Tak lepas dari latar belakang sang penulis, pemeran utama dan sutradara yang merupakan putra jawa kelahiran Malang, Jawa Timur 28 tahun silam, Bayu Eko Moektito atau lebih dikenal Bayu Skak, film Yowis Ben menjelma menjadi sebuah film roman komedi yang berbalutkan bahasa-bahasa daerah di dalamnya, terutama bahasa Jawa.
Gaya dialog bahasa Jawa Timur-an menjadi ciri khas tersendiri yang ditawarkan kepada penikmatnya. Meski awalnya banyak ditolak oleh banyak rumah produksi, namun kini Yowis Ben mendapatkan posisi tersendiri di hati para penikmatnya terutama di kalangan milenial.
Sejak dirilis pada 22 Februari 2018, film Yowis Ben terus bermataformosis mengepakkan sayapnya hingga series ke-3 di tanggal 25 November 2021. Gaya bahasa dan alur cerita yang mudah dimengerti membuat film Yowis Ben banyak disukai.
Film Yowis Ben disutradarai oleh Fajar Nugros bersama Bayu Skak yang merangkap sebagai pemeran utama dan dibintangi oleh Joshua Suherman, Brandon Salim dan Tutus Thomson. Selain itu peran Cut Meyriska, Anya Geraldine, dan tokoh-tokoh nasional seperti Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo menambah daya tarik tersendiri bagi penonton.
Tak dipungkiri, penikmat utama film tersebut adalah kalangan milenial, termasuk anak-anak muda era tahun 60-90-an juga tidak ingin ketinggalan menontonnya.
“ Film-nya 100% Jan mantep tenan pancen “ kata perempuan muda berkacamata, selepas menonton Yowis Ben 3 yang tayang serentak di Bioskop 25 November 2021.
Meningkatnya popularitas dan eksistensi film Yowis Ben merupakan sebuah titik balik untuk kembali memperkenalkan logat dialog bahasa daerah, dikalangan milenial yang semakin dewasa semakin acuh terhadap penggunaan bahasa daerah.
Apresiasi tersebut juga turut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo setelah menonton film Yowis Ben 1, pada Kamis 29 Maret 2019 silam di sela-sela kunjungan kerjanya di Malang, Jawa Timur. Kepala negara menuturkan bahwa film Yowis Ben merupakan film yang cocok untuk anak muda yang dikemas dalam bahasa Jawa Timur-an.
Senada dengan yang disampaikan oleh presiden, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI kala itu, Muhadjir Efendi berharap ke depan semakin banyak lahir film-film berbahasa daerah. Selain berperan penting sebagai promotor yang menggerakkan lahirnya film-film berbahasa daerah, film Yowis Ben juga berperan sebagai media untuk milenial kembali mengenal dialog bahasa kedaerahan terutama Jawa Timu-an.
Bayu Skak menambahkan bahwasanya bagi yang tidak mengerti bahasa Jawa jangan khawatir, karena akan disediakan subtitlenya sehingga penonton tetap dapat menikmati film dengan baik.
Tidak hanya bahasa Jawa, film ini dikemas dalam bahasa Sunda, seperti saat Series ke-dua Film Yowis Ben. Mengambil latar belakang kehidupan kota Bandung yang kental akan dialog dan budaya Sunda. Perpaduan antara dialog Jawa dengan Sunda justru menghadirkan gelak tawa bagi penontonnya.
Bahasa daerah kini banyak ditinggalkan oleh milenial, dengan berbagai alasan seperti sudah tidak relevan dengan jaman atau gengsi. Pelestarian bahasa daerah untuk kembali menggaet milenial, salah satunya menggunakan media film. Film yang diperankan cantik, akan merepresentasikan bahwa menggunakan bahasa daerah itu tidaklah ketinggalan jaman justru keren.
Selain lewat film, dewasa ini lagu-lagu daerah seperti dari Ambon, Papua. Jawa atau Minang sudah kerap kali di dengar di ruang-ruang publik di Jakarta. Lagu Gemu Fa Mi Re yang dipadukan dengan tari maumere sebagai gerakan senam berirama yang berasal dari Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah membuktikan dapat go national bahkan go internastionl. Artinya eksistensi bahasa daerah sudah sewajarnya diberikan ruang yang cukup luas agar tetap populer.
Editor: Ciqa
Gambar: Google.com
Comments