Beberapa bulan lalu, saya mengikuti sebuah event menulis esai yang diselenggarakan di Yogyakarta. Event yang berlangsung selama tiga hari tersebut menghadirkan beberapa tokoh penulis kawakan. Salah satu di antaranya adalah Muhidin M. Dahlan.

Sosok yang sering disapa Gusmuh ini merupakan pengelola platform Warung Arsip dan Radio Buku. Dia juga penulis ulung, periset handal. 11 karya riset pernah ia garap; 24 karya buku pernah ia tulis, mulai dari fiksi sampai nonfiksi. Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur adalah salah satu novel yang populer karangannya, yang hari ini sudah difilmkan oleh sutradara kondang, Hanung Bramantyo.

Esai-esainya juga tidak kalah banyak menghiasi beberapa media, baik cetak maupun digital. Seperti Jawa Pos, Fajar, sampai media online sekaliber Tirto.id dan Mojok.co untuk menyebut beberapa.

Tulisan ini bukanlah resensi salah satu bukunya yang tak kalah terkenal, Inilah Esai. Melainkan membagikan secuil tutorial memasak esai langsung dari Gusmuh, meminjam bahasa pupuler belakangan ini: infone teko pusat.

Cari Konteksnya, Baru Arsipnya

Banyak orang mengira bahwa cara mudah menulis esai itu dengan membaca terlebih dahulu. Itu tidak salah. Sebab sebelum kita menulis, kita harus banyak membaca. Namun, jika ingin memulai sebuah esai, kita harus tahu gambaran besar dari “apa yang ingin kita tulis”.

Untuk memulai esai, persoalan sumber, literatur atau dalam bahasanya Gusmuh, arsip, itu hanya bersifat validasi. Maksudnya, semua bacaan-bacaan berfungsi untuk mem-validasi dari apa yang ingin kita tulis. Sebab, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mencari isu. Isu tersebutlah yang akan ditunggangi oleh esai, demikian kata Muhidin M. Dahlan.

Isu yang paling mudah adalah isu yang faktual, isu yang hangat, isu yang paling banyak dibicarakan masyarakat pada hari ini. Lantas bagaimana cara kita mengetahui isu apa yang lagi hangat hari ini: Google Trends, jawabnya.

Dalam praktiknya, Gusmuh mencontohkan langsung bagaimana cara mencari isu melalui Google Trends. Setelah membuka Google Trends, kita akan disuguhkan beberapa berita daring yang sering dibaca oleh netizen Indonesia. Di situlah kerja-kerja mencari bahan mentah dilakukan.

Dalam mencari isu, kita bisa memilih isu apa yang kita minati sebatai bahan esai nantinya. Tidak harus isu populer di urutan nomor satu, kita bisa cari isu di bawahnya, sesuai kemampuan kita. Di situlah fungsi Google Trends: pemeringkatan isu faktual.

Pada saat Gusmuh mencontohkan, hari itu bertepatan tanggal 23 Juni 2023, selang 6 hari sebelum iduladha. Kata “iduladha” pada saat itu juga termasuk salah satu kata yang banyak ditelusuri di mesin pencarian bernama Google, di urutan ke sekian. Gusmuh, sebagai contoh, menggunakan kata “iduladha” untuk mengawali memasak esai.

Sudut Pandang sebagai Kerangka Esai

Setelah kita mendapatkan bahan, barulah kita akan tahu resep apa yang pas untuk digunakan sebagai masakan yang enak. Namun, bilamana belum cukup untuk menentukan resep, kita masih bisa mencari bahan mentah lainnya. Pada saat itu, Gusmuh mengajak para peserta untuk bermain cocoklogi. Tentunya bukan sembarang cocok-cocokkan.

Melalui kata “iduladha” apa yang bisa kita garap di sana. Gusmuh memancing dengan mengatakan bahwa iduladha tahun ini bertepatan pada bulan Juni. Lantas apa? Bulan Juni merupakan bulan kelahiran Sukarno, begitu tambah Gusmuh.

Apa hubungan iduladha dan bulan Juni sebagai bulan kelahiran Sukarno? Tentunya kita akan bertanya demikian. Namun, di situlah keahlian yang harus diasah seorang penulis esai: menghubungkan hal-hal yang sukar berkaitan satu sama lain.

Gusmuh menjawab, momen iduladha adalah waktu untuk berhaji. Selain momen tersebut, umat Islam tidak bisa dan tidak diperbolehkan berhaji. Kecuali umroh, yang meninggalkan satu rukun haji: wukuf. Dari sini, kita akan beranjak dari kata kunci “iduladha” menuju “haji”.

Kembali pada persoalan cocoklogi, apa yang bisa kita tarik dari kata kunci “haji” dan “Sukarno”. Yaitu momen berhaji Sukarno pada tahun 1955, kata Gusmuh. Dari sini, esai kita mulai menemukan kerangkanya.

Sumber untuk Memvalidasi

Titik temunya adalah momen berhaji Sukarno pada tahun 1955, sekali lagi. Tetapi itu bukan jawaban final. Akan ada pertanyaan lain yang muncul: ada apa dengan haji Sukarno tahun 1955?

Maka cari literatur tentang Sukarno berhaji pada tahun 1955. Cari kata kunci lainnya yang memungkinkan. Sekali lagi, kemampuan esais akan diuji pada tahap ini.

Berhaji wajib dilakukan di Tanah Haram. Tanah Haram memiliki tanah yang gersang. Banyak tumbuhan yang tidak bisa ditanam di sana. Hanya tanaman-tanaman tertentu. Kurma adalah salah satunya, tetapi bukan itu yang akan kita bahas.

Jika kita mengaitkan antara konteks Sukarno berhaji dan tanaman yang sukar tumbuh di tanah Arab, ada salah satu tanaman yang bisa tumbuh di sana selain kurma. Disclaimer, itu bukan kaktus, bukan pula zaitun yang disebut dalam kitab suci. Tanaman itu adalah tanaman yang berasal dari Indonesia, yang hari ini dikenal dengan sebutan pohon Sukarno.

Ada apa dengan pohon Sukarno di tanah Arab? Di situlah kita mulai mencari sumber-sumber yang dibutuhkan. Tentunya untuk memvalidasi esai yang akan kita tulis.

Pohon jenis apa yang disebut dengan pohon Sukarno? Peristiwa apa dibalik penanaman pohon Sukarno? Ada pesan apa di balik pohon Sukarno? Agenda besar apa yang dibawa Sukarno melalui pohon tersebut?

Itu adalah secuil pertanyaan pengembang untuk kita cari jawabannya melalui sumber-sumber terkait. Dalam bahasa Gusmuh, di situlah drama esai dimulai.

Melalui bahan mentah yang ada, serta bumbu yang kita racik sesuai dengan resep, maka tahapan selanjutnya adalah mengaduk menjadi masakan yang enak: menulis! Esai yang baik minimal 40 paragraf: 20 dipakai-20 dibuang. Ya, setidaknya itu menurut Gusmuh.

Menulis Esai Ala Gusmuh

Dari sini, kita bisa melihat proses sebuah esai dimasak. Mulai dari bahan mentah, sampai menjadi esai yang siap disajikan. Persoalan kita bisa menemukan sudut pandang dan kelenturan bahasa, saya kira itu adalah jam terbang. Untuk melatih jam terbang tersebut, mulailah menulis yang ringan dan sederhana, sebagaimana esai ini dibuat.

Dalam penutup esai, ada cerita unik tetapi singkat. Sabtu, 1 Juli 2023, Jawa Pos melalui rubrik Halte memuat sebuah esai berjudul: Politik Sebatang Pohon Sukarno di Padang Arafah oleh Muhidin M. Dahlan. Padahal kerangka dari tulisan tersebut sebenarnya adalah materi yang disampaikan dari event seminggu sebelumnya, itu pun disampaikan secara lisan dan spontan.

Bagaimana, tertarik menulis esai?

Foto: Jawa Pos

Editor: Pratama