Masing-masing orang mempunyai kriteria sendiri dalam menentukan buku yang akan ia beli. Dari banyak kriteria dalam memilih buku, saya ambil beberapa saja yang paling umum. Ada yang membeli buku karena jatuh cinta sama penulisnya, ada yang membeli karena judulnya menarik, dan ada yang membeli karena rekomendasi teman atau dari orang-orang yang menurut dia layak memberikan rekomendasi buku bacaan, bahkan ada yang beli karena tertarik pada cover bukunya.

Banyak orang yang bilang “jangan menilai buku dari covernya”. Makna petuah tersebut kurang lebih belum tentu buku yang covernya jelek isinya pun kacau atau sebaliknya.

Cover memang hanya salah satu bagian dari sebuah buku. Ia bahkan bukan menjadi tanggung jawab penulis seutuhnya. Namun perdebatan soal menilai buku dari covernya ini terlanjur menjalar ke mana-mana. Bahkan sampai ke gejala yang disebut sebagai book shamming. Padahal ya nggak ada kaitannya.

Orang tentu boleh-boleh saja dia memutuskan membeli sebuah buku hanya karena covernya bagus, sekalipun ia belum membaca isinya. Saya pernah punya teman yang begini. Dia itu suka beli buku, tapi yang dia lihat adalah covernya dulu. Jadi kalau masuk ke toko buku atau bazaar, teman saya ini langsung berhenti jika dia melihat buku dengan cover atau sampul yang keren.

Sampai di sini, saya memutuskan untuk tidak sepakat dengan petuah “jangan menilai buku dari covernya”. Bagi saya pepatah semacam itu justru menisbikan fungsi cover. Padahal cover adalah satu instrumen penting yang bikin sebuah buku itu laris atau tidak. Sekalipun saya tidak menganggap cover adalah satu-satunya faktor laris tidaknya sebuah buku.

Menilai buku dari covernya itu bisa Kita menilai satu buku itu bagus atau tidak dari covernya. Sehingga kita bisa memutuskan apakah membelinya atau tidak. Ibaratnya kalau kamu kenalan sama cewek, apa yang membuat kamu tertarik sehingga memutuskan untuk kenalan sama dia? Tentu karena casingnya atau parasnya, kan? Kemudian boleh jadi kamu malah menjalin hubungan dengan si cewek tersebut.

Banyak yang bilang jangan menilai orang dari penampilannya dan jangan mencintai seseorang hanya karena parasnya. Bah! Omong kosong itu. Orang mau kenalan dan akhirnya pacaran, bahkan ada yang sampai nikah ya karena melihat tampang dan penampilannya dulu.

Saat melamar pekerjaan juga kurang lebih sama. Si pelamar kerja pasti akan membuat penampilannya semenarik mungkin. Ini dilakukan supaya memberikan kesan yang baik kepada HRD. Dalam dunia jual beli makanan juga ada istilah packaging.

Packaging inilah yang menjadi salah satu penentu apakah pembeli memutuskan membeli atau tidak. Begitu pula pada buku, cover ini ya packaging-nya. Cover sudah seperti penentu laku tidaknya sebuah buku, dan pintu masuk bagi rejeki penulis dan penerbitnya.

Maka wajar kalau beberapa buku akhirnya merombak covernya. Bisa jadi ini supaya orang-orang semakin tertarik untuk membeli bukunya. Menasihati orang yang membeli dan menilai buku hanya lewat covernya dengan kalimat “jangan menilai buku dari covernya” adalah sesuatu yang usang dan tak perlu lagi dilakukan. Selain menihilkan peran cover, ini sekaligus boleh jadi mengerdilkan si pembuat cover. Susah-susah bikin ilustrasi buat sampul buku, eh orang-orang terlampau bijak malah bilang “jangan menilai buku dari covernya”.

Kamu kira bikin cover buku itu gampang? Saya sih nggak pernah bikin, tapi saya tahu betapa rumitnya menentukan cover dari sebuah produk penerbitan. Waktu bikin sebuah produk majalah kampus, saya dan beberapa teman berdebat mengenai desain cover yang paling cocok. Kebetulan waktu itu saya layouternya, tapi bukan saya yang bikin cover majalahnya.

Mahasiswa lain yang bikin cover dan prosesnya juga tak sebentar. Kadang ada yang kurang pas, terlalu aneh dipandang, terlalu frontal, dan macam-macamlah. Jika kamu mengikuti beberapa media sosial para penerbit, mereka sesekali pernah membagikan gambar cover buku yang hendak diterbitkan.

Lalu follower-followernya diminta untuk memilih mana cover buku yang bagus. Penulis buku pun kerap membagikan pilihan cover buku barunya yang sudah dibuat kepada penggemarnya di media sosial. Biar penggemar memilih cover mana yang paling cocok.

Menilai sebuah buku dari covernya itu bukanlah sebuah dosa. Orang boleh-boleh saja spontan bilang “buku ini kayaknya bagus deh, wong covernya saja bagus kayak gini”. Anggap saja seperti kenalan, toh kita juga mudah sekali kenalan kan? Soal penilaiannya bakal berubah, biar waktu saja yang menjawab.

Editor: Nawa

Gambar: Berkeluarga.com