Ngomongin self healing, rasa-rasanya sudah menjadi wacana yang agak kadaluarsa untuk jadi pembahasan saat ini. Sejauh ini, bagiku pembahasan tentang self healing sudah sangat banyak dipublikasikan. Entah itu lewat TikTok, YouTube, Instagram, artikel, ataupun di story WhatsApp orang-orang yang lagi galau. 

Tapi nyatanya pembahasan self healing dari yang sifatnya bualan sampai yang autentik edukatif, rasa-rasanya masih belum mempan untuk menangani kerisauan mereka, terutama para remaja yang masih saja menganggap kegalauanya itu adalah satu-satunya penyakit yang harus diobati dengan self healing. Misalnya saja: Mereka lelah bekerja, terus pergi liburan, atau lelah ngerjain tugas kuliah, terus pergi liburan, lalu mereka update story di WhatsApp/Instagram, tulisan caption-nya “self healing” dengan jenis font italic dan diiringi backsound yang bertajuk traveller. Kira-kira begitulah interpretasi mereka tentang self healing yang menurutku kurang tepat dan perlu diperbaiki. 

Bukan berarti self healing itu keliru, tapi menurutku enggak semuanya perasaan galau; risau; sumpek itu selalu diasumsikan sebagai penyakit mental yang harus diobati dengan self healing. Kalau aku perhatikan tingkah laku kawan-kawan yang sering menggunakan istilah “self healing”, kayaknya mereka perlu menelaahnya lagi. Barangkali yang mereka pikir selama ini kebanyakan bukan tentang self healing, tapi ternyata self escaping. Iya, mereka menggunakan istilah self healing hanya untuk menghindari ketidakmampuan mereka dalam menghadapi kenyataan. 

Sekarang kita coba telaah sedikit tentang self healing, dalam literatur psikologi, self healing adalah cara penyembuhan diri secara mental akibat luka batin, seperti: trauma, pengalaman buruk atau kejadian lainnya yang membawa dampak buruk bagi kondisi emosional kita. Self healing dalam praktiknya pun bukan dengan berlibur, atau mengesampingkan hal yang menyibukkan. Akan tetapi dengan cara yang menurut ku setelah aku baca-baca, sebetulnya lebih kepada aktivitas meditasi, atau dengan kata lain pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Secara konotatif, artinya self healing itu bukan mengenyampingkan masalah, tapi menghadapinya. 

Hal itulah yang kemudian aku tergugah untuk menulis tentang perlunya mengenal self efficacy. Sebab, kalau melihat fakta kebanyakan orang melakukan self healing, mereka sebetulnya itu belum mampu untuk mencapai atau melihat tujuan otentiknya. Walhasil, yang dilakukan adalah melarikan diri dari masalah, bukan berupaya menyembuhkan penyakit mental. Kalau misalnya: Ada mahasiswa melakukan self healing itu dengan berlibur, akibat banyak tugas atau UAS, maka artinya secara enggak langsung mereka menganggap Pendidikan itu adalah sarang penyakit, dong. Iya, enggak? Wong konsep dari healing itu menyembuhkan penyakit, kok. Dan upaya yang katanya self healing tadi ya percuma, kalau setelah liburan mereka masuk kuliah mengerjakan tugas tapi nyatanya masih merasakan keterpurukan. Bukankah ini sangat tricky bagi kehidupan anak muda?

Lantas, apakah self efficacy?

Seorang ahli Psikolog kognitif asal Kanada, yakni Albert Bandura menjelaskan, bahwa self efficacy adalah kemampuan seseorang dalam melihat tujuan, menghasilkan tingkat kinerja, serta menguasai situasi yang mempengaruhi kehidupan mereka. Lebih lanjut beliau menjelaskan, bahwa dalam self efficacy, itu adalah konsep diri yang berhubungan dengan bagaimana orang merasa, berpikir, memotivasi diri, dan berperilaku terhadap situasi yang tengah dialami. 

Aku pikir self efficacy ini sangat berkorelasi dengan masalah yang akhir-akhir ini tengah dialami oleh para remaja. Di mana mereka hidup di situasi modernitas, yang kalau dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa salah dua karakteristik modernitas adalah pragmatis dan manipulatif. Kita tahu kan, kalau istilah self healing itu lahir dari sosial media, dan sosial media itu adalah proyek modernitas, yang berarti di dalamnya ada ke-pragmatis-an dan ke-manipulatif-an. Itulah yang akhirnya menyebabkan para remaja melihat konsep self healing sebagai satu-satunya jalan untuk menangani masalah hidupnya. 

Kalau begitu, bagaimanakah kita meningkatkan atau setidaknya mempunyai self efficacy?

Ada berbagai macam cara untuk mempunyai dan mengenal self efficacy, kalau kalian mau pergi ke literatur psikologi, di sana menjelaskan banyak hal. Tapi, di sini aku akan merangkumnya, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yakni dengan cara menerapkan skeptisisme, membaca buku atau dengan mengikuti akun sosial media yang edukatif. Mengapa kok demikian? Jadi kalau kita pahami self efficacy sebenarnya adalah relasi antara situasi realitas dengan manajemen akal, logika, atau kognitif. Dan ketiga cara di atas merupakan upaya yang berorientasi pada kemampuan berlogika. 

Loh, kok bisa, skeptisisme, membaca buku, dan mengikuti akun sosial media edukatif itu orientasinya pada pengembangan logika?

Jadi, dengan kita menerapkan skeptisisme, artinya secara mental, kita didorong untuk memikirkan mengapa suatu hal itu diragukan? Lalu, kita akan tiba pada aktivitas berpikir kritis, berupaya memvalidasi suatu hal dengan meriset data-data yang berhubungan dengan suatu hal yang diragukan tadi. Begitupun dengan membaca buku dan mengikuti akun sosial media edukatif. Ketika kita membaca buku dan melihat konten edukatif, artinya kita sedang menggali pengetahuan dan pengetahuan itulah yang nantinya akan jadi modal untuk meningkatkan self efficacy. Kalaupun ingin lebih efektif lagi, kita bisa menerapkan tiga cara tadi secara sistematis. Jadi, urutannya: skeptis tentang suatu hal, lalu berpikir sambil membaca buku dan melihat konten edukatif. 

Gimana, berat, ya? 

Tenang, itu enggak akan berat kok, kalau kalian terbiasa dan memang benar-benar pengen jadi manusia. Bahkan, itu enggak akan jadi beban kok. Malahan, akan jadi kebutuhan autentik kita sebagai manusia yang masih setengah matang. 

Dengan harapan lebih, semoga kawan-kawan sebaya lebih sadar lagi tentang keotentikan kita sebagai makhluk berakal, yang sedang hidup di tengah gempuran modernitas yang penuh akal-akalan ini. Bila kalian sadar tentang kesehatan mental? Mestinya enggak hanya mengenal self healing saja, tapi mengenal self efficacy juga.

Gambar: Pexels

Editor: Saa