Berkembangnya peradaban Islam telah mengalami masa yang panjang dengan berbagai macam sengketa yang terjadi, baik di internal Islam sendiri maupun pengaruh dari luar. Hal ini kemudian terus berlangsung hingga pada masa modern, di mana peradaban Islam lebih kompleks menghadapi ideologi-ideologi dan pergerakan-pergerakan yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.
Syariat Islam yang dipandang sebagai syariat yang lengkap dan menyeluruh berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah dipandang mampu mengatasi segala macam permasalahan di berbagai lingkup kehidupan. Namun realitanya, masih banyak problematika yang kemudian menimbulkan perdebatan dalam lingkup internal umat Islam sendiri.
Syariat Islam
Di masa modern sekarang ini, pemikiran mengenai syariat Islam lebih berkembang dan mencakup seluruh asepek, hal ini kemudian berdampak pada tercampurnya ajaran Islam secara naqli dengan pemahaman rasionalisme yang menjadikan Al-Quran dan hadis bukan sebagai dasar utama dalam menentukan ketetapan. Inilah yang kemudian menimbulkan egosentrisme Islam yang berkeyakinan pada apa yang dipahami dan diyakini secara individu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang hanya mengedepankan rasionalitas semata tanpa menyandarkan kepada Al-Quran dan hadis sebagai pedoman utama.
Dalam mengatasi permasalahan ini, perlu adanya semacam gerakan tanwir di mana peradaban Islam harus kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah perlu dikaji lebih dalam untuk menghindari stagnasi pemikiran. Stagnasi pemikiran yang dimaksud di sini ialah ketidakseimbangan memahami dalil-dalil tekstual dengan realita yang ada di tengah masyarakat. Dalam pembahasan ini, gerakan tanwir terbagi kedalam 3 dimensi:
Pertama, Dimensi Spiritual
Pertama, dimensi spiritual. Hal ini merupakan dasar dalam merumuskan sebuah pencerahan dalam problematika kehidupan masyarakat. Dimensi spiritual mengharuskan setiap umat muslim memahami betul nilai-nilai transendental yang ada dalam Al-Quran dan hadis. Bukan hanya mengetahui tentang apa isi dalil tersebut, namun lebih pada seputar mengapa sebuah dalil itu kemudian nampak, apa maknanya, dan bagaimana cara memfungsikannya. Inilah yang kemudian dapat dijadikan pondasi dalam amalan hidup bermasyarakat.
Pada awal diutusnya Muhammad sebagai rasul, al-Alaq ayat 1-5 yang merupakan ayat yang pertama kali turun memberikan penekanan kepada nabi Muhammad bahwa alam semesta dan semua hal yang manusia bodoh tentangnya, kemudian Allah cerdaskan mereka dengan pengetahuan, merupakan bukti kebesaran Allah. Tahap inilah yang memberikan makna spiritual yaitu memantapkan hati Muhammad untuk mengagungkan Allah sebagai rabb semesta Alam.
Kedua, Dimensi Intelektual
Kedua, dimensi intelektual. Dimensi ini menekankan sebuah pencerahan pada aspek pengetahuan dan teknologi yang merupakan keniscayaan dalam peradaban hidup manusia. Syariat Islam selalu berjalan beriringan dengan perkembangan sains dan teknologi. Itu sebabnya kajian-kajian seputar sains dan teknologi dalam sudut pandang Islam tak ada habisnya.
Perkembangan dan eksistensi pengetahuan dan teknologi selalu mendominasi ruang lingkup peradaban. Itulah kenapa nilai-nilai spiritual yang bersifat transendental harus dijadikan sebagai dasar dan pedoman dalam menyelaraskan pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, Dimensi Sosial Budaya
Ketiga, dimensi sosial budaya. Dimensi ini mengerucut pada kajian-kajian pola hidup masyarakat; baik kota maupun desa. Dimensi sosial budaya mengharuskan umat Islam untuk memahami kondisi kultur dan budaya masyarakat pada lingkungan tertentu sehingga dengannya dapat dipahami apa yang menjadi kebutuhan dan kekurangan dalam lingkungan tersebut.
Dimensi sosial budaya menekankan nilai-nilai humanistik yang tidak lepas juga dengan unsur budaya dan sejarah masyarakat setempat. Sehingga, dalam lingkup ini syariat Islam memiliki tempat yang baik di tengah-tengah masyarakat. Misalnya dalam masyarakat desa, seringkali yang menjadi persoalan adalah pada sektor pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Di sinilah syariat Islam harus ditempatkan sebagai sebuah ruang dakwah. Dalam kasus lain, masyarakat kota yang memiliki probematika dalam hal interaksi sosial dan hedonisme. Kajian-kajian semacam silaturahmi yang diintegrasikan dengan manfaat duniawi akan lebih mudah mendapat respon positif oleh lingkungan tersebut.
Gerakan Tanwir
Gerakan pencerahan atau tanwir yang merujuk pada tiga dimensi ini diharapkan mampu menjadi antisipasi dari perkembangan ideologi semacam radikalisme yang hanya berfokus pada pemahaman dalil tekstual secara keras; liberalisme yang kemudian memunculkan pemahaman-pemahaman yang terkadang tidak sejalan dengan nilai-nilai religiusitas; serta pluralisme yang menjelma menjadi kata toleransi beragama seketika menghapus sekat-sekat akidah antar agama.
Gerakan tanwir diharapkan mampu menjadi sebuah aplikasi yang dapat kembali mengalirkan arah pemikiran dari kejumudan dan memurnikan akidah dari kesesatan dan merangkul kembali peradaban masyarakat tanpa ada sekat-sekat perbedaan.
Sehingga, peradaban Islam yang mencerahkan itu didominasi oleh masyarakat yang total dalam spiritual, cerdas dalam intelektual, dan eksis dalam kehidupan sosial.
Penulis: Shihab Wicaksono Ardhi
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments