Fenomena tingwe semakin sering kita jumpai.

Siapa yang dapat menyanggah kedekatan masyarakat Indonesia dengan rokok. Realitanya, rokok adalah pengharum ruangan tongkrongan, rokok adalah penggerak otot-otot pekerja lapangan, karena  rokok pula kegiatan bernama gotong royong bisa terlaksana, “rokok jatah” masyarakat kita menyebutnya. Sebuah gaya hidup yang sangat melekat, tanpa rokok, barangkali orang Indonesia akan mati gaya.

Rasanya mustahil membayangkan orang Indonesia tanpa nikotin dan rokok. Bukan hanya karena cukai rokok adalah penunjang APBN saja, tetapi juga pada kenyataan bahwa belanja rokok orang Indonesia selama sebulan (5,59 %) lebih besar ketimbang beras (5,45%), menurut data BPS 2020. Pun dengan kenaikan cukai 12,5 %, apakah signifikan menurunkan angka perokok? Mungkin, tapi perokok biasanya memusingkan kenaikan rokok sambil merenung dan merokok. Susah. Heuheu.

Saya adalah perokok, dan jujur kenaikan harga rokok yang lumayan ini, cukup memusingkan. Memang, perokok tidak ingin mati gaya, tapi perokok tetap tak mau mati kelaparan. Kenaikan harga rokok yang mencekik ini, saya rekam telah melahirkan fenomena alternatif kebulan nikotin “yang dianggap lebih murah”, seperti rokok elektrik dan tembakau lintingan atau tingwe (linting dewe).  Perokok bisa lari dari mahalnya rokok bungkusan, tapi tak bisa move-on, dan pada akhirnya mencari pelarian.

Saya awalnya tak menyangka, bahwa tingwe menjadi sebuah tren masif. Ya, tingwe dulu identik dengan “rokok mbah kakung”, kini juga tak ragu meresapi kehidupan kawula muda. Barangkali, tren ini paling banyak didorong oleh kenaikan harga rokok pula. Saya sendiri sebenarnya lumayan lama  mengenal tingwe, sekitar 4 tahun yang lalu, pun makin rajin melinting akhir-akhir ini.

Tapi kenyataannya tren melinting memang sejalan dengan kenaikan harga rokok. Dulu, di kala harga rokok pabrikan tak semahal sekarang, toko-toko penjual tembakau lawaran lumayan sukar ditemukan. Di Solo saja, paling saya hanya mengingat dua toko, yang mana keduanya dimiliki oleh keluarga yang sama secara turun-temurun.

Tapi hari ini, melintaslah di jalanan ramai, masuklah ke gang-gang sempit, atau sejenak melipir dari ramai-nya kota ke kota-kota kecil di kabupaten, berapa toko tingwe yang dapat kalian hitung? Banyak, Jon. Pun, dengan penjual dan pelanggan yang lebih muda. Ini kenyataan bahwa tingwe adalah jawaban atas kenaikan harga rokok pabrikan yang signifikan. Fenomena tingwe ini barangkali juga didukung oleh hadirnya pandemi yang bagi sebagian kalangan cukup menyurutkan pendapatan harian dan bulanan.

Fenomena tingwe makin sejalan dengan kawula muda, kala tingwe tak hanya menjual tembakau-tembakau “lawaran”, macam tembakau Temanggung dan Madura. Kini, di toko-toko tembakau berjejer pula tembakau-tembakau dengan beraneka rasa, seperti bubble gum hingga green tea. Tembakau beraneka rasa itu berjejer layaknya botol-botol liquid di toko-toko rokok elektrik.

Selain menjawab fenomena dengan menghadirkan rasa yang dekat dengan kawula muda, toko tembakau juga menghadirkan rasa yang identik dengan rokok pabrikan, lengkap dengan kertas dan filter dengan bentuk yang identik, dengan rasa “sebelas-dua satu”. Mirip, tapi masih jauh dikatakan bisa mengantikan kenikmatan rokok pabrikan. “Asal bisa ngebul,” mungkin begitu pikir perokok yang murtad nanggung dari rokok pabrikan.

Dari kasus di atas, jelas tingwe kini jauh dari kesan “rokok mbah kakung” dengan aroma tembakau yang pekat. Tingwe tidak hadir begitu saja layaknya sebuah siklus perputaran tren retro. Tapi, tingwe adalah buah dari kebijakan, hadir dan memodifikasi diri untuk relevan dengan zaman. Sebagaimana karya seni, yang dipengaruhi oleh kehidupan dan konflik zaman.

Yang menarik bukan hanya bagaimana fenomena ini hadir, tapi bagaimana pula fenomena ini akan berlangsung dan bertahan di kehidupan anak muda. Apakah hanya tren sesaat, atau tetap sejalan dengan naik dan turunnya harga rokok? Sebuah pertanyaan yang masih memerlukan waktu untuk menjawab. Tapi, sementara toko-toko tembakau masih ramai, bahkan makin bertambah seiring hari.

Kini, setidaknya tingwe menjawab pertanyaan Washintonpost.com 2015 silam “Mengapa orang kaya berhenti merokok, tapi orang miskin tidak?” Sekali lagi, foto-foto peringatan di bungkus rokok hingga kenaikan harga rokok belum mampu memurtadkan perokok dari kebutuhan nikotin tembakau. Dan tingwe sejenak menjadi alasan mengapa orang masih enggan membersihkan paru-paru mereka dari polusi rokok.

Editor : Hiz

Foto : Pexels