Saya berusaha menanggapi perang silang pendapat antara mas Bukhari Muslim dengan Mas Ariel Seto Adinugraha tentang boleh tidaknya pacaran dalam Islam. Karena persoalan pacaran ini nggak boleh dibiarkan menjadi tabu. Jika dibiarkan tetap dalam ranah tabu, kita nggak mau membahasnya padahal menimbulkan banyak masalah dan perlu solusi. Setidaknya kita perlu menanyakan, kalau nggak boleh pacaran, terus apa solusinya?

Sebelum masuk ke dalam inti pembahasan, kita perlu mengingat dua tulisan yang saya singgung. Mas Bukhari menembus batas yang selama ini dianggap tabu untuk dibahas. Sementara mas Ariel, meskipun dengan cara halus dan santai, mengkhawatirkan pandangan Mas Bukhari dan kontra-pandangan yang membolehkan pacaran. Namun, menurut saya banyak ruang kosong yang belum diperhatikan dalam kedua artikel di IBTimes.ID tersebut.

Pacaran dan Anak Muda

Saya ingat, sekitar 6 tahun lalu saya menulis di blog pribadi tulisan berjudul Banyaknya Alasan untuk Nggak Pacaran. Tulisan ini saya buat sampai 3 seri. Salah satu seri malah jadi yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah blog saya sampai hari ini. Dari sini, jelas terlihat bahwa saya pernah berada dalam posisi kontra-pacaran.

Lalu makin ke sini, keadaan makin berubah. Selain tentunya berdasar pengalaman sendiri, saya membuktikan bahwa urusan perasaan itu benar adanya. Anak muda menyukai lawan jenis itu sangat lumrah. Ini terjadi dari masa ke masa.

Kita nggak bisa benar-benar memisahkan diri dari urusan perasaan ini. Bahkan bisa dibilang semua orang bisa jatuh hati, nggak terbatas pada orang-orang yang mendekati urusan perasaan dan dekat dengan lawan jenis. Ada yang jarang berinteraksi dengan lawan jenis tapi tetap bisa naksir, orang yang sudah patah hati berkali-kali lalu naksir orang juga ada.

Orang yang sangat saleh dan dekat dengan agama pun nggak terlepas dari urusan perasaan. Bahkan, orang yang mati-matian menghindari perasaan dan membenci pacaran pun ada yang pada akhirnya takluk dengan perasaannya sendiri.

Terlebih lagi dalam dunia yang berubah ini, kita semua membutuhkan support system dalam menjalankan hidup, juga menyelesaikan masalah dalam kehidupan. Hal ini lazimnya didapat dari keluarga, tapi sekarang susah sekali dukungan dari keluarga didapatkan. Pada akhirnya teman dan pacar pun bisa jadi solusi menambal kebutuhan yang nggak bisa dipenuhi oleh keluarga.

Akhirnya, saya pun berkesimpulan bahwa urusan perasaan dan anak muda seperti nggak bisa dilepaskan. Ini bukan fenomena baru, terjadi dari dulu sampai sekarang. Dahulu, di zaman orang tua kita, istilah naksir, pacaran juga dikenal. Jatuh cinta, menyimpan rasa, dan ambyar juga sudah ada. Jadi kalau menganggap anak muda sekarang lebih nggak bermoral di urusan perasaan ini, saya rasa itu pelabelan yang sama sekali nggak bijak.

Hanya saja, cara-cara di masa lalu berbeda dengan sekarang. Kalau dulu naksir dan pacaran perlu lewat surat dan mak comblang, maka sekarang berubah. Teknologi mendukung untuk komunikasi yang lebih intens lewat chat tanpa perantara, dengan risiko dipergoki orang tua sangat minim.

 

Nikah Muda Bukan Solusi

Di masa lalu, saya sempat bersimpati juga ke gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP). Karena saya sepakat bahwa pacaran bisa mengarahkan pada aktivitas yang kurang baik. Namun seiring berjalannya waktu saya paham bahwa jalan yang dipilih ITP dengan mengajak hijrah, melarang pacaran, lalu mengarahkan kepada nikah muda sembari berjualan bukanlah solusi.

