Presiden mahasiswa tidak saya rekomendasikan untuk masuk sebagai list cita-cita, atau 100 impian saat menjadi mahasiswa baru, ataupun mahasiswa yang sudah lama, serius.

Saat mahasiswa baru (maba) pasti pernah terpikir nantinya akan menjadi orang nomor satu di seantero kampus. Presiden mahasiswa seolah menjadi cita cita mulai, mengalahkan tujuan utama masuk kuliah. Lantaran melihat kegaharan pidato pembuka pada awal ospek.

Tapi percaya saja, cita cita semacam itu bagi saya cukup konyol, setelah saya coba mencalonkan diri di kampus dan pada akhirnya keok, alias kalah. Tapi tenang, petuah lama selalu benar, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Meskipun itu hanya semacam alibi agar tidak larut dalam kekalahan, tetapi petuah itu mujarab. Apalagi, sekelas kegagalan yang sebenarnya nggak gagal gagal amat.

Saya memang sejak maba bercita cita jadi presiden mahasiswa. Citra baik juga sudah dibangun sejauh ini, tetapi pada akhirnya tertunda, eh ga berhasil deng. Tapi setelah kekalahan itu saya akhirnya sadar, bahwa presiden mahasiswa bukanlah jabatan yang layak dipertahankan mati matian seperti kata Gus Dur. Justru sebaliknya, saya gagal dan kian kegirangan untuk fokus pada hobi saya.

Menurut pendapat saya, jadi pejabat publik di ranah mahasiswa sama sekali tidak pas di jadikan hobi. Karena memang tidak butuh keahlian khusus, asal banyak uang ada pengusung atau pendukung pasti nantinya juga bisa duduk di jabatan itu. Awalnya, saya berpikir jadi presiden mahasiswa itu amanah besar untuk menjadi ikon dari aspirasi mahasiswa kampus, lambang perjuangan atas ketidakadilan yang terjadi, wakil dari seluruh mahasiswa.

Ternyata salah, ini terbukti dari partisipasi politik saat pemilihan kemarin, dari jumlah 100% mahasiswa di kampus saya, yang berpartisipasi hanya 20 – 30 %. Ditambah lagi, hasil survei pribadi, banyak yang tidak kenal alias bodo amat siapa yang sekarang jadi presiden mahasiswa, paling paling kerjaannya juga cari popularitas untuk dirinya sendiri di luar.

Belum puas sampai di situ, saya juga mendapat wejangan hangat dari Om saya yang kini menjabat sebagai wakil rakyat termuda di kabupaten tempat saya lahir. Dia bercerita semasa di kampus dulu tidak pernah jadi pejabat publik, dia lebih fokus cari usaha, jalani kuliah tepat waktu, dan lulus dengan hobi yang menyenangkan.

Memang, jika dipikir dia tidak layak jadi panutan sekelas Soe Hok Gie, atau Tan Malaka yang sering menjadi elu eluan aktivis kampus. Tapi Om saya lalu menegaskan: baguslah kamu gagal, karena dari sekian banyak presiden mahasiswa yang nanti terjun di tengah tengah masyarakat itu jarang sekali. Entah karena faktor apa, bisa jadi karena mereka menjadikan presiden mahasiswa sebagai satu satunya cita cita semasa mahasiswa sehingga belum sempat kepikiran akan ada apa usai jadi mahasiswa.

Setelah dipikir pikir, itu sangat relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan, industri, ataupun ekonomi kini. Sekalipun masih banyak mahasiswa idealis yang kukuh mempertahankan popularitas idealismenya, tetapi realita di tengah masyarakat tidak butuh hanya konsep tanpa alur pelaksanaan yang jelas, ya mirip seperti itulah program kerja yang terbengkalai selama pandemi, apa kabar?

Sebagai yang berpengalaman pada kegagalan saya tidak menyarankan cita cita jadi presiden mahasiswa itu tertanam. Terutama pada mahasiswa baru, seperti kata teman saya yang tahun kemarin jadi presiden mahasiswa, dia mengatakan kalau jadi presma itu justru banyak ga enaknya daripada enaknya.

Terutama berhubungan dengan pihak kampus mengenai tuntutan UKT selama pandemi, nuntut takut terancam nilai, ga nuntut terancam dinilai jadi humas kampus. Serba salahnya lagi kalau terlalu dekat dengan pihak kampus dikira penjilat uang kampus, padahal nggak sama sekali. Jangankan menjilat uang kampus, uang untuk proker aja kadang kurang. Makanya sudahlah, cita cita mbok yang bener jadi presiden Indonesia kek, atau minimal jadi presiden rumah tangga yang baiklah. Sebab jadi presiden mahasiswa jangankan dibayar, atau dapat uang, malah adanya ngabis ngabisin uang.

Editor: Nawa

Gambar: Youtube.com