Bagi anak muda, istilah “bucin” saya pikir bukan sesuatu yang asing bagi mereka. Apalagi kalau mengingat istilah “hubungan romansa”, rasa-rasanya sudah menjadi kebutuhan primer tentang apa itu yang disebut “perbucinan”.

Tetapi, meski istilah “bucin” ini sudah sangat masyhur dikenal sebagai suatu konsep, kiranya ada suatu hal yang saya pikir agak kacau dari pemaknaan mereka tentang perbucinan.

Seolah-olah, istilah “bucin” ini menjadi hal yang absolut buruk ketika tersemat di dalam sebuah interaksi antar manusia.

Stigmatisasi tentang Bucin

Misalnya saja perkataan: bucin itu membuat orang jadi dungu, tidak tahu diri, bucin itu menyebabkan akal sehat hilang, bucin itu menandakan rendahnya citra diri seseorang, bucin itu menjerumuskan pada kemudharatan.

Bahkan tak hanya itu, saya malahan pernah menemui pasangan romansa yang salah satu dari mereka tidak terima kalau dikatain bucin. Kan, aneh kalau begitu, wong namanya pacaran itu, ya, harus didasari dengan cinta.

Mereka jadi satu kan, karena disatukan oleh cinta. Lantas, mengapa kalau dikatain bucin, kok malah tidak terima? Apa ya, jangan-jangan mereka sebenarnya tidak saling cinta, karena mereka pacaran hanya ingin mendapat apresiasi sosial? Ya, semoga saja tidak, sih.

Dari stigma-stigma itulah saya mulai berpikir: kayaknya harus direstorasi atau diluruskan kembali pemahaman tentang “bucin” ini. Tapi, memang tak ayal, stigmatisasi tentang bucin mungkin juga tidak lepas dari konstruksi sosial tentang “pacaran”.

Aktor-aktor di dalam hubungan pacaran, sejauh ini bisa dikatakan mayoritas bahwa mereka membawanya pada kemudharatan. Pun mungkin, stigma-stigma tadi muncul dikarenakan belum adanya literasi atau wacana yang menjelaskan secara eksplisit tentang apa itu sebenarnya yang disebut “bucin”.

Alhasil, ke-pragmatisan mereka dalam memaknai “bucin”, ditempelkan begitu saja pada hasil mudharat dari hubungan pacaran.

Terminologi Bucin

Apa yang disebut “bucin” itu kan, hasil akronim dari kata: budak dan cinta. Kalau dikupas secara distingsi, budak artinya orang yang selalu dituntun oleh sesuatu, dan sesuatu itu ialah cinta.

Dari sini, kalau diterminologikan berarti: bucin adalah bahasa yang menggambarkan seseorang ketika ia sedang mengada bersama cinta.

Nah, dari sini kan, terlihat kontras dengan stigma-stigma tadi. Kalau stigma tadi benar dan tepat, maka dari mana asbabun nuzul labelisasi tentang “bucin” ini adalah sesuatu yang negatif? Atau, apakah genealogi dari istilah “bucin” ini sampai menjadi kata yang bersifat destruktif?

Perspektif Linguistik

Karena “bucin” juga berhubungan dengan bahasa, maka di sini saya akan mengupasnya secara linguistik. Pada linguistik, ada yang namanya “relasi makna”.

Di dalam relasi makna, terdapat 8 konsep. Saya tidak akan memakai semua konsepnya, melainkan beberapa saja, yang saya pikir relevan untuk istilah “bucin”.

Pertama adalah konsep “meronim” dan “holonim”. Sederhananya, meronim adalah kata yang menyusun atas terbentuknya holonim, dan holonim ini adalah makna dari susunan meronim.

Sebagai contoh korelasinya dengan bucin: Si A bucin dengan si B dalam rangka menghasilkan produktivitas, yakni dengan cara saling berbenah diri, belajar, dan menghasilkan buku.

Maka, “bucin” di sini adalah meronimnya, dan “produktivitas” adalah holonimnya. Jadi, “bucin” akan menjadi makna, bila dilihat dari holonimnya. Gimana? Kalau agak pusing, mari baca lebih lanjut. Saya akan mengupasnya lebih sederhana lagi.

Perspektif Filosofi ala Anak Tongkrongan Warung Kopi

Kalau misalnya “bucin” ini buruk; distigmatisasi, maka secara radikal saya akan mengatakan bahwa, semua orang yang mencintai Tuhannya, dirinya sendiri, agamanya, orang tuanya, artinya mereka adalah manusia/makhluk yang berperilaku buruk.

Nah, bukankah hal itu malah jadi paradoks dengan eksistensi kita sebagai manusia dan hamba? Bukankah malah tidak sopan kalau kita menstigmatisasi “bucin”, sedangkan di banyak ayat menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan kita karena cinta?

Mungkin, hal ihwal stigmatisasi bucin, paradoksal yang saya jelaskan di atas tadi, itu dikarenakan pemahaman kita selama ini tentang “cinta” yang masih abstrak.

Bukan berarti hal itu disebabkan belum ada yang mendefinisikan tentang “cinta”, justru karena banyaknya definisi, yang bahkan kadang didefinisikan secara hiperbolik, malah semakin mengkaburkan pemahaman kita akan “cinta”.

Menurut saya, pemaknaan “cinta” ini sangat sederhana. Bila Tuhan menciptakan kita atas dasar cinta, maka eksistensi kita ini ‘ada’ karena lewat perantara adanya “cinta”.

Ini menurut saya akan semakin jelas bila mengingat perkataan seorang vokalis Letto, yakni Mas Sabrang (anak dari Cak Nun) yang pernah menganalogikan bahwa, untuk sesuatu itu bisa ‘ada’, maka harus ada ruang.

Nah, saya menangkap apa yang disebut ruang, itu ialah apa yang disebut “cinta”. Jadi, semua yang ada di dunia ini tidak lepas dengan yang namanya ruang. Itulah cinta.

Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa kendati ada proposisi: Budak pada kebaikan tidak apa-apa, tapi budak pada cinta jangan, itu bagi saya adalah proposisi yang kurang tepat. Sebab, sebelum adanya kebaikan, itu terbentuk karena didahului oleh cinta.

Lantas, apakah kata “budak” yang menjadikan kata “cinta” ini menjadi buruk? Bagi saya tidak. Karena budak itu sendiri ialah bentuk kasar daripada hamba; budak adalah suatu keniscayaan yang melekat pada eksistensi manusia.

Entah itu budak pada kebaikan, budak pada kebutuhan kita yang ingin bahagia, semua itu selalu ada kata budak. Dan, segala apapun yang dilakukan oleh budak, itu selalu didahului oleh cinta.

Eksistensi “Bucin” terhadap Sejarah Kehidupan

Lebih dari itu, bagi saya stigmatisasi “bucin” juga sangat terbantahkan dengan bukti sejarah kehidupan manusia. Seperti seorang sufistik yang selama ini kita kenal bahwa beliau telah menyublimkan eksistensinya pada sang maha akibat cinta.

Apa ya berani kita melabelisasi seorang sufi sebagai makhluk terhina hanya dengan argumentasi: bucin dapat menyebabkan kedunguan?

Bagaimana seperti seorang filsuf yang menyublimkan eksistensinya pada hakikat pengetahuan akibat cinta. Apa ya berani kita melabelisasi mereka, yang secara tersirat sebagai katalisator ibu dari ilmu pengetahuan?

Bagaimana seperti seorang ilmuwan yang menyublimkan eksistensinya pada ilmu pengetahuan akibat cinta. Apa ya berani kita melabelisasi mereka, yang secara tersirat adalah orang yang sangat berpengaruh terhadap kebutuhan kita sekarang?

Semua itu adalah representasi dari kontribusi adanya “bucin”. Bucin itu hanyalah alat, soal hasil yang buruk atau baik, itu tergantung dari bagaimana cara main kita terhadap “bucin”.

Kalau tulisan ini tepat, saya pikir kita harus mulai melihat sesuatu itu secara konseptual. Jangan asal comot kosa kata, istilah yang lagi masyhur, tanpa adanya pemahaman yang kuat.

Apalagi hanya karena fomo, sekadar ikut ambil kosa kata modern akibat takut dikira ketinggalan info.

Editor: Lail

Gambar: Pexels