup di desa itu panjang karena hubungan sosialnya begitu baik. Aneh dan tidak masuk akal tetapi itu faktanya ternyata manusia sangat membutuhkan yang namanya hubungan dengan manusia lainnya.

Seorang yang mengaku introvert-pun membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan seperti pakaian, makanan, air minum dan kebutuhan lainnya. Barang-barang tersebut dapat kita peroleh dari hasil kerja manusia lainnya.

Maka dari itu peradaban manusia bisa maju karena kemampuan kita bekerja sama. Coba bayangkan kalau kita hidup secara soliter dan tidak peduli dengan orang lain, ya peradaban tidak akan bergerak kemana-mana.

Gadget: Mendekatkan atau Menjauhkan?

Menurut saya, The Offline Club muncul karena akibat kejenuhan masyarakat terhadap perangkat gadget. Ada hal yang salah dengan masyarakat akibat adanya gadget.

Hal ini menjadi sebuah paradoks karena awal mula gadget diciptakan untuk memobilisasi aktivitas manusia. Mendekatkan yang jauh tetapi ternyata bisa juga menjauhkan yang sudah dekat.

Tedapat beberapa studi dampak buruk dari penggunaan gadget berlebihan. Mulai dari menyebabkan sulit fokus, mudah cemas, Fear of Missing Out (FOMO), bahkan mulai lupa cara menangkap komunikasi non-verbal saat berinteraksi langsung.

Beberapa negara sudah mulai sadar akan hal tersebut. Di Australia sendiri baru saja men-sahkan undang-undang untuk pelarangan anak di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan sosmed. Di Indonesia saya rasa masih jauh, perhatian terhadap isu medsos terhadap anak karena masih dipusingkan dengan kasus judi online yang entah kapan bisa diberantas hingga tuntas.

Nostalgia Sebelum Era Gadget

Saya merindukan masa kanak-kanak yang belum dipengaruhi gadget. Anak-anak dapat berkumpul untuk bermain bersama tanpa perlu janjian. Seperti ada telepati yang menuntun kita ke lokasi tertentu. Sehingga, hubungan yang didapatkan oleh anak-anak lebih bisa dirasakan keasliannya.

Permainan yang melibatkan kegiatan fisik juga masih melimpah. Seperti kejar-kejaran, petak umpet, bermain bola, dan masih banyak lagi. Meski hanya nongkrong dan berbagi cerita, bertemu dengan teman-teman terasa sangat seru.

Tidak seperti zaman sekarang yang ketika nongkrong saja masih sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Padahal tujuan nongkrong sendiri ingin mengobrol, bercanda untuk menjalin ikatan secara nyata.

Fyi, komunikasi manusia yang paling efektif justru menggunakan komunikasi non-verbal, baru kemudian disusul oleh intonasi dan bahasa atau tulisan. Sejak zaman dahulu kala, manusia menggunakan komunikasi non-verbal sebagai bentuk komunikasi purba yang pertama kali berkembang.

Yang pasti, kita semua perlu mengintrospeksi diri sendiri terkait penggunaan gadget. Ingat, manusia menciptakan gadget hanya sebagai alat bantu untuk memudahkan aktivitas. Jangan sampai, kita justru membiarkan gadget menjauhkan kita dari jati diri sebagai manusia seutuhnya.

Editor: Pratama

Gambar: Getty Images