Bagaimana bisa disebut sebagai solusi, kalau nyatanya saya malah menjumpai orang yang nggak terlalu jauh dari lingkaran saya kesulitan hidupnya setelah nikah muda. Belum lulus kuliah sudah menikah, belum punya penghasilan yang cukup sudah punya anak, belum cukup besar anak pertamanya lalu punya anak kedua. Penghasilan minim, tempat tinggal nggak tetap, namun sudah punya dua anak. Apa yang bisa diharapkan dari nikah muda dengan model semacam ini?

Kasus di atas hanya contoh kecil. Untuk memastikan, coba tanya deh orang-orang yang berkaitan dengan urusan di Pengadilan Agama. Atau minimal ke mahasiswa Hukum Keluarga Islam. Meskipun nggak semuanya, tapi harus kita akui bersama bahwa banyak sekali permasalahan rumah tangga karena nikah muda.

Memang benar bahwa ada yang bisa menggantikan kebutuhan perasaan dan berpacaran ini dengan mendekatkan diri kepada agama. Tapi sangat sedikit yang benar-benar bisa melakukannya. Banyak teman-teman sesama anak muda, apalagi saya yang lemah iman ini, nggak cukup memenuhi kebutuhan psikologis dan dukungan lain hanya dengan agama. Solusi mendekatkan diri ke agama dan nikah muda hanya jadi wujud menyederhanakan masalah. Sama sekali nggak menyelesaikan masalah.

Karenanya, kita bisa berkesimpulan bahwa pacaran nggak selamanya bisa diidentikkan dengan zina, juga ta’aruf yang diusulkan nggak cukup mengatasi persoalan. Sebaliknya, pacaran juga bisa jadi jalan untuk mempersiapkan diri dan mengenal calon istri/suami.

Bayangkan, dengan keadaan ekonomi menengah atau menengah ke bawah dan tanpa mengandalkan bantuan orang tua, kita butuh waktu setahun untuk menabung dan mempersiapkan kehidupan rumah tangga. Itu pun baru urusan pernikahan.

Bisa jadi butuh waktu bertahun-tahun untuk memastikan karakter calon pasangan, membuat semua karakter baik dan buruk kita ketahui, sampai memastikan pasangan kita bukan pribadi toksik atau bahkan predaktor seksual. Tentu muaranya untuk menciptakan keluarga sakinah-mawaddah-warrahmah.

 

Terus, Apa Solusinya?

Pada akhirnya, saya nggak bisa bohong soal perasaan. Namun, di sisi lain kita juga harus berhati-hati karena agama mewanti-wanti soal hubungan lawan jenis ini.

Saya pun berpendirian bahwa pacaran beda dengan mendekati zina. Bukankah kalau kita sekadar dekat dengan lawan jenis, sering ngobrol, sharing, makan bareng, dan ketemuan bisa dianggap “berpacaran” walaupun tanpa kontak fisik yang intens?

Tapi di sisi lain, bisa juga pacaran mengarah ke hal-hal yang mendekati zina atau zina itu sendiri. Harus diakui, hal ini banyak terjadi di sekitar kita. Belum lagi tentang anak-anak SD dan SMP yang ikut ingin pacaran karena meniru kakaknya. Sehingga pada akhirnya saya membolehkan diri saya untuk berpacaran dalam usia yang sudah cukup matang, namun berusaha sebisa mungkin nggak “mendekati zina”.

Tentu ini sebatas pendirian saya pribadi sebagai anak yang memperhatikan zamannya. Ada benarnya tapi bisa jadi salah. Lalu, lewat tulisan ini saya mendorong kepada generasi di atas kami untuk memperhatikan hal ini secara menyeluruh, bukannya memposisikan pacaran sebagai tabu yang haram untuk dibahas.

Akhirnya, berdasarkan kegelisahan ini, bagi teman-teman dan siapapun yang mumpuni dalam ilmu sosial maupun agama, saya ingin bertanya, apakah sudah benar prinsip yang saya pegang dan membolehkan pacaran di atas?

Lalu, kalau pada akhirnya nggak boleh berpacaran, terus apa solusinya? Solusi yang bisa diterima semua kalangan dan nggak menggampangkan masalah tentunya.

 

Editor: Halimah