“Sahuuur, sahuur!” kalimat ini tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ini adalah kalimat yang hampir selalu kita dengar ketika mendekati waktu sahur. Terkadang kalimat ini keluar dari pengeras suara masjid, namun lebih sering keluar dari teriakan anak-anak yang patroli sahur.
Tidak hanya teriakan, pukulan berbagai macam perkusi juga mengiringi teriakan anak-anak ini. Intinya, anak-anak patroli sahur ini berusaha untuk semeriah mungkin dalam membangunkan sahur.
Membahas patroli sahur memang menarik. Ini mungkin jadi salah satu tradisi khas Indonesia yang tidak ada di negara lain. Bayangkan saja, pada waktu dini hari, waktu di mana tidur mungkin lebih enak, anak-anak ini malah memilih untuk berkeliling kampung, memukul alat perkusi, dan berteriak membangunkan sahur. Mereka ini seringnya sengaja begadang sedari malam, supaya bisa ikut acara ini. Ya namanya juga anak-anak, pasti senang kalau diajak begadang seperti ini, apalagi dilanjutkan dengan patroli sahur.
Di beberapa tempat, patroli sahur ini bahkan dibuat perlombaannya. Perlombaannya pun tingkat kota. Jadi, masing-masing desa diadu, patroli sahur siapa yang paling meriah. Desa-desa pun jadi lebih kreatif. Mereka bahkan sampai menghias mobil, membuat aransemen lagu sahur baru, bahkan sampai membuat koreografi. Mirip karnaval, lah, pokoknya. Namun, pelaksanaan lombanya pun tidak dilakukan pada waktu sahur, tetapi pada malam hari selepas tarawih. Biar waktunya panjang saja, sih.
Bagi saya pribadi, pengalaman menjadi patroli sahur ini cukup bermacam-macam. Bertahun-tahun saya ikut patroli sahur keliling kampung, dan nyaris tidak pernah absen sampai dua tahun lalu. Ya meskipun saya tidak pernah ikut lombanya, karena ngapain juga ikut lomba, lha wong ini buat seru-seruan anak-anak saja. Nah, sebagai patroli sahur, kita tidak tahu akan dapat respon seperti apa dari warga, dan saya sudah pernah mendapatkan semua respon, yaitu respon baik dan respon buruk.
Salah satu respon baik dari warga adalah kami sering diberi makanan oleh warga. Di beberapa rumah, kami sering dihentikan oleh warga dan diberi sekantong makanan ringan, entah itu isinya lemper, pisang, gorengan, macam-macam, lah. Itu terjadi nyaris setiap hari, dan beda-beda rumah yang memberi. Setidaknya, dalam sekali patroli, ada satu atau dua rumah yang memberi makanan seperti ini.
Tidak hanya makanan ringan, kami juga tidak jarang dijamu makan sahur oleh warga. Nah, biasanya yang menjamu ini adalah orang tua dari teman patroli sahur kami. Biasanya, teman kami ini sudah berpesan sebelum berangkat patroli, supaya nanti rute kelilingnya diatur supaya berakhir di rumahnya. Ibunya sudah masak banyak, dan ingin menjamu anak-anak patroli sahur. Tentu kami tidak menolak, dan malah senang, bisa sahur bersama teman-teman patroli sahur ini. Kapan lagi, ya, kan?
Namun, kami juga pernah mengalami pengalaman pahit yang cukup menjengkelkan ketika sedang patroli. Kira-kira tiga tahun lalu, ketika kami sedang patroli sahur sambil nyanyi-nyanyi dan memukul alat perkusi, kami diberi hadiah berupa siraman air dingin. Tepatnya begini. Saat itu kami sedang berhenti di depan salah satu rumah. Selagi beristirahat, kami nyanyi lah satu dua lagu, supaya tidak sepi. Toh ini juga sudah hampir jam 3 pagi, harusnya semua sudah bangun sahur.
Belum dua menit bernyanyi, tiba-tiba pintu rumah dibuka dan kami disiram air dingin satu gayung, dan orang yang punya rumah mengusir kami sambil bilang, “Mbrebeki ae!” (Bikin berisik saja!). Kami saat itu ya kabur dan sedikit mengumpat apa saja kepada orang itu. Untung saja kami tidak terlalu kuyup, jadinya tidak terlalu apes, lah, dan kami juga akhirnya ngakak-ngakak juga.
Besoknya, kami berniat balas dendam. Jadi, sekitar lima belas meter sebelum rumah ini, kami berhenti nyanyi dan pukul-pukul. Diam dulu, lah, pokoknya. Sampai depan rumahnya, kami siap nyanyi dan pukul-pukul perkusi dengan keras, tapi dengan ancang-ancang kabur. Bikin berisik, lah pokoknya. Setelah cukup bikin berisik (tidak sampai satu menit), kami kabur dan ngakak-ngakak lagi. Sudah cukup, lah, dendam kami terbalaskan.
Itulah suka duka menjadi patroli sahur yang kadang diterima, kadang dilepeh begitu saja. Kegiatan ini memang berisik, tapi ini adalah tradisi, yang harus tetap dipertahankan dan jangan sampai punah. Saya tidak bisa membayangkan betapa sepinya waktu sahur tanpa ada yang tradisi ini. Harus dilestarikan, lah, pokoknya.
Editor : Hiz
Foto : Haluan
Comments