Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr, menceritakan laki-laki berperawakan tinggi besar yang sedang berjalan menuju perbatasan dua lautan. Badannya tegap, langkahnya mantap, tekadnya kuat. Terik matahari siang itu tak menyurutkan niatnya untuk menemukan orang yang ia cari.
Dialah Musa a.s. yang sedang berkelana untuk menjalankan titah Tuhannya. Berguru kepada seorang hamba Allah SWT yang dikaruniai rahmat dan keluasan ilmu. Sebab, ia telah berlaku sombong, mengganggap dirinya paling mulia dan berilmu di lain waktu.
Nabi Musa bertemu Nabi Khidr
Tepat di laut tempat ikannya menghilang, ia menemukan sosok yang menarik perhatiannya. Nur Ilahi memancar dari dalam diri seseorang yang dengannya Musa a.s. yakin bahwa orang inilah yang ia cari. Tatkala Musa a.s. berada di hadapannya, ia mengucapkan salam dan berkata:
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku?”
“Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” jawab orang itu.
“In syaa Allah akan engkau dapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun,” balas Musa a.s menyakinkan.
“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu,” jelas orang itu mengajukan persyaratan.
Musa a.s, setuju atas persyaratan yang menurutnya mudah. Sejak saat itu dimulailah perjalanannya mengikuti lelaki ini. Sebagian mufasir ada yang menyebutkan bahwa hamba Allah SWT yang diikuti Musa a.s. bernama Khidr a.s.
Perjalanan Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr
Keduanya berjalan hingga sampai di lautan dan menumpang sebuah perahu milik penduduk setempat. Tanpa sepengetahuan yang lain, Khidr a.s. melubangi perahu yang mereka naiki. Lubang yang membuat perahu nampak cacat, namun tetap bisa berlayar jika lubang itu ditambal.
Musa a.s. yang melihat kejadian tersebut secara spontan protes. Hatinya memberontak. la merasa itu tak seharusnya dilakukan.
Khidr a.s. dengan tenang mengingatkan kesepakatan awal mereka. Musa a.s. mengakui kesalahannya karena lupa dengan kesepakatan itu dan meminta supaya Khidr a.s. tetap mengizinkan ia mengikutinya.
Kesabaran Musa a.s. diuji. Akalnya tak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang nampak di hadapannya adalah sebuah kesalahan.
Di suatu hari yang cerah, Musa a.s. dan Khidr a.s. berjalan di sebuah negeri yang ramai. Penduduknya ramah. Banyak anak-anak bermain dan berlarian ke sana kemari. Melihat salah seorang anak, Khidr memanggil dan mengajaknya ke tempat lain yang sepi.
Sesampainya di sana dia membunuh anak itu. Melihat kejadian tersebut, Musa a.s terkejut. Dia tak menyangka sama sekali lelaki yang beberapa saat lalu dianggapnya sebagai guru telah membunuh jiwa suci di hadapan matanya.
“Mengapa engkau membunuhnya? Sedang dia tidak membunuh orang? Sungguh engkau telah melakukan perbuatan munkar,” ucapnya geram.
Ya, dialah Musa a.s. yang berperangai spontan, cepat marah dan tergesa-gesa. Apa yang dilihatnya kali ini benar-benar menampakkan sifat dalam dirinya yang selama ini berusaha untuk diredam.
Musa hampir tidak mampu menguasai dirinya ketika melihat hal ini. Dengan tenang, gurunya mengingatkan kembali kesepakatan mereka sebelum memulai perjalanan.
Khidr a.s. berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup bersabar menerima alasan dariku.”
Lantas keduanya melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah perkampungan. Karena perjalanan yang jauh, mereka merasa lapar dan haus. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk setempat.
Namun, tidak satu pun penduduk yang mau menerima mereka di rumahnya. Alih-alih diterima, mereka justru mendapat perlakuan yang kurang baik.
Keduanya mendapati ada dinding yang hampir roboh di perkampungan tersebut. Khidr a.s. dengan segera menegakkan kembali dinding itu. Menyaksikan kejadian ini, Musa a.s. berkomentar. “Jika kau mau, engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”
Musa a.s. menyesali perkataannya. la tahu bahwa inilah waktu perpisahan baginya dengan orang yang tak mampu ia pahami sama sekali perbuatannya.
Baginya, semua yang dilakukan oleh gurunya sejak mereka bersama adalah sesuatu yang aneh. Bahkan melanggar syariat dan merugikan orang lain. Ia selalu dihantui rasa penasaran terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang diikutinya itu. Mengapa ia melakukan itu semua?
Khidr a.s. tersenyum dan berkata,” Inilah waktu perpisahan antara aku dan engkau. Aku akan memberikan penjelasan tentang perbuatanku yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya.”
Melubangi perahu justru supaya tidak dirampas oleh raja yang zalim. Membunuh anak tersebut agar tidak membawa orang tuanya kepada kekafiran. Membangun dinding yang roboh adalah untuk menyelamatkan hak orang lain atas harta yang terpendam di bawahnya.
Khidr menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan adalah wahyu dari Allah Swt. Bukan kehendak dirinya.
Musa a.s. baru memahami maksud dari semua perbuatan gurunya. Apa yang nampak salah di matanya ternyata memiliki maksud lain yang mulia. Seakan menyingkap tirai penghalang di depan matanya.
Perjalanan itu telah mengancurkan tembok kesabaran Musa a.s. Ilmu yang sempat ia sombongkan telah hancur berkeping-keping karena semua peristiwa yang ia tidak tahu hakikat di baliknya.
Ia merasa seakan terjerembab ke dasar bumi. Tak tersisa dalam dirinya kecuali pengakuan kealpaan dan kelemahan ilmunya. Allah SWT menegurnya dengan begitu lembut melalui hamba-Nya yang sabar dalam membimbingnya.
Hikmah dari Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr
Di jalan kehidupan, barangkali kita pernah mengalami hal serupa Musa a.s. Gegabah dan reaktif atas setiap peristiwa. Mendahulukan menilai yang tampak mata ketimbang mencoba memahami makna di baliknya. Padahal, barangkali tidak demikian sejatinya.
Kita bereaksi spontan dan tak mampu melihat hakikat di balik peristiwa karena minimnya ilmu dan pengetahuan.
Allah SWT sengaja meng-hijab masa depan agar kita menikmati setiap proses perjuangan. Agar kita mencicipi manisnya setiap ikhtiar, memupuk kesabaran, dan mendewasa bersama waktu.
Sabar dalam merencanakan, sabar dalam menanam, sabar dalam ujian, dan sabar pula menuai panen. Sabar dalam setiap proses kehidupan. Bukankah Allah SWT sudah siapkan imbalan terbaik bagi siapa saja yang mau bersabar?
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas,” (QS. Az-Zumar: 10)
Maka tenanglah, karena bersama kesabaran itu ada kemudahan dan pertolongan. Karena apa yang terjadi hari ini tak harus ada jawabnya segera. Jalani, nikmati, dan syukuri saja. Seperti hikmah dibalik kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr.
Hingga pada saatnya nanti Allah SWT bukakan hijab yang menghalangi pandangan kita. Barulah kita bisa memaknai utuh apa yang telah Allah SWT siapkan untuk hamba-Nya.
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments