Setiap tahun saya selalu merasa was-was mendekati tanggal 1 Mei. Apalagi ketika dulu masih berstatus pekerja kantoran. Ya karena May Day diperingati pada tanggal tersebut.

Apakah saya harus bangun lebih pagi di hari itu supaya tidak terlambat sampai kantor? Apakah jadwal pertemuan dan janji lainnya bisa berjalan dengan lancar? Apakah saya bisa melalui hari itu dengan aktivitas seperti biasanya? Apakah saya sebaiknya menginap di dekat kantor saja mengingat tempat tinggal saya sangat dekat dengan gedung MPR/DPR sebagai target aksi unjuk rasa?

Ya, saya gelisah karena tanggal 1 Mei selalu identik dengan demonstrasi. Buat saya, 1 Mei lebih tepat disebut sebagai Hari Demo, daripada Hari Buruh atau yang dikenal sebagai May Day.

Walaupun sudah menjadi hari libur nasional, namun tetap saja saya merasa khawatir. Aksi demonstrasi buruh seakan sudah menjadi ritual tahunan untuk menggertak pengusaha, yang secara ‘tidak sengaja’ juga menggertak warga kota seperti saya. Kerusuhan yang sangat mungkin terjadi sebagai penutup aksi, selalu membayangi dan membuat saya takut. Jadi buat saya, May Day tidak lebih dari sekedar “anjuran” untuk tinggal di rumah saja.

Bahkan May Day tahun lalu, kala pandemi baru saja dimulai, ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian kalangan untuk tetap melakukan demonstrasi. Padahal saat itu, data penderita Covid-19 di seluruh Indonesia sampai akhir April 2020 sudah mencapai lebih dari 9.000 jiwa yang terindikasi positif. Memang ada beberapa kalangan yang melakukan demonstrasi secara virtual melalui media sosial, namun tetap saja terjadi demonstrasi secara fisik di beberapa daerah. Bahkan aksi May Day di Halmahera Tengah berakhir rusuh.

Bagaimana dengan tahun ini? Menurut data dari laman Covid-19.go.id, mendekati akhir bulan April di 2021 ini, tercatat sudah lebih dari 100.000 kasus aktif terpapar Covid-19 di seluruh Indonesia. Walaupun jumlah tersebut terlihat fantastis, namun saat ini semakin banyak orang yang sepertinya sudah tidak peduli dengan protokol kesehatan. Belum lagi kegiatan perekonomian yang belum pulih, dan tingginya tingkat stress orang terimbas pandemi.

Ah, saya pun kembali was-was.

May Day sebagai ‘hari besar’nya para buruh, seharusnya bisa membuat buruh bahagia ketika merayakannya. Seperti halnya konsumen yang berbahagia merayakan Hari Belanja Nasional (Harbolnas) dengan memanfaatkan pesta diskon dimana-mana. Atau tenaga pengajar yang bisa berbahagia merayakan Hari Guru dengan memanfaatkan tiket gratis masuk TMII. Semua berbahagia. Semua bersuka cita.

Bagaimana dengan buruh dan ‘hari besarnya’ ini? Saya jadi bertanya-tanya, apakah demonstrasi dianggap sebagai salah satu sarana untuk bergembira ria dalam merayakan May Day? Bagaimana mereka bisa bersuka cita sementara aksi mereka sangat mudah disusupi pihak-pihak yang ingin memprovokasi? Hal inilah yang membuat saya menjadi apatis terhadap May Day.

Demonstrasi itu sejatinya hanyalah suatu alat untuk menyampaikan keinginan. Namun ada tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum melakukan aksi. Unek-unek atau masalah yang mengganggu pekerja seharusnya bisa dibicarakan sebelumnya dengan atasan, mulai dari level supervisor, kemudian manajer, dan seterusnya. Bila tidak bisa memberikan win-win solution, barulah melakukan demonstrasi. Jadikan demonstrasi sebagai alat, bukan sebagai tujuan!

Posisi demo sebagai alat ini kelihatannya semakin lama semakin bias. Jadinya kita sering melihat peserta aksi yang justru tidak tahu apa esensinya. Apakah untuk bargaining ke manajemen? Untuk menarik perhatian? Untuk menakut-nakuti pengusaha? Untuk menambah penghasilan? Atau hanya untuk eksistensi di media sosial belaka?

Buat warga kota seperti saya, aksi May Day tidak membawa kesan yang baik selain (lagi-lagi) rusuh. Padahal para buruh maunya tuntutan mereka dipenuhi, atau paling tidak dipertimbangkan oleh pemilik usaha. Apalagi, demonstrasi bisa menjadi spot perhatian dan empati dengan target yang lebih luas. Namun, bagaimana caranya menumbuhkan empati bila setiap tahun warga justru merasa ikut terintimidasi?

Adakah yang berfikir sebaliknya? May Day dirayakan dengan sesuatu yang beraura positif. Daripada melakukan demonstrasi, lebih baik mengadakan gathering tahunan antara buruh dan pemilik usaha. Adakan bazar, lomba-lomba, atau pemutaran film, yang diakhiri dengan makan lesehan dan bincang santai bersama antara buruh dan pemilik usaha. Beri kesempatan buruh untuk membawa keluarganya berkenalan dengan pemilik perusahaan, dan ikut bersenang-senang. Dengan pendekatan seperti itu, siapa tahu pemilik usaha justru lebih legowo menerima tuntutan-tuntutan buruh.

Bisa jadi, tidak hanya buruh dan pengusaha yang bergembira. Saya, ibu-ibu penjemput anak, bapak Polisi, ataupun pekerja kantoran lainnya juga ikut senang melihatnya. Tidak perlu kesal terjebak macet, atau was-was melihat kerusuhan. Ada kebersamaan, kegembiraan, dan kedamaian di May Day.

Ini baru perayaan suka cita!