Masih percaya dengan kalimat : LDR itu kuncinya saling percaya??

Istilah Long Distance Relationship (LDR) sudah tak asing lagi di telinga anak muda. Tak sedikit pasangan yang memilih terpaksa menjalani LDR karena beberapa hal. Sudah telanjur nyaman, males cari orang baru, menguji kesetiaan dan kejujuran, dan semisalnya.

Kalau ada yang tanya apakah menjalani LDR itu enak, jawabannya berat dan banyak cobaan. Tapi percayalah, bila waktu bertemu untuk melepas rindu tiba, hati Anda akan sangat berbunga-bunga. “Eh! Nulis gitu kayak yang udah berpengalaman aja”.

Bicara soal LDR, nggak semua pasangan yang menjalani LDR bisa sukses hingga membangun rumah tangga, tapi nggak semuanya gagal juga. Penyebab kegagalan LDR itu bermacam-macam.

Ada yang karena salah satu atau dua-duanya nggak betah dengan hubungan jarak jauh. Ada juga yang gagal karena kehadiran ‘garangan’, entah itu garangan dalam wujud orang lain maupun garangan dalam diri pasangan. Semua itu perlu diantisipasi dan diwaspadai supaya hubungan yang sudah dibangun tidak kandas di tengah jalan.

Mungkin banyak yang meragukan bahwa garangan dalam diri pasangan itu nyata dan benar adanya, dan hal tersebut nggak memandang gender lelaki atau perempuan. Saya pernah menjadi saksi dari fenomena termaktub. Salah satu teman saya ada yang pernah menjalani LDR. Dalam perjalanannya, dia diduakan oleh perempuannya. Padahal, teman saya tersebut good looking lho dari segi fisik maupun materi.

Saya masih nggak habis pikir dengan si perempuan. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi ternyata si perempuan tersebut mendua dengan laki-laki yang juga tengah menduakan pasangannya. Wah, cocok sudah! Garanganwati bertemu dengan garangan.

Mengacu pada kisah di atas, saya menyatakan bahwa saya kurang setuju dengan pernyataan yang sering digaungkan untuk menyemangati kaum LDR. Pernyataan itu berbunyi, “LDR itu kuncinya saling percaya”. Bukankah akan menjadi sesuatu yang percuma bila yang kita percaya ternyata seekor seorang garangan/garanganwati?

Sudah susah-susah percaya, eh…yang dipercaya malah mendua. Terbuang sia-sia dong waktu kita jadinya. Oke, bila masih ada yang ‘keukeuh’ bahwa kunci LDR adalah saling percaya, mari kita buat analogi dari potret masyarakat.

Menurut saya, LDR itu bisa disamakan dengan hubungan antara rakyat dengan wakil rakyat. Gini, LDR itu kan istilah lain untuk hubungan jarak jauh. Nah! Hal tersebut terjadi pada hubungan antara rakyat dengan wakil rakyat, ‘jauh’. Mana ada wakil rakyat yang (mau) dekat dengan rakyat. Kalaupun ada, itu sangat bisa dihitung dengan jari. LDR itu ya kurang lebih sama dengan hubungan rakyat-wakil rakyat, nggak bisa sekadar saling percaya.

Contoh sederhana bisa dilihat dari kasus bantuan sosial kemarin. Rakyat sudah percaya kepada wakilnya bahwa mereka akan menyalurkan bantuan sosial dengan tepat! Eh! Ternyata yang dipercaya rampok berbaju rapi tak kenal kemanusiaan.

Itulah mengapa antara rakyat dengan wakil rakyat nggak bisa sekadar saling percaya. Wakil rakyat harus menunjukkan kualitas integritas dan kredibilitas kepada rakyat. Setelah itu, rakyat sendiri yang akan menilai apakah ia layak dipercaya atau tidak. Artinya apa? Harus ada hubungan timbal balik antara mereka.

Sama seperti dalam kasus LDR, harus ada hubungan timbal balik. Bukan semata saling percaya, tapi juga menjadikan diri bisa dipercaya oleh pasangan. Bila tidak terdapat hubungan timbal balik seperti itu, maka ya ujung-ujungnya kandas.

Habib Ja’far pernah mengungkapkan bahwa maksud ayat “…Jauhilah kebanyakan prasangka! Karena sebagian dari prasangka buruk itu adalah dosa…”—QS. al-Hujurat ayat 12—menurut Prof. Quraish Shihab adalah sebagian prasangka itu dilarang sementara sebagian yang lain penting untuk kewaspadaan.

Dalam hubungan LDR, menaruh waspada kepada pasangan juga merupakan sesuatu yang penting. Pertama, untuk menjaga diri dari kemungkinan manipulasi garangan/garanganwati; kedua, untuk menjaga kelanggengan hubungan. Namun, perlu dicatat bahwa pentingnya kewaspadaan pada pasangan itu harus memenuhi syarat. Misalnya, pasangan kita bersikap tidak seperti biasanya dan tidak semestinya. Hal tersebut tentu mewajibkan kita untuk waspada.

Masalahnya, ada beberapa orang yang bisa menyembunyikan kebohongan dengan tetap bersikap seperti biasanya dan semestinya. Ini yang susah; mau curiga kok kita nggak tahu buktinya; nggak curiga kok ya dia makin semena-mena.

Yah… mari berdoa semoga kita dijauhkan dari sifat demikian dan dijauhkan dari orang-orang yang memiliki sifat demikian, aamiin! Terakhir! Membuat orang percaya itu tak terlalu sulit, menghancurkan kepercayaan orang itu sangat mudah, sementara membuat orang ‘kembali’ percaya itu sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin. Jadi, masih percaya kalau LDR itu kuncinya saling percaya?

Editor : Hiz

Foto : Pexels