Cover buku karangan Tetsuko Kuroyanagi itu terpampang ilustrasi gadis kecil dengan topi. Berisi kisah-kisah pendek dan ringan, tetapi menyentil model pendidikan formal yang tidak bisa menjadi wadah untuk semua karakter unik anak. Tetsuko mengenalkan sosok Totto-chan, gadis kecil dengan nalar imajinasi yang tinggi. Masyarakat sekarang mungkin akan mengecapnya sebagai anak nakal yang tidak bisa diatur. Tetsuko memberikan gambaran tentang lingkungan pendidikan berupa sekolah alternatif di mana seorang anak dapat lebih mengenal lingkungannya, tidak terbatas pada dinding kelasnya, dan tidak ada aturan rumit yang mengekang kebebasannya.

Buku dengan judul Totto-Chan ini adalah kisah nyata yang dialami oleh penulis, cerita di dalamnya berdasarkan perjalanan masa SD seorang Tetsuko Kuroyanagi dengan stigma sebagai anak nakal yang dihindari setiap guru. Padahal, di balik seorang anak nakal, tersimpan nalar imajinasi yang tinggi, keberanian yang dibalut dengan kenekatan yang tidak bisa ditampung oleh sekolah formal pada umumnya. Anak-anak seperti itu dianggap liar, tak beradab, padahal jauh di dalam diri mereka tersimpan tanda tanya besar akan kejadian-kejadian di lingkungan sekitarnya. Tetsuko mampu membingkai potongan-potongan masa kecilnya menjadi kisah-kisah pendek dengan dunia anak-anak yang begitu menyenangkan. 

Cerita diawali dengan Totto-chan yang mulai beranjak besar dan mengharuskannya untuk bersekolah. Dia kelas 1 SD, namun baru beberapa hari sekolah sudah dikeluarkan. Alasan di baliknya ternyata Totto dipandang sebagai anak yang banyak bertingkah. Seperti ketika dia membuka dan menutup meja secara terus menerus saat pelajaran berlangsung. Selain itu, Totto juga pernah memanggil pemusik jalanan dan menyuruh pemusik itu memainkan musiknya. Pada lain kesempatan, dia mengobrol dengan keras kepada burung-burung. Hal ini membuat gurunya geram, sebab setiap harinya Totto membuat keadaan kelas menjadi tidak kondusif. Banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak bisa diterima guru atas tingkah laku Totto, hingga membuat guru tersebut memanggil orang tua Totto dan sejak itu ia resmi dikeluarkan.

Realita Pendidikan Formal: Hanya Menginginkan Karakter Anak yang Seragam

Terlihat berlebihan mungkin, namun realitanya instansi pendidikan formal acapkali hanya menginginkan karakter anak yang seragam yaitu diam dan memperhatikan. Bahkan masyarakat kita sendiri juga sering memandang dengan pandangan kebencian ketika bertemu dengan karakter seperti Totto ini. Padahal, karakter tiap individu sudah pasti berbeda. Penyeragaman karakter ini dapat  menumpulkan kreativitas seorang anak didik. 

Totto membuka dan menutup mejanya sebab dia sangat senang dengan model meja di sekolah, tidak pernah dia menemui meja seperti itu. Keingintahuannya yang tinggi membuat dia membuka dan menutup meja dengan begitu sering. Dia juga menyukai musik, sehingga dia memanggil para pemusik jalanan, tak ada hal lain yang dipikirkan kecuali kesenangannya. Mengobrol dengan burung, barangkali akan dianggap gila oleh orang lain, tapi Totto masih kecil, banyak hal yang ingin dia jelajahi, masih belum cukup paham apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang dewasa sebab yang ia tahu hanya menuruti ke mana pikirannya hendak menjelajah.

Sekolah Alternatif dan Kehidupan Baru

Ibu Totto-chan kemudian memindahkan Totto ke Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif tanpa seragam dan tanpa kelas formal. Mulanya Totto ragu dengan sekolah itu sebab tidak ada kemiripan dengan sekolah sebelumnya. Namun, keraguan itu lenyap begitu Totto bertemu dengan kepala sekolah. Kepala sekolah meminta Totto untuk bercerita. Ia bercerita  hingga 4 jam lamanya! Kepala sekolah mendengarkan dengan antusias selama 4 jam itu, segala cerita konyol, menyenangkan, hingga menyedihkan Totto ceritakan. 

Sebuah hal yang amat sangat jarang terjadi di antara kita. Sebab siapa yang ingin mendengarkan cerita anak kecil dengan segala kekonyolannya. Tapi tidak bagi kepala sekolah Tomoe Gakuen, hal tersebut tidak menjadi masalah baginya, sebab didengarkan menjadi hak setiap orang, tak peduli apakah dia tua, muda, bahkan anak kecil sekalipun. Kehangatan ini yang memberikan nyaman untuk Totto, sebab dirinya jarang sekali didengarkan. 

Tomoe Gakuen menjadi lingkungan baru bagi Totto. Dalam sekolah ini tidak ada kelas dari tembok, mereka menggunakan gerbong kereta bekas yang sudah tak terpakai sebagai pengganti ruang kelas. Tak ada jadwal pelajaran yang pasti setiap harinya, mereka bebas untuk belajar apa saja. Murid bebas berkonsultasi dengan guru, dan guru juga bisa melihat dengan jelas bagaimana karakter dan minat anak didiknya. 

Dalam Tomoe Gakuen anak-anak banyak berinteraksi dengan alam sekitar, kurikulum yang dipunya mendukung proses ini terjadi. Tomoe Gakuen benar-benar menciptakan sebuah ruang yang inklusif dan berwarna. Ketika banyak instansi pendidikan yang dibebankan keharusan untuk melengkapi segala urusan administratif, Tomoe Gakuen sebagai lembaga yang berdiri sendiri  dapat membuat aturan sesuai dengan tujuan dari sekolah tersebut.

Pendidikan Seharusnya Tidak Mengekang Batasan

Dalam ruang pendidikan yang sarat dengan kendali penuh seorang guru, murid tak ubahnya seperti gelas kosong yang terus menerus harus diisi. Menjadi hal yang lumrah ketika pertanyaan yang muncul dalam benak seorang anak harus ditahan, sebab ketakutan dianggap cari perhatian (caper) atau justru dianggap bahan tertawaan sebab terlalu konyol. Bagaimana seorang anak dapat tumbuh dengan kritis ketika langkahnya terbatas dengan empat tembok kelasnya, terbatas pada pengetahuan yang diberikan gurunya? 

Buku ini mampu memberikan gambaran sebuah sistem pendidikan yang lain, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengekspresikan dirinya, tidak takut dengan perbedaan yang dia punya, bahkan didorong untuk bercerita dan bertanya. 

Buku ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan. Berkenalan dengan Totto-chan akan memberikan gambaran bagaimana pola pikir anak yang biasa dianggap nakal dan tidak tahu aturan. Totto dan dunianya yang sarat akan petualangan membuka ingatan masa lalu kala masih menjadi anak-anak, di mana masa itu sekolah menjadi tempat yang mengerikan, penuh dengan hukuman dan hafalan. Dunia Totto seperti angin segar yang berhembus lembut, beruntungnya Totto tidak dipaksa dalam lingkungan yang sempit. Banyak sekali di sekitar kita anak-anak yang memiliki karakter seperti Totto, buku ini dapat menyelamatkan dari matinya nalar imajinasi sebab sempitnya lingkungan pendidikan. 

Editor: Yud