Jujurly, awal ketertarikan saya dengan buku ini adalah karena judul yang sangar “Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya”. Bagaimana tidak, kalimat yang digunakan cukup tajam, bernas, dan tentu saja sangat mewakili orang-orang yang hidup di akhir zaman ini. Setidaknya ini menurut saya.

Selain itu, kalimat tersebut juga caption-able. Beberapa kali judul ini saya pakai sebagai kutipan di beberapa media sosial.

Sudah agak lama saya mendambakan buku ini. Namun, apa daya, dompet selalu saja tidak memihak. Perlu setidakny tiga tahun setelah buku ini terbit, baru saya dapat membelinya, itu pun karena kemari nada diskon dari penerbitnya yang hampir tidak masuk akal.

“Tokoh utamanya menguliti realitas dengan cara pandangnya yang sepintas naif dan tolol. Tapi mungkin dia, si tokoh utama, adalah sisi gelap kita. Sisi yang diam-diam kita tutupi, tapi tak pernah sungguh-sungguh kita sembunyikan. Tanpa dinyana, kadang meletup di salah satu bilik paling sunyi di kehidupan kita.” Begitulah kutipan pengantar yang ada dalam buku ini. 

Setelah membaca kutipan tersebut, saya menjadi lebih bersemangat menuntaskan bacaan satu ini. Dan memang benar, buku sekali duduk ini memang cukup menarik. Sebab, buku ini mengungkap sisi yang diam-diam kita tutupi. Sisi yang mana? Tenang, nanti pelan-pelan saya ulas.

Oh, iya, perlu diketahui juga bahwa buku ini adalah novela gelap dengan sisipan bahasa yang kasar, kotor, dan emosional. Jadi, sebisa mungkin jauhkan dari anak-anak atau orang yang belum pas untuk bersinggungan dengan kata-kata “Mutiara” tersebut.

Buku ini terdiri dari tiga belas bagian. Dan semua bagiannya sungguh menggambaran realitas sosial saat ini. Iya, buku ini bercerita tentang perjalanan tokoh yang memunggungi sisi menyebalkan dalam kehidupan. Sisi yang akan selalu ada. Bahkan bagi seorang anak kecil yang terpaksa hidup sendirian.

Kemiskinan struktural, penyalahgunaan kekuasaan, pengaruh pertemanan, orang-orang gila jabatan, budayawan palsu yang hanya pintar di atas mimbar saja, pelecehan seksual, sisi empati umat manusia. Dan masih banyak lainnya.

Alasan kenapa buku menarik tentu ada banyak. Salah satunya bagi saya adalah cara penulis membahasakan situasi dengan cukup detail. Membuat kita mudah membayangkan kondisi tersebut. penggunaan diksi, setting, penokohan, dan semua hal yang berhubungan cerita memang dapat kita serap dengan mudah. Jan, meski berwajah imut, harus diakui kalau penulis buku ini (Mas Puthut) memang novelis jempolan.

Secara tidak langsung, tokoh utama di sini seakan-akan mengutarakan isi kepala kita terhadap dunia beserta orang-orang menyebalkan yang selalu merasa dirinya keren.

“Pada dasarnya mereka lebih pengecut dari aku. Cuma mereka lebih bisa membungkusnya dengan bahasa yang katanya puitis, dengan lagu-lagu, dengan lukisan-lukisan. Aku tak pernah tertarik mendengarkan lagu. Itu hanya sekadar orang memanjangkan dan memendekkan kata-kata, lalu diiringi dengan tetabuhan, dan kadang diberi kata-kata tak jelas macam: duuu, duuuu, duuuu, duuuuu …” 

“Orang menyebutnya ‘budayawan’. Sebagian anak muda bilang ‘aktivis tua’. Tapi bagiku, dia adalah orang biasa yang terlalu banyak membaca buku dan berlatih bicara di depan banyak orang.” 

“Para sastrawan lebih tak masuk akal lagi. Mereka mencari ide, menulis berlembar-lembar, mau bilang sesuatu harus berputar-putar. Mau bilang kalau kamu jelek, harus menggambarkan segala sifat, tingkah laku, dan segala tetek bengek. Mereka memanjangkan apa yang pendek.” 

Gimana? Benar-benar bernas, bukan kalimatnya? Saya hanya bisa memberikan bocoran 3 paragraf saja. Karena jika semuanya saya masukkan, tentu saja bukan hal yang bijak.

Oh, iya, menyoal tida paragraf tersebut, saya sangat relate. Dalam hati terdalam, saya sering memendam perasaan ini. Saya memang sering menganggap beberapa orang merasa dirinya penting, keren, hebat, dan puja-puji lainnya, akan tetapi, dalam pandangan saya, blasss mereka nggak ada bagus-bagusnya.

Ini memang perasaan negatif dan gelap yang ada pada dari manusia. Namun, seperti yang diungkapkan dalam pengantarnya, sisi yang sering kita tutupi ini memag tak mungkin tertutup sepenuhnya.

Di samping itu, tentu saja ada beragam makna yang dapat kita ambil pelajaran. Misalnya, ada banyak orang yang terlihat luar biasa dari covernya saja. Ketika kita tahu kehidupannya secara utuh, ia juga memiliki sisi brengsek. Sama seperti kebanyakan orang.

Fenomena lain, kita juga lebih suka memakai istilah yang menunjukkan intelektualitas. Misalnya, memakai kata diskusi ketimbang ngobrol. Padahal, kedua kata tersebut susah sekali dibedakan. Dalam praktinya, mungkin tak ada bedanya. Forum-forum diskusi memang terlihat seperti obrolan saja yang ngalor-ngidul, tanpa tujuan dan pembahasan yang jelas.

Selain itu, jangan lupakan ilustratornya. Bagi saya, unsur yang membuat buku ini ciamik adalah ilustrasinya yang dibuat selaras dengan permasalahan yang diangkat pada tiap-tiap pembahasan. Sungguh, benar-benar kombinasi yang pas untuk sebuah buku bacaan. 

Yah, sebuah buku yang cocok dibaca di suatu sore yang gembira. Menemani tiap-tiap malammu yang penuh kegelisahan

Satu lagi, jangan beli buku bajakan!

Gambar: Mojok