Pada masa kolonial akses pendidikan tidak merata. Akses pendidikan dibedakan berdasarkan status sosial dan ras. Sekolah kelas satu yang menggunakan pengantar bahasa Belanda hanya ditujukan untuk orang Eropa dan anak bangsawan Bumiputra, sedangkan masyarakat biasa tidak bisa menikmati akses pendidikan tersebut. Pendidikan yang tersedia bagi masyarakat biasa hanyalah pendidikan kemampuan teknis seperti membaca, menulis, dan berhitung, bahasa yang digunakan pun bahasa melayu, tidak bahasa Belanda. Padahal waktu itu bahasa Belanda menjadi bahasa yang sangat penting, karena dengan bahasa itulah seseorang dapat memasuki sektor-sektor penting perekonomian. Konsekuensinya seseorang yang bisa memasuki profesi-profesi terpandang hanyalah orang Eropa dan kaum bangsawan bumiputra. Masyarakat biasa tidak bisa melakukan mobilitas sosial karena memang tidak pernah diberikan akses untuk belajar bahasa Belanda dan pendidikan yang komprehensif.

Kehadiran Taman Siswa

Ditengah-tengah sistem pendidikan yang dualistis tersebut, Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara hadir untuk mengatasi problem itu. Pengajaran Bahasa Belanda disertai dengan pendidikan komprehensif mengenai aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik tidak hanya ditujukan untuk orang Eropa dan bangsawan Bumiputera, tapi juga masyarakat umum secara luas. Ki Hajar Dewantara menyatakan, Taman Siswa memiliki tujuh asas, salah satu di antaranya adalah kerakyatan, yakni memberikan akses pengajaran kepada masyarakat luas yang tidak hanya terbatas pada kelompok tertentu.

Mempertinggi pengadjaran dianggap perlu, namun djangan sampai penghambat tersebarnja pendidikan dan pengadjara untuk seluruh masjarakat murba. Dalam zaman Belanda sudah ada perguruan-perguruan tinggi, akan tetapi karena systim pengadjaran rakjat masih sangat primitifnja, maka peladjar-peladjar kebanjakan berasal dari golongan Belanda dan bangsa asing lainnja, jang berkeleluasaan menerima pengadjaran persiapan jang baik dan tjukup”.

Meskipun Taman Siswa memberikan pengajaran Bahasa Belanda kepada masyarakat Bumiputera secara luas, tidak lantas pendidikan di Taman Siswa hanya copy paste pendidikan kolonial. Justru Ki Hajar merevisi metode pengajaran sekolah kolonial. Menurut Ki Hajar pendidikan kolonial membuat siswa terasing dari dunianya sendiri, ia kemudian memasukkan nilai-nilai budaya Indonesia ke dalam pengajaran Taman Siswa agar hal tersebut tidak terjadi. Ki Hajar menganggap kebudayaan Indonesia tidak lebih rendah dari pada budaya Barat, antara nilai-nilai pengajaran dari Barat dan Timur ia padukan secara setara dalam pendidikan Taman Siswa. Dengan metode pengajaran seperti itulah Taman siswa memberikan akses pendidikan yang meluas kepada masyarakat Indonesia.

Kehadiran Pendidikan Taman Siswa

Kehadiran pendidikan Taman Siswa berhasil membukakan jalan menuju status sosial baru. Beberapa masyarakat Bumiputera yang menempuh pendidikan di Taman Siswa berhasil melanjutkan pendidikan dan memasuki sektor-sektor ekonomi strategis. Sejak tahun 1925, rata-rata alumni Taman Siswa berhasil lulus ujian pegawai negeri rendah dan ujian masuk MULO. Alumni yang lulus dari MULO pada tahun 1928, lima di antaranya berhasil lulus ujian AMS. Pada tahun 1929 jumlahnya bertambah sedikit menjadi enam. Selain itu 24 alumni yang meneruskan di sekolah keguruan, (MULO ditambah satu tahun teori dan satu tahun praktik) semuanya berhasil menjadi guru, entah di Taman Siswa sendiri maupun di pendidikan partikelir lainnya. Pengajaran bahasa Belanda dan ilmu-ilmu penting lainnya yang sebelumnya bersifat eksklusif berubah menjadi semakin terbuka. Akibatnya terjadi kesetaraan akses dalam mobilitas sosial.

Tidak hanya itu, kesetaraan juga terjadi dalam relasi antara murid dan guru. Pengajaran di Taman Siswa tidak memosisikan guru sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi, tidak juga memosisikan guru sebagai sosok yang memiliki kebenaran mutlak. Sebaliknya Murid di posisikan sebagai makhluk merdeka. Pengajaran dilakukan berdasarkan karakter khas yang dimiliki oleh murid. Murid juga diberikan kebebasan untuk mengambangkan segala potensi yang ada pada dirinya Guru diposisikan sebagai sosok pemimpin yang memberikan pengaruh di belakang, selebihnya guru memberikan kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang dimaksud dengan Tut Wuri Handayani Dengan demikian pendidikan yang terjalin tidak berjalan satu arah sebagaimana konsep banking education-nya Paulo Freire, tetapi berjalan dua arah secara demokratis. Hal ini sangat kontras dengan pengajaran yang diberikan oleh Pemerintah Belanda karena menganggap murid dari kalangan Bumiputera sebagai makhluk inferior yang segala aspirasinya patut diabaikan.

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki juga sangat lekat di Taman Siswa. Tidak seperti di sekolah-sekolah lain, di Taman Siswa antara laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan akses pendidikan yang sama. Perempuan juga tidak dibatasi dalam mempelajari aspek-aspek tertentu, misalnya terkait belajar bermain gamelan, menari, atau bahkan hal-hal yang tidak umum seperti belajar naik sepeda. Selain itu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di Taman Siswa dapat dilihat dari guru di Taman Siwa yang tidak  hanya  laki-laki,  tapi  juga  perempuan.  Bahkan  perempuan  juga  diberikan kesempatan untuk memimpin lembaga-lembaga penting di Taman Siswa, terutama lembaga Wanita Taman Siswa (perkumpulan guru perempuan dan istri guru laki-laki Taman Siswa).

Kesetaraan di Taman Siswa

Patut dicatat kesetaraan yang dibangun oleh Ki Hajar di Taman Siswa tidak hanya terbatas untuk etnis Jawa saja, tapi berlaku untuk seluruh etnis meskipun pusatnya sendiri berada di Jawa, Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya cabang-cabang Taman Siswa di wilayah lain seperti Aceh, Padang, Sulawesi, dan lain-lain.

Dengan demikian, Apa yang mencoba dibangun Ki Hajar Dewantara untuk menghadirkan pendidikan yang setara melalui Taman Siswa tanpa memandang status sosial tertentu adalah tindakan yang melampaui jiwa zamannya. Ia keluar dari batas-batas kemapanannya sebagai seorang bangsawan dan menghadirkan pendidikan visioner yang senantiasa relevan dengan kondisi kekinian.

Editor: Pratama

Artikel ini bekerja sama dengan Komunitas Cakra Dewantara