Beberapa waktu lalu, setiba dari rumah saudara, saya mendengar jeritan khas adik saya yang sedang menangis dari luar rumah. “Masalah HP ini, mesti,” gumam saya dalam hati. Ternyata benar, terkait masalah digital parenting. Setelah memasuki rumah, saya melihat ibu sedang memarahi adik saya perihal penggunaan smartphone. Memang, apabila sudah berkaitan dengan smartphone, ibu saya paling tidak bisa bertoleransi.

Melihat kejadian itu, saya jadi teringat masa kecil dulu. Sebagai anak yang lahir di akhir tahun 90-an, masa kecil saya masih gemar bermain kelereng, layang-layang, sepak bola, goberan (petak umpet), dan bermacam-macam permainan tradisonal lainnya bersama teman-teman. Walaupun tradisional, tetapi tetap tidak mengurangi rasa kebahagiaan kami sedikit pun.

Selain permainan tradisional, saya juga sudah mengenal permainan modern. Sebab, dulu saya juga sering bermain PS2 (Playstasion 2) di rumah salah satu teman sepermainan saya. Seingat saya, waktu kelas 6 SD dulu, saya juga mendapat hadiah PS2 dari ayah.

Jadi, pada saat itu ada dua basecamp bermain bagi saya dan teman-teman yang silih berganti kita gunakan. Memori berkumpul dan bermain bersama inilah yang masih terekam sampai saat ini, bahkan selalu menjadi bahan flashback ketika kita kembali bersua.

Kegagapan Digital Parenting

Anak sekarang merupakan generasi digital native atau anak yang lahir di era digital. Jadi, bagi saya pribadi, wajar saja jika hubungan mereka dengan dunia digital begitu dekat. Tidak heran jika anak seusia adik saya atau mereka yang duduk di bangku sekolah dasar sudah menggunakan smartphone untuk bermain game.

Bahkan, permainan yang ada di smartphone selalu menjadi buah bibir di setiap perbincangan mereka. Memainkan game kesukaan juga menjadi mediator untuk berkumpul bersama atau mereka biasa menyebutnya dengan istilah mabar (main bareng).

Pelarangan penggunaan smartphone bagi adik saya tersebut, membuat saya iba. Betapa tidak? Lah wong semua sebayanya menggunakannya. Toh, selama masih digunakan pada taraf wajar dan tidak menghilangkan interaksinya dengan dunia nyata, saya kira tidak ada masalah.

Melarang anak-anak bermain adalah sebuah kesalahan besar. Melarang anak-anak bermain sama halnya merusak potensi anak. Sebab, masa anak-anak adalah masa untuk bermain.

Bagi saya, sikap ibu atau mungkin sebagian besar orang tua yang melarang penggunaan smartphone bagi anak-anaknya adalah karena kegagapan mereka perihal digital parenting. Yaitu, pengasuhan digital yang memberikan batasan yang jelas kepada anak tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat menggunakan perangkat digital.

Dalam hal ini, orang tua bertugas menjadi mediator pertama untuk memberikan pengalaman pada anak-anaknya terhadap alat digital. Mengacu pada teorinya Vygotsky tentang perkembangan anak dan konsepnya tentang zona perkembangan proksimal, mediasi orang tua dianggap sebagai aspek kunci dalam memfasilitasi interaksi antara anak-anak dan media baru.

Orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan penggunaan alat digital ke dalam rutinitas anak. Mengajari penggunaan yang konstruktif dan aman adalah salah satu bentuk tanggung jawab orang tua pada anaknya.

Di antara bentuk mengajari anak-anak penggunaan smartphone yang konstruktif adalah dengan cara memperkenalkan mereka dengan tontonan yang menyenangkan nan edukatif. Selain itu, dapat juga menunjukkan game yang dapat mengasah kecerdasan, membatasi jangkauan browsing mereka, dan hal-hal positif lainnya.

Dilema Orang Tua

Dilema para orang tua perihal digital parenting ini tidak lepas dari historisitas kehidupan mereka. Karena, memang manusia dalam dimensi ruang dan waktu kehidupannya jelas bersifat historis. Tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari jeratannya.

Akan tetapi, yang perlu kita pahami adalah setiap orang mempunyai zamannya masing-masing. Jadi, memaksa anak-anak untuk tetap bermain seperti zaman orang tuanya bukanlah sebuah langkah yang bijak.

Jangan sampai kekecewaan orang tua berakibat buruk pada kesehatan mental anak. Tidak hanya itu, kemarahan orang tua juga jangan sampai menjadi penyebab rusaknya relasi antara orang tua dengan anak. Karena, manusia (termasuk anak-anak) cenderung merasakan hal-hal negatif yang datang pada dirinya, meskipun proporsi objek positif lebih besar daripada objek negatif. Sederhananya, jangan sampai niatan baik orang tua untuk melindungi anak dari bahayanya dunia digital malah berakibat fatal bagi kesehatan mental dan masa depan anak.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: internetsehat.id