Beberapa waktu lalu CEO Facebook, Mark Zuckerberg mengubah nama perusahaannya menjadi Meta Platforms Inc. atau bisa disebut juga Meta. Hal tersebut dilakukan oleh Facebook untuk melakukan rebranding yang memberi isyarat kalau Facebook cs kedepannya akan menciptakan dan memperkenalkan ide-ide futuristik dengan istilah metaverse.

Metaverse

Mengutip dari CNBC Indonesia, orang pertama yang mengenalkan istilah metaverse bukanlan Mark. Namun, seorang penulis bernama Neal Stephenson pada novelnya tahun 1992 yang berjudul Snow Crash. Pada awalnya, metaverse merujuk pada dunia virtual 3D yang dihuni oleh avatar manusia sesungguhnya.

Istilah metaverse sendiri tidak punya istilah pasti yang bisa diterima secara universal. Kalau begitu mari kita beranggapan bahwa metaverse adalah dunia internet yang berbentuk 3D virtual yang tidak hanya bisa kita lihat, tapi bisa kita masuki. Semacam Doraemon yang bisa masuk dunia lain atau dimensi lain lewat laci meja belajar Nobita.

Jadi dalam metaverse kita bisa melakukan hal-hal seperti yang kita lakukan dalam kehidupan biasa, misalnya melihat pameran seni, melakukan pelajaran online bahkan sampai menonton konser. Hal-hal tersebut kini sudah mulai kita jalani bukan? walaupun kita masih harus menatap layar. Terobosan metaverse juga sudah mulai dilakukan oleh musisi asal Kanada, Justin Bieber yang melakukan konser dengan 3D virtual.

Namun, tidak semua misi ambisius metaverse diwarnai dengan inovasi, ide futuristik, teknologi termutakhir. Sayangnya dalam perkembangan metaverse, tentu akan dan telah diwarnai dengan hal-hal buruk. Mengutip CNN Indonesia, pada awal pengujian metaverse telah dinodai oleh aksi pelecehan seksual. Hal ini menjadi evaluasi penting untuk kita sebagai netizen calon pengguna metaverse dan perusahaan metaverse itu sendiri.

Kecerdasan Digital

DQ Institute, sebuah organisasi nirlaba internasional yang bergerak di bidang pendidikan masyarakat digital menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan kecerdasan digital. 

Tingkatan pertama, Digital Citizenship atau Masyarakat digital. Tingkatan paling awal merupakan tingkatan dimana kita memiliki kemampuan untuk menggunakan teknologi dan media digital dengan cara yang aman, bertanggung jawab, dan beretika.

Tingkatan kedua, Digital Creativity atau Kreatifitas Digital. Tingkatan setelah menjadi masyarakat digital adalah kreatifitas digital. Di tingkatan ini manusia memiliki kemampuan untuk menjadi bagian dari ekosistem digital untuk menciptakan pengetahuan, teknologi, dan konten baru untuk mengubah ide menjadi kenyataan. Sederhananya adalah ketika kita udah mulai ikut-ikutan mengunggah konten di internet, kita sudah dapat dikatakan mencapai tingkatan digital creativity.

Tingkat ketiga, Digital Competitiveness atau daya saing digital. Pada tingkatan ini kita sudah memiliki kemampuan untuk memecahkan tantangan global, berinovasi, dan menciptakan peluang baru dalam ekonomi digital dengan mendorong pertumbuhan kewirausahaan serta ketersediaan lapangan pekerjaan.

DQ Institute juga mengklasifikasikan 24 kompetensi digital yang harus dimiliki setiap individu. 24 kompetensi digital tersebut dibagi menjadi delapan bidang utama kecerdasan digital. Yaitu Identitas digital, penggunaan digital, keamanan digital, kecerdasan emosional digital, komunikasi digital, literasi digital, dan hak digital. 

