Siapa di sini yang sudah pernah dengar soal personal branding?

Saat ini, profil media sosial menjadi salah satu hal yang nampaknya harus diperhatikan―bahkan jika bisa harus dipoles dan diperindah sedemikian rupa. Profil media sosial yang ‘unik dan berkesan’ dapat mengundang kehadiran followers dalam jumlah yang tak sedikit. Percaya atau tidak, jumlah followers ternyata berpengaruh terhadap persepsi orang lain pada diri kita.

Apabila jumlah followers kita terbilang masih sedikit, mayoritas orang akan mengangap bahwa kita hanya orang biasa-nggak penting-nggak menarik. Dan, hal itu berlaku sebaliknya. Namun, lain ceritanya bila kamu termasuk golongan orang-orang yang good looking. Tanpa susah payah membangun profil media sosial, cukup posting 1 foto kamu dengan banyak hashtag, followers akan datang berbondong-bondong dengan sendirinya.

Sering saya sebutkan bahwa apa yang didawuhkan Patrick Star itu sangat benar. “Hidup itu tidak adil. Jadi, biasakanlah!”. Saya merasa bahwa dawuh Patrick Star tersebut menyimpan makna tersirat. Kalimat tersebut bukan mengajak kita untuk pasrah tanpa melakukan apa-apa.

Maksud Patrick Star berkata demikian sepertinya bertujuan mengedukasi audiens supaya selalu membiasakan diri dengan cara beradaptasi atas kenyataan hidup yang tidak adil. Sebagai contoh, apabila kita bukan dari golongan good looking, maka kita harus menyesuaikan diri dengan cara membangun profil media sosial kita semenarik mungkin. Dan―seperti yang dikatakan Patrick Star―kita harus terbiasa dengan hal tersebut.

Mengapa sih kok dari tadi saya bicara soal profil media sosial?. Yap! Tentu saja sesuai dengan judul tulisan ini, hal tersebut menyangkut personal branding.

Definisi sederhana dari personal branding menurut Pandji Pragiwaksono yakni, “Kegiatan ngasih tahu orang kita siapa”. Dalam konteks bisnis, salah satu tujuan dari personal branding adalah supaya kita bisa berhenti terus-terusan mengejar uang dan membuat uang berbalik ngejar-ngejar kita (karena uang sudah tahu siapa kita). Emang personal branding itu seberapa penting sih? Harus banget, ya!?.

Oke! Unuk menjawab pertanyaan itu, sepertinya kita butuh analogi yang realistis. Personal branding itu nggak hanya penting di dunia bisnis, personal branding dibutuhkan dalam setiap sisi kehidupan.

Misal, kita nggak akan diajak untuk mendatangi setiap warung makan yang menyediakan menu ayam geprek, bila kita nggak pernah ngasih tahu bahwa kita suka dengan ayam geprek. Kita nggak akan diminta untuk mengajar musik, bila kita nggak pernah ngasih tahu bahwa kita suka musik. Kita nggak akan dicintai ‘doi’, bila kita nggak pernah bilang kalau kita cinta sama ‘doi’. Eh! Yang terakhir tadi belum tentu sih. Kadang kita udah bilang cinta, ternyata dianya cinta sama yang lain.

Setelah melihat beberapa contoh tadi, udah tahu kan seberapa penting personal branding itu!?. Terus, cara melakukan personal branding itu gimana sih?. Sependek yang saya lihat, nampaknya nggak akan cukup jika kita cuma ‘memberitahu’ orang lain tentang diri kita tanpa ada bukti yang disuguhkan pada mereka.

Orang-orang saat ini cenderung realistis. Jadi, kalo kita mau ngasih tahu siapa kita yang sebenarnya, kita mesti menyertakan bukti konkretnya. Bukti konkret yang dimaksud di sini mengarah pada sesuatu yang disebut karya. Yap! Karya adalah perantara yang paling efektif untuk melakukan personal branding. Karya adalah bukti nyata siapa kita sebenarnya.

Namun, berkarya iu nggak mudah. Bukan hanya dalam proses pembuatan karya, mempublikasikan karya pun juga bukan perkara gampang. Ada banyak ketakutan yang menghantui kita, dan hal tersebut sering menghambat kita untuk menunjukkan kepada publik bahwa kita punya karya. Satu hal yang bisa dijadikan solusi dari problematika ini adalah ‘The Law of Attraction’.

Gampangnya, the law of attraction adalah hukum ketertarikan. Pemikiran yang positif akan memberi dampak positif pada kehidupan. Sebaliknya pula, pemikiran yang negatif akan membawa dampak negatif pada kehidupan.

Konsep the law of attraction secara tidak langsung menyatakan bahwa pikiran kita menentukan bagaimana hidup kita. Napoleon Hill (seorang penulis dari Amerika Serikat) pernah berkata, “Simpanlah di kepalamu segala sesuatu yang engkau inginkan, bukan sesuatu yang tidak engkau inginkan”.

Apa yang dikatakan oleh Napoleon Hill tersebut bisa kita gunakan sebagai bekal untuk membangun fondasi personal branding. Sederhananya begini, bila kita ingin menjadi seorang filmmaker yang bisa menginspirasi banyak orang, maka kita harus memulainya dengan terus berpikir bahwa kita bisa menjadi seorang filmmaker.

Ya masa’ kita mau berpikir kalo kita akan kesulitan menjadi seorang filmmaker!?. Pikiran seperti itu tentu akan menghambat jalan kita untuk meraih apa yang kita inginkan. “Menyerah sejak dari pikiran”, begitu gambaran sederhananya.

Jadi, bila kita memang benar-benar ingin menjadi seorang filmmaker, ya kita harus memulainya dengan terus berpikir bahwa kita pasti bisa menjadi seorang filmmaker. Dengan begitu, kita akan mendapatkan kepercayaan diri yang mana ia merupakan basis dari personal branding. Tapi ya…jangan cuma ‘berpikir’, tetap saja kita harus ‘berbuat (berkaya)’. Ingat, pikiran adalah fondasi utama personal branding, sementara karya adalah identitas kita yang sebenarnya.

Editor: Ciqa

Gambar Pixels