Baru-baru ini jagat media sosial dihebohkan dengan pernikahan antara Rey Mbayang dan Dinda Hauw. Dari yang awalnya tidak kenal, saya lantas tertarik untuk mencari tahu lebih dalam tentang siapa sejatinya mereka berdua. Didapatilah informasi yang singkatnya: mereka berdua adalah artis dan penyanyi muda dengan karir yang cukup cemerlang.

Warganet heboh dikarenakan mereka menikah tanpa melalui proses pacaran dan sebagainya –alias begitu kenal, ta’aruf, lalu menikah. Mulus sekali kisah cintanya.

Hal ini kemudian dibahas oleh warganet karena kisah cinta mereka berdua dianggap uwu, tidak banyak drama, dan benar-benar melibatkan Tuhan untuk membimbing perasaan yang mereka miliki.

Apakah hal tersebut salah? Jelas tidak. Namun, apabila kita melihat realitas yang ada, kisah cinta yang dialami oleh Rey dan Dinda itu jarang sekali ditemui di masyarakat.

Drama Percintaan itu Beragam

Menurut sumber yang saya dapat, Rey dan Dinda ini baru bertemu 3 kali sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Bahkan, sebelumnya Rey pernah ditolak oleh Dinda ketika mengajak bertaaruf. Namun, setelah berjuang meyakinkan Dinda, akhirnya Dinda bersedia untuk dinikahi oleh Rey beberapa hari yang lalu.

Berkebalikan dengan hal tersebut, kisah cinta yang mulus ala Rey dan Dinda ini jarang sekali ditemui di masyarakat kita. Kita lebih akrab mendengar kisah cinta dimana seseorang benar-benar berjuang memantaskan diri untuk orang yang dia cintai, tapi tetap saja dambaan hatinya menikah dengan orang lain. Atau kisah cinta yang terhalang restu orang tua karena tidak memenuhi kriteria yang sepadan dalam hal bibit, bobot, dan bebet. Serta masih banyak kendala lainnya berkaitan dengan adat istiadat dan kebiasaan setempat.

Yang pasti, memantaskan diri dan berpasrah atas kehendak Tuhan saja tidak bisa menjadi jaminan untuk membuat orang yang kita sayangi akhirnya mau menerima kita. Faktanya, tetap ada banyak hal lain yang harus kita miliki sebagai jaminan atas masa depan kehidupan kita berdua di kemudian hari. Karena, modal cinta dan uwu-uwuan saja tentu tak akan membuat kita kenyang dan bertahan hidup.

Privilese

Sebagian masyarakat kita adalah mereka yang cukup keras dalam memberikan standarisasi terhadap kecantikan dan ketampanan seseorang. Di Indonesia, kecantikan dan ketampanan seringkali dimaknai dengan kulit putih, mulus, langsing, dan sebagainya. Bahkan, ada sebuah ungkapan satir berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat glowing dan good looking”.

Jadi, kalau hidup di Indonesia, selama kamu punya privilese: cantik, tampan, terkenal, kaya dan sederet hak istimewa lainnya, perbuatan apapun pasti mendapatkan pujian dari publik. Beda halnya kalau kamu hanya rakyat jelata yang biasa-biasa saja. Apa kata tetanggamu kalau kamu tiba-tiba menikah? Pasti muncul anggapan seperti hamil di luar nikah, di guna-guna, atau tuduhan-tuduhan sejenis lainnya.

Kisah Cinta Setiap Orang Berbeda-beda

Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing. Mungkin ada yang mulus seperti kisah Rey dan Dinda. Ada juga yang kisahnya naik turun seperti wahana kora-kora. Atau bahkan kisah cintanya berbatu seperti jalanan di pelosok negeri yang belum terjamah oleh pembangunan (pesan kritik sosial, cakeppp).

Kita harus realistis dan sadar akan kondisi hidup kita masing-masing. Tugas kita sejatinya adalah berikhtiar dan berusaha semaksimal mungkin. Tidak perlu iri dengan kisah cinta orang lain, karena masing-masing orang pasti memiliki kisah cintanya sendiri-sendiri. Sebagaimana pesan dari Mbah Sujiwo Tedjo:

“Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir, kau bisa berencana menikah dengan siapa tapi kau tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa”.Sudjiwo Tedjo

Maka, pernikahan Rey Mbayang dan Dinda Hauw setidaknya menyimpulkan 2 hal penting untuk kita: Memantaskan diri, dengan tetap ingat bahwa kita harus realistis dengan kondisi kita.

***

Lagipula tidak pernah ada nominasi kisah cinta terfavorit yang diselenggarakan oleh pihak manapun. Jadi, ya sudahlah semua memiliki ceritanya masing-masing.

Penulis: M Bagas Wahyu Pratama

Penyunting: Aunillah Ahmad