Entah, selepas Subuh, tiba-tiba saja muncul sebuah keinginan untuk membuka kenangan masa lalu. Eh, maksud saya, membuka buku kenangan Baitul Arqam (BA) Dasar PCIM Mesir yang telah berlalu. Hehe.
Meskipun tiba-tiba, datangnya keinginan itu bukan tanpa alasan. Salah satu yang terkuat barangkali karena saya sedang butuh penguat dan motivasi, terlebih di masa karantina yang cukup membosankan. Barangkali membaca diri kita sendiri melalui sudut pandang orang lain bisa menjadikan semangat kita lebih baik.
Dari halaman awal-akhir. Sambil tertawa, terharu, dan tentu saja sesekali tersenyum-senyum. Isinya memang hanya pesan dan kesan. Namun membacanya tidak pernah membosankan. Saya kira, ini ketujuh kalinya buku tersebut selesai dibaca ulang.
Beberapa pesan telak tepat sasaran. Membuka mata saya untuk lekas sadar dan memperbaiki. Namun sebagian besar memang berisi pujian. Dan entah mengapa, dibanding merenungi pesan-pesan, diri saya justru merasa lebih bersemangat ketika membaca kesan-kesan berisi deretan pujian yang membuat hati berbunga-bunga.
Apa ini kali ya penyakit hati senang memperoleh pujian?
Tapi, memang kenyataanya seperti itu. Saya mendadak semangat kembali menulis ketika ada yang memuji kemampuan menulis saya. Juga mendadak semangat belajar lebih keras saat nilai akademis saya dipuji padahal loh hanya bejo.
Bahkan, ketika sedang mager-magernya pun, demi membaca kesan orang lain tentang saya yang katanya enerjik dan selalu menggerakkan kebaikan di sekitarnya, mendadak saya jadi antusias menjalani hidup lho. Serius. Auto semangat.
Sekilas mungkin tidak ada yang aneh. Namun setelah coba dipikir-pikir, seperti ada yang tidak beres. Segala semangat yang auto muncul setelah membaca sanjungan tersebut, sebetulnya karena apa sih? Apakah murni tulus atau karena terselubung motif lain?
Namun, bagaimana pula semangat yang tulus dan yang terselubung motif lain itu? Oke, menjelaskan ketulusan mungkin tidak sederhana. Namun, motif terselubung itu cukup mudah dipahami, sekalipun tidak kita sadari.
Sesederhana perasaan membenarkan segala pujian tersebut, sambil terus berusaha untuk kembali mewujudkannya, agar pujian tetap tersemat pada diri kita.
Dengan kata lain, ketika kita kembali semangat menulis agar pujian itu tetap melekat misalnya, lalu orang memandang kita seorang penulis hebat. Ketika itu pula sebuah bercak hitam telah menodai ketulusan kita. Atau misal belajar keras demi mempertahankan gelar rangking kelas atau IPK tinggi yang terlanjur melekat. Begitu juga kasus auto semangat lainnya.
Ya, boleh jadi, segala upaya semangat kita dalam kebaikan setelah memperoleh pujian, barangkali masih hanya karena ingin kembali mendengar pujian memabukkan tersebut. Di samping menumbuhkan rasa percaya diri, pujian sendiri tidak jarang justru mencelakakan.
Padahal, aduh betapa mengerikannya manusia apabila ia mulai senang dipuji. Betapa menyedihkannya saya yang masih bahagia dengan berbagai pujian.
Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa orang yang suka menerima pujian akan mudah sekali terserang penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong. Orang yang gemar disanjung, boleh jadi berangkat mencari ridho Allah, namun pulang-pulang hanya akan membawa kesia-siaan amal. Ternodai dengan berbagai penyakit hati tersebut.
Saking berbahayanya sebuah pujian, terhadap orang yang tengah memuji saudaranya, Rasulullah tegas Saw bersabda,
ويحك ! قطعت عنق أخيك
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
“Celakalah kamu! Sungguh, kamu telah memotong leher saudaramu (dengan pujian itu)”
Semoga Allah menyelamatkan kita dari penyakit hati senang memperoleh pujian.
Penulis: Hidanul Achwan
Comments