“Gelas kosong” bukan sembarang gambaran atau untaian kata saja. “Gelas kosong” bukan kaitannya dengan makanan atau minuman, melainkan sebuah filosofi yang memiliki makna mendalam dan sudah turun menurun. Filosofi ini bukanlah hal baru bagi seorang penuntut ilmu, sudah menjadi hal lumrah dalam dunia pendidikan seorang guru memberikan nasihat kepada muridnya agar selalu menjalankan filosofi “gelas kosong” dalam rangka menuntut ilmu. 

Umumnya filosofi ini digunakan sebagai motivasi kepada anak didik agar selalu haus akan ilmu. Sering ditemui bagaimana sebuah budaya ini terjadi di tengah-tengah pembelajaran. Siswa hingga mahasiswa ketika pembelajaran dilangsungkan cenderung diam dan pasif, sehingga guru hanya menyampaikan khutbahnya di depan anak didiknya. Berbanding jauh dengan budaya pendidikan di barat, di mana seni bertanya dan keaktifan dalam pembelajaran sudah dipupuk sedari kecil, senada dengan yang disampaikan oleh Romo Frans Magnis Suseno dalam penyampaiannya. Dampaknya adalah secara tidak langsung para “objek pendidikan” tersebut mudah mengafirmasi apa yang disampaikan oleh pendidik, bahkan sekalipun jika hal itu terdapat kesalahan dalam penjelasannya.

Idealitas Menuntut ilmu  

Dalam Islam, orang yang memiliki ilmu dan yang tidak memiliki ilmu terdapat perbedaan antara keduanya. Disebutkan dalam surah Az-Zumar ayat 9:

Katakanlah: adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.” 

Tentunya memiliki ilmu menjadi sebuah keutamaan seorang Muslim dalam beragama dan berkehidupan, ilmu didapatkan dari sumber primer keilmuan Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah dan diimplementasikan menjadi sebuah amalan dalam kesehariannya. Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan dalam penyampaiannya bahwa seseorang yang sedang membaca itu ditandai dengan munculnya teori-teori yang memiliki hubungan dengan bacaan yang sedang dibacanya, apabila ia sedang membaca maka muncul teori-teori yang datang dari berbagai referensi, sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang ia baca. Oleh karena itu, integrasi pemikiran terkait suatu disiplin ilmu tersebut memiliki keragaman dan keluasan wawasan. 

Keluasan wawasan menjadikan seseorang mampu melihat realitas kehidupan dengan bijak. Referensi-referensi yang ia dibaca dapat dielaborasikan sehingga mampu melihat kehidupan dengan berbagai perspektif. Tentunya dengan memiliki keluasan wawasan, seseorang penuntut ilmu menjadi proaktif dalam sebuah pembelajaran. Menurut beberapa filsuf ilmu itu muncul dari tiga segi, pertama, hati yang berpikir; kedua, lisan yang memberikan argumentasi; dan ketiga, penjelasan yang imajinatif untuk memahamkan orang lain (Adab ad-dunya wa ad-din, hlm. 77).

Interpretasi “Gelas Kosong” 

Banyak tafsiran mengenai filosofi “gelas kosong”. Namun tafsiran yang masyhur dan tersebar terkait filosofi ini adalah layaknya seseorang mengosongkan pikirannya dan memposisikan diri untuk siap dalam belajar. Kalimat  “memposisikan diri untuk siap belajar” mungkin tidak ada keanehan terhadapnya, karena sesuai dengan tujuan cita-cita dalam belajar. Menjadi rancu ketika seseorang yang ingin belajar justru diarahkan untuk mengosongkan pikirannya, sesuai yang ada dalam kalimat “Seseorang mengosongkan pikirannya…” dengan alasan kosongnya pikiran akan mudah diisi oleh isian yang dapat mengisi kekosongan tersebut. 

Kalimat tersebut terikat dengan satu kata “kosong”, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kosong berarti tidak berisi. Sehingga terma kosong memang mengandung makna yang tidak berisi sesuatu dan tidak terdapat sesuatu di dalamnya. Filosofi tersebut mengharuskan seorang penuntut ilmu untuk mengosongkan atau membuat pikirannya tidak berisi supaya dapat menerima ilmu yang akan sampai kepadanya. 

Kosong dan Determinisme Individu

Filosofi terhadap sesuatu biasanya sesuai dengan sang pemberi makna. Hal itu sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan para filosof atau yang menggeluti aktivitas tersebut. Sebagaimana interpretasi di atas, dalam hal menuntut ilmu seseorang harus mengosongkan perspektifnya atau gambarannya untuk bisa menerima sebuah ilmu. Al-Attas mengartikan ilmu sebagai “tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri” (Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hlm. 13). Definisi al-Attas tersebut mengungkap suatu realitas individu dalam peningkatan kognisi, manusia seharusnya tidak hanya pasif menerima apa yang diterangkan seseorang atau guru, melainkan juga mempersiapkan jiwanya untuk berperan aktif menerima makna tersebut kepada jiwanya secara sadar dan selektif.

Sehingga jika konsep mengosongkan pikiran dan jiwa tersebut dimanifestasikan dalam kegiatan menuntut ilmu, maka hal itu secara tidak langsung akan menjadikan seseorang di bawah pengaruh orang lain. Karena orang yang belajar tanpa bekal ilmu maka akan mudah termanipulasi, apakah itu manipulasi terkait substansi pembelajaran atau orientasinya. 

Rekonstruksi Filosofis “Gelas Kosong”

Filosofi “gelas kosong” sebetulnya masih memiliki esensi yang relevan dengan dinamika pendidikan saat ini, tetapi memerlukan rekonstruksi filosofis, sehingga filosofi yang diyakini oleh peserta didik mampu menunjang kognisi lebih kritis dan progresif. 

Rekonstruksi tersebut dilakukan dengan memaknai bahwa mengosongkan “gelas kosong” adalah menyiapkan bumbu terbaik bagi gelas yang akan diisi oleh sesuatu. Ibarat gelas yang akan diisi oleh kopi akan lebih nikmat apabila ditambahkan gula, ataupun nasi goreng tanpa garam akan terasa hambar. Tentunya bekal gelas tersebut relatif sesuai dengan kebutuhannya, bahkan ada orang yang menikmati kopi tanpa gula sekalipun dan ada beberapa orang yang tidak membutuhkan garam untuk nasi gorengnya dikarenakan alasan tertentu. 

Peserta didik sebelum mengikuti pengajaran dari guru sebaiknya membekali diri dengan literatur-literatur yang menunjang terkait apa yang akan disampaikan oleh gurunya. Dengan itu, filosofi gelas kosong yang telah direkonstruksi ini dapat dimanifestasikan oleh para peserta didik agar lebih selektif dan kritis dalam menerima sebuah ilmu atau pengajaran.

Editor: Yud

Gambar: Pexels