Apa yang kamu lakukan jika ada barang pecah? Terutama cangkir atau vas bunga. Pasti dibuang, kan? Dengan rasa sedih dan tidak rela kita membuang benda yang lumayan berharga tersebut ke tempat sampah. Akan tetapi, di Jepang ada yang namanya “Seni Kintsugi”.
Kintsugi merupakan seni memperbaiki keramik yang sudah pecah. Hasil dari seni Kintsugi dijual dengan harga yang sangat mahal, loh. Bahkan ada yang sengaja merusak keramiknya agar bisa menggunakan seni yang satu ini.
Bagaimana cara memperbaikinya? Bukankah keramik yang sudah pecah tidak bisa kembali seperti semula? Barang pecah, kok harganya mahal sih? Apa filosofi yang dapat diambil? Yuk disimak!
Cikal Bakal
Seni ini berawal dari kisah seorang shogun yang bernama Ashikaga Yoshimasa yang tidak sengaja memecahkan cangkir kesayangannya. Ia meminta ahli seni Cina untuk memperbaikinya. Namun, cangkir tersebut hanya distaples dengan logam. Shogun merasa tidak puas dengan hasilnya, ia ingin cangkir itu terlihat indah dan anggun.
Akhirnya ia bertemu dengan pengrajin Jepang yang brilian. Si pengrajin meleburkan emas untuk menyatukan pecahan cangkir tersebut. Hasilnya, cangkir kesayangan shogun terlihat lebih indah dibanding aslinya. Lantas, apakah Ashikaga Yoshimasa itu puas? Tentu saja beliau sangat puas! Cangkir kesayangannya berubah menjadi sebuah karya seni yang bernilai.
Filosofi Kintsugi
Pecahan keramik tersebut direkatkan kembali menggunakan emas. Seni ini tidak terlalu umum, karena para seniman biasa berlomba-lomba menciptakan karya seni yang sesempurna mungkin. Sedangkan ini, dengan karya seni yang rusak diolah kembali. Tidak biasa bukan?
Umumnya manusia ingin terlihat sempurna. Berbagai usaha kita lakukan untuk menjadi sempurna. Namun, tidak jarang kita harus menghadapi kenyataan yang berbeda dari yang kita inginkan. Hal ini terkadang membuat kita merasa jatuh dan terpuruk.
Kenyataannya, kita sebagai manusia tidaklah sempurna. Kita diibaratkan sebagai keramik yang telah pecah tersebut. Dalam diri kita yang banyak kegagalan, kekurangan, kelemahan, dan kejelekan. Apa hal tersebut menjadi penghalang bagi kita? Tidak! Kita dapat mencari cara agar membuat diri kita bernilai dengan cara kita sendiri.
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dengan versinya masing-masing. Siapa sih yang tidak pernah gagal? Tidak ada, kan? Bahkan tokoh-tokoh terkenal yang sering kita dengar namanya pasti pernah mengalami kegagalan.
Kegagalan yang kita alami dapat diperbaiki dan direkatkan kembali seperti cangkir yang pecah. Meski tidak sempurna, tetapi dapat memberikan nilai baru yang membuat diri kita lebih baik, indah, dan berbeda dari yang lain.
Contoh Penerapan Kintsugi
Analoginya seperti ketika kita tidak diterima saat melamar kerja atau memasuki perguruan tinggi yang kita inginkan. Atau hal yang telah kita mimpikan sejak lama tidak tercapai. Pasti sakit sekali, bukan? Merasa usaha yang selama ini dilakukan sia-sia. Bahkan sampai muncul perasaan takut untuk mencobanya lagi.
Sebelum kita memulai menerapkan seni Kintsugi ini, terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan. Pertama, kita harus bersyukur dengan keadaan kita sekarang. Seburuk apa pun itu harus kita terima dengan lapang dada. Jika kita belum menerima kegagalan tersebut, kita tidak bisa untuk memulai memperbarui diri kita menjadi lebih baik lagi.
Kedua, kita mempelajari ketidaksempurnaan yang kita miliki. Menjadikannya alasan untuk memperbarui diri menjadi lebih baik lagi. Bila tidak diterima saat melamar pekerjaan, kita belajar dari kegagalan tersebut. Mengapa aku gagal? Apa yang kurang dari diriku? Apa yang harus dilakukan? Dan semacamnya.
Dengan begitu, kita dapat mengubah diri kita menjadi lebih baik lagi. Tidak apa-apa jika tidak sempurna. Kita hanya bertujuan menjadi lebih baik dan indah versi kita. Kintsugi memberi kita motivasi bahwa sesuatu yang sudah hancur dapat diberi nilai kembali agar menjadi kekuatan yang dapat membangkitkan semangat positif. Kita selalu memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Tidak ada kata terlambat atau mustahil untuk merubah diri kita menjadi lebih baik lagi.
Editor: Nirwansyah
Gambar: Motoki Tonn/Unsplash
Comments