Jika mendengar kata tasawuf, bayangan kita tak terlepas dari orang-orang yang berada dalam tarekat seperti Naqsabandiyah, Syadziliyah, Syamaniyah dan lain-lain. Tarekat-tarekat tersebut memiliki peraturan-peraturan sendiri. Padahal, sejatinya tasawuf tidak memiliki peraturan baku yang tidak boleh diubah-ubah.
Tasawuf sendiri memiliki asal bahasa yang masih diperdebatkan. Beberapa mengatakan asal katanya dari shifa’ (bersih), shuf (bulu binatang), atau shuffah. Beberapa mengatakan bahwa tasawuf bukan dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Yunani yaitu theosofie yang bermakna ilmu ketuhanan.
Menurut Buya Hamka, seorang ulama dan sastrawan, tasawuf adalah sebuah filsafat yang muncul kemudian setelah zaman Nabi. Tasawuf bergerak maju mundur sesuai dengan keadaan zaman dan kondisi negeri. Ia merupakan filsafat Islam yang maksud awalnya hendak zuhud dari dunia fana. Akan tetapi, disebabkan bergaul dengan bangsa lain, maka terjadi pencampuran kajian agama dari bangsa lain tersebut ke dalam tasawuf.
Tasawuf bukanlah agama. Ia adalah sebuah ikhtiar yang setengahnya diizinkan agama dan setengah yang lain secara tidak sadar telah tergelincir dari agama.
Tasawuf Modern Buya Hamka
Penambahan kata “modern” dimaksudkan oleh Buya Hamka untuk membedakan dengan “tasawuf-tasawuf” yang dianut oleh mereka-mereka yang telah menyimpang dari maksud tasawuf sebenarnya.
Dalam sejarah, ketika Islam sudah tersebar luas dan kekayaan bertimbun ke dalam dunia Islam, terdapat segolongan orang yang jemu melihat keadaan umat Islam yang bermegah-megahan serta ahli-ahli pikir yang gemar berbantah-bantahan. Hingga kemudian menyebabkan kelalaian dalam mengerjakan ibadah.
Segolongan orang yang menyisihkan diri itulah asal-usul kaum sufi. Tujuan baik yang awalnya hendak memerangi nafsu kemudian jatuh pada lubang-lubang yang tidak diizinkan agama. Mereka mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Tuhan. Mereka menyumpahi harta, membenci kerajaan, bahkan tidak mau mencari rezeki. Hingga kemudian ketika tentara Mongol menyerang Islam, umat Islam telah terpecah belah menjadi budak harta, budak fikih (karena terlampau berlebihan berdebat tentang fikih), dan budak pakaian sufinya.
Contoh tasawuf di atas mendapat kritik keras dari Buya Hamka. Beliau mengatakan bahwa “tasawuf” tersebut bukanlah ajaran Islam. Islam menyeru umatnya dengan semangat berjuang dan bekerja. Bukan semangat malas dan lemah. Islam menyerukan semangat keadilan, memungut kebaikan dimanapun berada dan memperbolehkan mengambil peluang mencari kesenangan yang diizinkan.
Junaid, seorang tokoh sufi berkata:
“Tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji”.
Tentunya sahabat-sahabat Rasulullah adalah sufi dalam artian Junaid tadi. Mereka berakhlak mulia, berbudi tinggi, sanggup menderita lapar. Jika mendapat kekayaan, lantas harta itu tidak melekat di dalam hatinya. Mereka adalah sufi yang tidak membutuhkan pakaian sufi. Sebab tak ada gelar yang lebih indah dari gelar sahabat Rasulullah SAW.
Penulis: Furhatul Khoiroh Amin
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments