Dulu sewaktu remaja, sekira usia anak SMP gitu lah, saya menganggap jatuh cinta itu bukan perkara yang pelik. Ya walaupun sebetulnya perasaan jatuh cintanya belum tentu jatuh cinta betulan, sih. Tapi, rasanya percintaan di masa awal pubertas itu nggak rumit-rumit amat.  

Kalau ada lawan jenis yang disuka atau ditaksir, ya ungkapkan saja ke yang bersangkutan. Misalnya dengan ungkapan “aku suka kamu”, atau ungkapan lain yang sejenis.

Perkara nanti kok diterima ya syukur, kalau nggak diterima ya nangis sudah, move on.  Perkara nantinya kok itu cuma sekadar perasaan suka, atau bahkan cuma rasa penasaran sama orang yang ditaksir, ya dipikir keri.

Pokoknya, dulu, jatuh cinta di usia remaja itu kayaknya nggak pernah bikin susah. Simpel. Bahkan, cenderung dianggap gampang sama anak remaja yang melakoninya. Akibatnya tidak sedikit percintaan remaja yang hanya berjalan seumur jagung.

Percintaan yang sekadar cinta monyet belaka. Rawan gonta-ganti pasangan atau gandengan. Bulan ini yang-yangan sama si Mawar. Tiga bulan berikutnya sama si Melati. Tahun depannya sama si Kenanga.

Soal percintaan —yang bukan cinta betulan— saat remaja ini, saya sendiri sudah pernah mengalami. Meski tidak seekstrem gonta-ganti seperti yang saya ilustrasikan di paragraf sebelumnya, perasaan cinta yang pernah saya alami dulu tetap saja tidak rumit. Dan tentu saja, tidak bikin saya kerepotan.

Beda jauh dibanding kondisi sekarang, saat usia saya menginjak 20 tahunan. Jatuh cinta di usia ini tidak segampang seperti saat remaja. Rumit, ribet dan bikin repot. Ada banyak sekali hal yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan saat jatuh cinta di usia rawan krisis seperempat abad ini.

Dari hal paling mendasar saja misalnya, soal apakah betul perasaan yang sedang kita rasakan kepada si doi ini, betulan perasaan cinta? Jangan-jangan cuma sekadar rasa suka sama si doi. Mungkin juga cuma rasa penasaran pengin dekat saja gitu sama si doi. Dan mungkin juga hanya diri kita yang kelewat baper (bawa perasaan) dan impulsif dengan perasaan yang ujug-ujug muncul. Doi mah sebetulnya biasa saja sama kita. Hiks. Menangis~

Ya hal-hal begitulah yang menjadi bahan pertimbangan untuk memastikan apakah betul kita sedang jatuh cinta. Jangan dianggap sepele loh, ya. Ini perlu dipikirkan matang-matang, lumayan bisa buat bahan overthinking, kan. Hadeh, overthinking terooos.

Nah, yang tadi itu baru kerumitan awal ketika jatuh cinta di usia 20 tahunan. Kalau Alhamdulillah-nya kok betulan perasaan cinta dan kemudian berkomitmen menjalin hubungan, lantas apakah kerrumitan yang dihadapi ini akan berkurang? Oh tentu saja tidak, Yoreobun.

Justru setelah memutuskan untuk menjalin hubungan, kerumitan yang dihadapi akan kian bertambah. Saat menjalin hubungan percintaan di usia 20 tahunan, nggak bisa tuh kayak dulu pas remaja saling maksain ego satu sama lain. Ada banyak ego yang perlu dinego.

Soal menego ego ini ya sebetulnya nggak pas di usia 20 tahunan saja, sih. Di usia berapa pun, namanya dua orang yang sedang berkomitmen menjalin hubungan ya kudu saling punya sikap tenggang rasa dan mau menekan ego dong ya. Dan usia 20 tahunan ini adalah momentum yang pas untuk memulai latihan menoleransi ego dan segala macamnya itu.

Kerumitan lain yang barangkali juga bakal dihadapi saat menjalin hubungan di umur 20 tahunan adalah persoalan prinsip hidup masing-masing individu. Ya disadari atau tidak, prinsip hidup yang dulu jaman remaja awal belum pernah kita pikirkan, saat mulai menginjak usia 20 tahunan, akan muncul beberapa prinsip yang akan selalu kita pegang.

Entah itu kaitannya dengan visi misi hidup, pandangan politik, target atau capain karier, spiritualitas, emosi, dan sebagainya. Prinsip hidup ini bisa berpeluang membuat hubungan percintaan tambah rumit, jika tidak ada komunikasi dan toleransi antar sesama pasangan. Rumit bukan?

Tapi, di tengah segala macam kerumitan yang dirasakan tersebut, sebetulnya ada hal yang menurut saya patut disyukuri. Dengan menganggap rumitnya hubungan, artinya kita juga tidak menganggap sebuah hubungan —apalagi hubungan percintaan— yang sedang dijalani sebagai hubungan yang remeh temeh dan sepele.

Dengan kata lain, artinya kita sedang mengalami sebuah proses pendewasaan dalam berpikir, menghargai perasaan dan prinsip hirup, serta tidak memaksakan ego kepada orang lain. Itu semua adalah sebuah pencapain baik dalam perjalanan hidup untuk membuat diri kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya.   

Editor : Hiz