Jalan raya antar kota kadang menguntungkan bagi orang-orang yang memiliki rumah di sepanjang jalannya. Akses transportasi umum yang bisa didapat kapan saja tanpa perlu tanpa perlu menuju halte atau terminal, itu salah di antaranya.
Seperti saya, yang bertempat tinggal di Jalan Raya Kediri-Kertosono. Kalau ke arah selatan, menuju Tulungagung. Kalau ke arah utara, menuju Jombang. Hanya tinggal menunggu di depan rumah, saya bisa mendapatkan bus yang menuju Surabaya ataupun Trenggalek.
Selain bus, pemandangan kendaraan besar seperti pick up, truk, sampai kontainer adalah hal yang biasa bagi saya. Ataupun kendaraan-kendaraan luar kota yang menyempatkan beristirahat sejenak, baik di warung-warung ataupun toko kelontong setempat. Tentu saja itu merupakan penglaris bagi penggerak UMKM di desa saya.
Namun, memiliki rumah di jalan raya antar kota tidak selalu menguntungkan, malah lebih banyak menyebalkannya. Kadang kita cuma bisa mengelus dada melihat kelakuan para pengendara lintas kota tersebut.
Suara kendaraan yang bising
Ya, salah satu hal yang paling menyebalkan tinggal di jalan raya antar kota adalah suara bising kendaraan. Mungkin, bagi kalian yang tinggal di jalan kecil bisa menikmati ngobrol di teras rumah.
Bagi saya, ngobrol di teras rumah saya hanya akan menambah tenaga karena bisingnya kendaraan membuat saya harus ekstra keras menaikkan volume suara saya. Belum lagi jika ada bus dengan teloletnya, itu akan mengubah mood kalian menjadi buruk secara drastis.
Debu yang banyak
Lalu lalang kendaraan besar membuat angin yang dibawanya juga kencang. Bukan hanya suaranya yang bising, tapi lalu lalang kendaraan tersebut juga turut menyapu debu-debu di tanah ke dalam rumah. Baru saja disapu, besok debu sudah banyak lagi. Kalau tidak rajin nyapu, ya siap-siap debunya bisa dibuat bangun rumah.
Salah satu untuk meminimalisir debu adalah dengan menyirami tanah depan rumah setiap hari. Jadi butuh tenaga ekstra untuk bisa bertahan hidup di jalan raya antar kota, terlebih tenaga untuk bersih-bersih.
Menjadi penonton sirkuit bus
Karena rumah saya berada di jalan raya Kediri-Tulungagung, maka bus yang sering lewat adalah bus Harapan Jaya, Bagong, dan Pelita Indah. Namun, rivalitas yang getol adalah antara bus Bagong dan Harapan Jaya.
Jika beruntung, kalian bisa melihat bagaimana kedua bus tersebut salip-menyalip kejar penumpang. Kalo ugal-ugalan, kalian tahu sendirilah. Ugal-ugalan tersebut juga mengkhawatirkan pengendara lainnya, bahkan warga setempat.
Kendaraan besar yang parkir di pinggir jalan
Hampir seluruh rumah di desa saya memiliki jarak sekitar dua sampai tiga meter dari jalan raya. Jarak yang memisahkan aspal dengan teras rumah hanyalah tanah, yang biasanya juga sebagai jalan kaki warga setempat.
Hal yang sering terjadi yang dapat mengancam keselamatan masyarakat adalah ketika ada bus atau truk yang parkir di pinggir jalan. Jalan setapak menjadi penuh, tertutup kendaraan.
Tak jarang, warga yang berjalan kaki harus rela lewat aspal hanya karena jalannya tertutup oleh kendaraan. Kadang motor yang akan menyeberang juga harus ekstra berhati-hati untuk melihat ke kanan dan kiri karena sebagian pandangan terhalangi oleh kendaraan yang parkir liar. Bayangkan saja jika sebuah kontainer parkir di depan halaman rumahmu, apa kamu tidak misuh-misuh?
Kendaraan yang transit nyampah sembarangan
Selain parkir seenaknya, tak jarang para pengendara transit di pinggir jalan untuk istirahat sejenak. Namun, istirahatnya sambil makan atau ngemil. Itu wajar sih, tapi mbok ya sampahnya jangan dibuang di depan rumah, dong!
Kadang selain transit, pengendara-pengendara lintas kota juga numpang nyampah di depan rumah. Apalagi kalau sampah-sampah makanan yang tidak habis. Yang makan siapa, yang membersihkan siapa?. Memang butuh kesabaran ekstra untuk tinggal di pinggir jalan raya antar kota.
Editor: Yud
Gambar: Pexels
Comments