Pak Satpam mengetuk pintu kamar saya. Ia bilang ada kiriman. Ternyata dari seorang handai taulan di Sleman.

Paket itu isinya vitamin, suplemen makanan, kopi, wafer, serta keripik tempe.

Tiga hari sekali si Pak Satpam mengantar kiriman ke kamar saya. Sebetulnya ia bisa meletakkan kiriman itu di meja di lobi atau di loker khusus “santri” yang inap isolasi mandiri karena Covid-19 di Unires UMY.

Jadi wajar saya bertanya-tanya sendiri, mengapa si Pak Satpam memberanikan diri mengantar langsung ke depan kamar? Hanya berbekal masker, jaga jarak, dan hand sanitizer?

Sebagai santri covid kami harus tahu diri. Kami harus menjaga supaya orang-orang seperti Pak Satpam, petugas kebersihan, dan para tenaga kesehatan tetap aman.

Tapi kami juga tahu bahwa peran mereka sendiri sudah penuh risiko. Maka kami harus makin tahu diri dan saling jaga. Mereka punya keluarga yang harus dinafkahi dan dilindungi.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab. Setelah saya dinyatakan sudah sehat, negatif, dan boleh pulang.

Sebelum berlalu, saya hampiri bilik tempat jaga Pak Satpam. Tentu tetap bermasker dan menjaga jarak. Dari bilik berkaca itu saya ucapkan terima kasih atas bantuannya. Saya mohon izin pamit.

Tak lupa saya tanya kenapa Pak Satpam berani antar kiriman ke kami. Kurang lebih ia bilang karena ia tahu kondisi orang yang terinfeksi korona.

Si Pak Satpam tahu kalau orang dengan Covid-19 biasanya kleyengan, pusing, dan ngos-ngosan bahkan sekadar jalan 10 meter. Belum lagi biasanya para santri Covid-19 ini pasti sering tertidur akibat kondisi tubuh yang kurang prima.

Menurut si Pak Satpam, ia yakin bahwa kiriman vitamin atau makanan itu pasti sangat dibutuhkan dan bersifat mendesak. Jika sekedar diinfokan melalui grup WhatsApp ada di meja atau loker, besar kemungkinan kelewatan diambil.

Berbekal pengetahuan praktis untuk menangkal kemungkinan tertular, ia bawakan kiriman itu ke kamar. Supaya bisa langsung diterima.

Saya tak sepenuhnya sepakat dengan si Pak Satpam. Tapi saya ini baru jadi santri empat belas hari. Saya tak tahu apa yang telah Pak Satpam pelajari dari pengalaman selama satu tahun menjaga pasien-pasien covid.

Ia pasti sudah melihat ada nyawa tertolong dan tidak. Ia pasti sudah bergelut dengan kekalutan batinnya sendiri antara berempati pada si pasien atau bekerja sesuai desk kerjanya saja.

Tak perlu pusing panjang dengan kondisi orang lain. Toh diri sendiri saja sudah ambil risiko besar. Tapi si Pak Satpam tak ambil pilihan cara berpikir seperti itu.

Saya jadi mikir sendiri. Jangan-jangan pagebluk ini mengubah sikap hidup orang-orang seperti si Pak Satpam.

Ketika ada di ambang krisis ia membentuk sikap bersolidaritas. Meski ternyata tak cukup bermakna bagi segelintir orang yang justru punya kuasa mengubah keadaan.

Orang-orang seperti si Pak Satpam mengajarkan saya apa arti akal sehat. Ia mungkin paling banter lulusan SMA. Tapi ia punya orisinalitas menjalani masa-masa suram ini lebih baik dan manusiawi.

Sementara itu di sisi jalan lain, saya melihat gerombolan orang-orang yang justru terperosok. Tak lain karena kehilangan akal sehat.

Editor : Hiz

Foto : Pexels