Saya baru-baru ini mendengarkan Album Tumbuh dan Menjadi milik Banda Neira. Sejauh yang dapat saya ingat, pertama kali telinga saya mendengarkan Banda Neira adalah secara tidak sengaja, ketika berada di bangku kelas 1 SMP, atau tepatnya MTs, di salah satu pondok pesantren Muhammadiyah di Yogyakarta. Dengan speaker portable -saya yakin bukanlah barang legal di pesantren, salah satu kawan saya memutar lagu Banda Neira, kalau saya tidak salah adalah Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti. Saat itu saya tidak terlalu peduli lagu apa yang saya dengarkan, entah itu dari genre apa atau musisi mana. Yang penting enak didengar, itu sudah cukup bagi saya.

Saya menyukai Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti hanya dalam tahap asal suka saja: nadanya enak, nyanyinya bagus, titik. Tidak pernah terpikirkan untuk menyelami lagu-lagu Banda Neira lainnya atau menjadi penggemar berat mereka. Bahkan, ketika Banda Neira memutuskan untuk hiatus, saya tidak begitu peduli. Meskipun sesekali saya masih mendengarkan lagu-lagu mereka, saya tidak benar-benar terhubung dengannya secara mendalam.

Banda Neira kembali ketika saya sudah lama tidak mendengarkannya. Banyak kawan yang memposting lagu mereka di media sosial, tetapi lagi-lagi, saya tidak begitu peduli. Saya sudah memiliki musisi favorit lain. Namun, hari itu, di awal bulan Maret yang penuh dengan hujan, saya kembali menemukan Banda Neira. Di malam yang suntuk dengan tugas yang menumpuk, ditambah persoalan-persoalan lain yang datang silih berganti tetapi tak kunjung pergi, saya secara tidak sengaja mendengar Kan Terus Kutulis Sampai Nafas Ini Habis.

Lagu Kan Terus Kutulis Sampai Nafas Ini Habis adalah pembuka dalam album terbaru Banda Neira, Tumbuh dan Menjadi, yang juga menjadi titik kembalinya mereka ke skena musik Indonesia. Meski saya mendengarkannya terlambat (maaf), lagu ini membawa saya untuk kembali menyelami Banda Neira, kali ini dengan lebih serius.

Napas Baru dalam Tumbuh dan Menjadi

Sebagai album comeback setelah hiatus selama hampir delapan tahun, Tumbuh dan Menjadi memiliki warna tersendiri. Dari berbagai media yang membahas album ini, Ananda Badudu dan Sasha menjelaskan bahwa album ini adalah penutup dari dua album sebelumnya. Namun, penutup di sini bukan berarti akhir, melainkan sebagai jembatan menuju babak baru Banda Neira.

Secara musikalitas, Tumbuh dan Menjadi masih mempertahankan elemen khas Banda Neira: aransemen sederhana yang dipadukan dengan lirik puitis dan vokal yang intim. Namun, ada beberapa hal yang terasa berbeda. Jika dibandingkan dengan album sebelumnya, produksi dalam album ini terasa lebih matang. Beberapa lagu memiliki lapisan instrumen yang lebih kaya, meskipun tetap dalam balutan folk yang lembut. Suara gitar akustik yang menjadi ciri khas mereka masih dominan, tetapi kini terasa lebih halus, berpadu dengan sentuhan piano dan string yang memberikan nuansa lebih emosional.

Selain itu, ada perubahan dalam cara Ananda dan Sasha menyampaikan vokalnya. Dalam beberapa lagu, vokal mereka terasa lebih ekspresif dan dekat, seolah-olah sedang berbicara langsung kepada pendengar. Ini membuat pengalaman mendengarkan Tumbuh dan Menjadi terasa lebih personal. Lagu-lagu dalam album ini tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga seakan merangkul berbagai emosi yang ada di dalamnya.

Keterikatan Emosional

Duet suara Ananda Badudu dan Sasha benar-benar menyihir saya, seolah-olah memeluk berbagai persoalan yang datang bersamaan, seakan berkata, “tenang saja, menangis juga tak apa”. Lagu-lagu dalam Tumbuh dan Menjadi menyentuh sisi emosional yang dalam, meluluhkan kantong air mata meskipun tidak selalu mengalir deras. Hal ini terasa janggal bagi saya, karena jarang sekali musik membuat saya merasakan kedekatan emosional yang begitu kuat.

Ada keterikatan tersendiri antara saya dan lagu-lagu dalam album ini. Mungkin karena momennya yang tepat, atau mungkin karena memang ada sesuatu dalam musik dan lirik Banda Neira yang berbicara kepada saya. Lagu-lagu dalam Tumbuh dan Menjadi bukan sekadar musik latar saat mengerjakan tugas atau menemani malam-malam yang sepi, tetapi juga menjadi teman dalam merayakan jatuh hati dan merangkul perasaan yang rapuh. Saya sadar bahwa saya bukan bagian dari golongan anak Gen Z skena yang berkutat dalam dunia musik indie, saya hanyalah penikmat musik biasa. Namun, bagi saya, mendengarkan musik bukan hanya soal genre atau siapa yang membawakannya, tetapi tentang bagaimana kita mendengarkannya dan makna apa yang kita temukan di dalamnya. Tumbuh dan Menjadi adalah bukti bahwa musik bukan hanya tentang suara, tetapi juga tentang bagaimana ia bisa menemani perjalanan hidup seseorang, bahkan ketika ia tidak sadar bahwa ia sedang mencarinya.

Editor: Pratama