Kemajuan teknologi makin hari makin tak terbendung lajunya. Berbagai macam kebutuhan manusia berhasil dimudahkan, sebab jangkauannya telah merasuk di berbagai bidang kehidupan. Tak terkecuali dalam bidang komunikasi. Sejak awal perkembangannya, teknologi komunikasi telah berhasil melipat jarak yang telah sekian lama menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berhubungan.

Berawal dari komunikasi yang hanya bisa melalui surat dan perlu waktu untuk menunggu pesan tersampaikan, hingga muncullah handphone, yang mampu mengirim pesan dalam waktu singkat. Dari handphone, berkembanglah menjadi smartphone, sebuah alat komunikasi plus-plus. Sebab, dalam bentuknya yang sedemikian ringkas ia tidak saja menyediakan media untuk berkomunikasi, namun juga informasi, hiburan, bahkan sebagai alat untuk menunjang produktifitas. Jika dahulu komunikasi jarak jauh hanya bisa dilakukan lewat teks, lalu berkembang melalui suara, saat ini bisa bertatap langsung melalui video conference.

Salah satu smartphone yang menjadi top of mind masyarakat masa kini adalah Iphone. Dikalangan anak muda utamanya, Iphone menjelma layaknya syarat untuk menaikkan predikat keren, gaul dan tidak ketinggalan zaman. Hal ini nyatanya melenceng jauh, dari konsep perkembangan teknologi komunikasi dan fungsi smartphone yang mencoba meringkas berbagai macam keperluan kedalam satu kotak kecil sehingga memudahkan penggunanya untuk beraktifitas dan berkreasi.

Fenomena ketimpangan ini akan coba dianalisa melalui semiotika Roland Barthes, salah satunya membahas terkait mitos, yang sejauh ini hanya kita pahami sebagai istilah untuk hal-hal yang sudah kuno, padahal mitos juga banyak berkembang di era yang modern ini. Dalam konteks ini, mitos dapat dikatakan sebagai penafian fakta-fakta tentang objek pesan, yang kemudian diyakini sebagai pesan yang paling benar hingga menegasikan pemaknaan lainnya dan dinaturalisasi, yakni menjadikan nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, seakan-akan menjadi tampak alamiah (Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, 9).

Penggalian Makna Denotasi

Sebelum membahas makna mitos, yang dalam semiotika Roland Barthes, merupakan tingkatan pemaknaan sekunder, terlebih dahulu akan dibahas terkait pemaknaan denotasinya, sebagai tingkat pemaknaan primer. Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, pasti dan apa adanya sesuai dengan rangkaian teks (Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, 8-9).

Pada makna primer ini, Iphone menampakkan dirinya sebagaimana smartphone masa kini yang memuat banyak fungsi, menggantikan gadget lain dalam satu alat, misalnya sebagai alat komunikasi informasi pengganti tv; sebagai pengganti kamera untuk mempotret dan merekam; sebagai ganti laptop untuk mengetik teks dan editing foto, suara, serta video, sebagai hiburan yang mencakup film, game dan jenis hiburan lainnya; serta yang paling utama sebagai penunjang produktifitas.

Deskripsi tersebut adalah rangkaian makna denotasi yang dapat ditangkap secara eksplisit dan apa adanya dari objek pesan yang dalam hal ini adalah Iphone.

Penggalian Makna Konotasi

Konotasi adalah kebalikan dari denotasi, yang merupakan tingkatan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti. Tingkatan ini akan menunjukkan kepada kita bagaimana pengguna Iphone, memaknainya dari hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan objek pesan.

Dengan tingginya kecanggihan dan peforma yang ditonjolkan, serta harga jual yang tinggi, smartphone ini kemudian dijadikan sebagai simbol akan status sosial yang tinggi, yang kemudian meningkatkan gengsi pemiliknya. Memiliki Iphone dianggap menjadi anak muda yang keren, gaul dan tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, dua makna tersebut dapat dikatakan sebagai konotasi yang ditampilkan dari anak muda dan masyarakat pada umumnya.

Penggalian Makna Mitos

Pemaknaan mitos pada dasarnya termasuk pemaknaan tingkat kedua atau sekunder, yang dapat dikatakan sebagai konotasi yang digiring dan diseragamkan lalu diyakini sebagai konotasi yang paling benar. Di kalangan anak muda, wacana prestisius Iphone telah menjadi hal umum. Pewacanaan ini pada dasarnya melibatkan berbagai publik figur dan influencer yang secara terang-terangan menunjukkan kepemilikannya terhadap Iphone. Sosok publik figur dan influencer secara umum dianggap sebagai sosok sentral yang menggambarkan citra keren, gaul dan tidak ketinggalan zaman tersebut, kemudian menular kepada anak muda bahkan hingga ke desa-desa.

Pewacanaan di atas, tidak lain adalah sebuah tindakan yang mencoba menggiring dan menyeragamkan kesan anak muda pada satu bentuk makna konotasi tertentu terhadap Iphone, yang pada akhirnya makna tersebut seakan “alamiah”. Sehingga tidak terlalu mengherankan, jika kita melihat di kalangan anak muda, mereka menunjukkan kebanggan diri atas kepemilikannya terhadap Iphone. Dari sini dapat kita lihat bahwa sebenarnya terdapat suatu kepentingan ideologis yang berusaha menjadikan konsumennya menjadi korban komoditi dari pewacanaan yang dilancarkan oleh pihak terkait.

Dengan demikian, dalam pandangan Barthes, hal ini disebut sebagai mitos, yang mana dapat juga dikatakan sebagai suatu tuturan yang diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Padahal, idealnya, smartphone dirancang sedemikian rupa agar pemiliknya dapat menikmati fitur dan keunggulannya sesuai kebutuhan masing-masing, bukan malah menjadikan sesuatu di luar objeknya menjadi patokan.

Editor: Lail