Sumber gambar : www.dqinstitute.org

Kecerdasan Emosional Digital

Sejak hadirnya teknologi dan percepatan teknologi yang memaksa kita menjadi konsumen sebuah industri, membuat manusia biasa seperti kita kehilangan rasa manusiawi. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Taufiqur Rahman, dalam tulisannya berjudul “Krisis Kecerdasan Emosional di Ruang Virtual” mengatakan bahwa manusia kini fokus pada kecerdasan kognitif dalam masyarakat industri, sehingga membuat manusia mulai kehilangan sentuhan-sentuhan emosional dalam hidupnya. Banyak orang cerdas yang abai dan tidak peka dengan situasi di sekitarnya karena interaksi antar manusia kini mulai didominasi melalui teknologi informasi. Maka dari itu kecerdasan emosional manusia juga harus ada dalam model interaksi yang baru tersebut.

DQ Institute berinisiatif untuk mengembangkan konsep kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence) merupakan salah satu aspek penting yang masih jarang dielaborasikan dalam kajian-kajian literasi digital. Menurut DQ Institute, terdapat tiga keterampilan yang dapat dilatih untuk menumbuhkan kecerdasan emosional. Yakni, digital empathy (empati digital), self awareness dan management (kesadaran dan manajemen diri), dan relationship management (manajemen relasi).

Digital empathy atau empati digital merupakan Kecerdasan emosional digital yang harus kita punya pada tingkatan masyarakat digital. Empati digital memiliki hubungan dengan sensitivitas dan sikap suportif terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain. 

Pada tingkatan digital creativity atau kreatifitas digital, kita harus memiliki kecerdasan emosi digital berupa self-awareness and management atau kesadaran dan manajemen diri. Kesadaran dan manajemen diri berhubungan dengan lingkungan digital yang dihadapi oleh masing-masing individu.

Sedangkan pada tingkatan digital competitiveness, kita harus memiliki kecerdasan emosi digital berupa relationship management atau manajemen relasi. Manajemen relasi merupakan kemampuan untuk mengelola hubungan dengan pihak lain di ruang digital melalui persuasi, kerjasama, dan manajemen konflik.

Sudah siap memasuki metaverse?

Setelah mengetahui tentang kecerdasan digital khususnya kecerdasan emosi digital, pertanyaannya adalah “Sudah siapkah kita memasuki metaverse?”. Melihat fenomena yang terjadi di internet yang berhubungan dengan kecerdasan emosional digital saja, penulis kira, kita masih sangat amat belum siap menuju metaverse –baru menuju lho ya, belum memasuki.

Contohnya saja, akhir-akhir ini beberapa daerah di Malaysia sedang terendam banjir cukup parah. Kejadian ini bersamaan dengan penyelenggaraan ajang olahraga sepak bola se-Asia Tenggara, AFF Suzuki Cup, di mana tim nasional (timnas) Indonesia berhasil mengalahkan timnas Malaysia dengan skor telak 1-4 dan lolos sebagai juara grup. Dalam postingan instagram @seasia.co yang mengucapkan bela sungkawa atas bencana yang terjadi di Malaysia, masih ada warganet yang mengomentari tentang kekalahan telak Malaysia. Hal ini sudah tidak sejalan dengan konsep digital empati pada kecerdasan emosional digital.
Pada peristiwa tersebut kita baru membahas tentang kecerdasan emosi digital yang masih belum baik. Belum lagi kita membahas keamanan, identitas, hak digital dan kecerdasan digital lain. Yang kayaknya masih agak dicuekin sama pemerintah negara Wakanda, kalo di Indonesia insya allah aman. Bayangkan saja apa yang akan terjadi bila kita memasuki metaverse terlalu dini? Empati warganet yang tidak stabil, literasi warganet minus keamanan data tidak terjamin, identitas mudah dicuri, hak dan ruang privasi hilang, Ambyar bos, koyo atiku.

Foto : Pexels

Penulis : Hanif Indhie Pratama

Penyunting : Elsa