Sebuah perjuangan menghadapi insomnia.
Pada tahun 2012 lalu, Bapak saya sempat mengalami gangguan tidur atau insomnia yang membikin blio sulit tidur. Awalnya hanya satu hari, dua hari, satu minggu. Lahdalah, semakin lama malah menjadi-jadi. Tiga bulan, enam bulan, sampai dengan satu tahun.
Tahun tersebut adalah salah satu masa yang cukup sulit bagi Bapak, mengingat blio masih harus beraktivitas seperti biasanya, termasuk bekerja secara formal di kantor.
Tentu saja, Bapak mengetahui ciri-ciri bahwa dirinya mengidap insomnia bukan dari Google semata, searching sana-sini, lalu self-claim secara gegabah. Kala itu, Bapak sempat mengunjungi dokter dan menceritakan keluhannya.
Setelah mendengar beberapa gejala yang diceritakan, dokter memberi resep obat sementara dan mengusulkan untuk melakukan konsultasi lanjutan kepada Psikolog atau Psikiater.
Awalnya Bapak ragu dan sempat kepikiran. Lantaran, sebagai orang awam, Bapak punya mindset siapa pun yang pergi ke Psikolog atau Psikiater adalah seseorang yang memiliki gangguan dan/atau masalah kejiawaan. Sebagai anak sekaligus mahasiswa Psikologi, pada waktu yang bersamaan, saya coba memberi penjelasan ke Bapak, bahwa yang pergi ke Psikolog atau Psikiater, tidak demikian.
Siapa pun—mau dalam kondisi yang sehat atau sedang mengalami gangguan—bisa pergi ke Psikolog atau Psikiater untuk konsultasi tentang sesuatu yang sedang dialami. Tentu saja, saya perlu menjelaskan beberapa kali hingga Bapak mengerti dan menyingkirkan mindset tersebut.
Akhirnya, Bapak memutuskan untuk konsultasi dengan Psikiater setelah resep/obat dari dokter tidak membuahkan hasil. Ditambah, selama satu tahun belakangan, selain hanya bisa tidur dengan durasi 1-2 jam (rata-rata baru bisa tidur pukul 2-3 dini hari dan harus bangun pukul 4 subuh, karena harus bersiap pergi bekerja), aktivitas Bapak betul-betul terganggu.
Bapak sering kali curhat, di kantor blio kurang produktif, sulit fokus, mudah lelah, dan sesekali ketiduran beberapa saat. Beruntung rekan kerja Bapak memahami kondisi menghadapi insomnia tersebut.
Setelah ke Psikiater, Bapak menceritakan kembali apa yang terjadi dan dirasakan setahun belakangan selama menghadapi insomnia. Kemudian diberi obat dan dikonsumsi secara rutin sesuai anjuran Psikiater. Sayangnya, obat tersebut masih juga belum memberikan hasil. Pola tidur Bapak masih kacau dan terganggu. Sempat kembali ke Psikiater yang sama, tapi hanya diberi obat yang sama kembali. Dan masih belum juga membikin pola tidur Bapak kembali normal.
Bapak sempat pasrah dan tidak ingin berobat kembali ke Psikiater karena obat yang diberikan tidak memberi efek apa pun. Saya sudah coba menanyakan, apakah ada sesuatu yang dipendam? Bisa jadi masalah atau apa pun itu.
Sebab, melansir dari Alodokter, insomnia bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti stres, depresi, gaya hidup yang tidak sehat, juga pengaruh obat-obatan tertentu. Tentu saja saya sangat meyakini bahwa Bapak punya gaya hidup sehat dan tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang. Namun, untuk stres dan depresi, perlu treatment lebih lanjut melalui ahlinya, bukan?
Satu tahun terlewati, dua tahun terlewati, sampai akhirnya tiga tahun Bapak betul-betul mengalami gangguan tidur. Selama tiga tahun pula, sejak tahun 2012-2015, Bapak hanya tidur dengan durasi 1-2 jam pada malam hari dan mencari cara agar tetap produktif di malam hari ketika tidak bisa tidur. Beberapa di antaranya; membaca, melakukan ibadah sunah, menonton tayangan yang berseliweran di tv, sampai akhirnya tertidur.
Selain itu, perlahan Bapak menyadari, insomnia harus dilawan dengan banyak aktivitas yang positif dan melibatkan mobilitas tubuh. Selain rutin berolahraga di akhir pekan, pada siang hari Bapak selalu berusaha agar tidak ketiduran dan melakukan banyak kegiatan. Tujuannya sederhana saja, agar tubuh terasa lelah dan menyeimbangkan kembali pola tidur yang ruwet.
Setelah tiga tahun berjibaku dengan insomnia, akhirnya pola tidur Bapak bisa kembali normal secara perlahan. Ada beberapa faktor yang bisa digarisbawahi dalam proses mendapatkan pola tidur yang kembali normal. Selain menerapkan pola hidup yang lebih sehat dan olahraga rutin, Bapak juga mulai menceritakan beberapa hal yang membikin stres dalam bekerja, overthinking, segala kecemasan kepada orang yang blio percaya. Termasuk saya, sebagai anaknya.
Sampai dengan saat ini, akhirnya Bapak belajar mengontrol dan memilah, apa saja yang sekiranya harus diceritakan dan berpotensi menjadi beban pikiran untuk bisa mengantisipasi insomnia. Bukan berarti segala sesuatunya harus diceritakan. Sebab, tentu ada beberapa hal yang privasi atau personal. Juga tetap mempertahankan pola hidup yang sehat.
Terakhir, sekadar saran. Jika kalian merasa mengalami gangguan tidur selama beberapa bulan, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi kepada ahlinya. Biar nggak berlarut-larut. Apalagi sembarang diagnosa hanya mengandalkan pencarian gejala secara mandiri di internet tanpa tindak lanjut dari profesional. Bisa bahaya, Gan.
Editor : Hiz
Foto : Pixabay
Comments