Apakah ada yang mikir dua kali ketika hendak membeli “pizza”? Bukan soal harganya, tetapi tentang mengapa banyak sekali kuliner dunia yang bertebaran di perkotaan Indonesia. Ada makanan berkuah khas Thailand bernama “tom yum”. Ada merek makanan ringan yang tanpa sadar kalian nikmati rame-rame, “Happytos”, yang sebenarnya adalah “tortilla” asal Meksiko.

Ada pula “tteokbokki” dan “kimchi” yang tenar bersama drakor tontonan WFH anak muda. Jangan lupakan pula “sushi, ramen, onigiri, bento, sampai donburi Yoshinoya” yang nggak kalah ganas ambil bagian dalam persaingan resto tongkrongan milenial.

Selain itu, lama sebelum mereka semua, pasta dengan 28 bentuk berbeda lebih dulu jadi opsi lazim di toko-toko bahan roti. Tiga bentuk pasta paling populer tentu saja “spaghetti, macaroni, dan fettuccini.”

Perlukah Embel-embel Daerah?

Memang, sembilan tahun lalu rendang terpilih sebagai juara satu dalam CNN’s World’s 50 Best Foods. Lalu, enam tahun kemudian pada 2017 masakan Minang ini juga kembali dianugerahi gelar Best Food. Akan tetapi, ingat bahwa kontes tersebut berbasis Reader’s Choice, artinya pembaca lah yang menentukan masakan yang terbaik. Tentu saja rendang sekedar menanti keniscayaan sebagai pemenang polling dari CNN yang dibuka hanya lebih dari 35000 votes.

Adapun cara menguji sepopuler apa kuliner Indonesia di dunia sebenarnya tidak terlalu susah, yakni dengan melihat berbagai kota besar dunia yang menjual kuliner Indonesia. Adakah penduduk lokal negara tersebut yang menjual masakan khas Indonesia? Misalnya rendang, yang katanya sebagai best food nomor satu. Ada tidak? Kalau tidak ada, jangan tanya lagi soal kuliner lain yang tidak kalah nikmat seperti soto Lamongan, sate Ambal Kebumen, dan pecel Madiun.

Dalam buku Jejak Rasa Nusantara, yang ditulis oleh Fadly Rahman sebagai salah satu media penyebarluasan hasil penelitian tesisnya, saya mendapatkan sudut pandang yang unik. Misalnya, tentang haruskah embel-embel asal daerah selalu diikutkan pada kuliner khas, seperti yang saya contohkan di  atas: soto Lamongan, sate Ambal, dan pecel Madiun.

Menurutnya, justru terma kedaerahan itulah yang jadi penyebab susahnya masakan Indonesia untuk mendunia. Lalu, haruskah diciptakan istilah baru atau frasa khusus yang bisa membedakan soto Betawi dengan soto Lamongan, atau sate Ponorogo dengan sate Madura, demi menghilangkan imbuhan nama daerah di belakang nama masakan khas itu?

Terlebih, perlukah Indonesia memiliki haute cuisine atau top-grade cooking yang identik dengan masakan eksklusif, elit, dan berbanderol mahal? Seperti “bebek peking” yang ekuivalen dengan kesan masakan premium asal China, atau “foei gras dan caviar” yang secara otomatis didefinisikan dalam benak kita sebagai sajian kelas atas dari Perancis. Padahal, kedua masakan tersebut juga bisa dikatakan tradisional karena telah dibuat sejak masa kerajaan 2000 tahun ke belakang.

Klaim Kuliner

Selain itu, alasan lain yang bisa jadi penyebab susahnya masakan Indonesia go international adalah galaknya orang Indonesia soal klaim masakan khas Nusantara. Misalnya, soal rendang yang pernah diklaim Malaysia sebagai makanan khas mereka, lantas menimbulkan protes dan penolakan dari Indonesia. Padahal, jika ditelusuri sejarahnya secara serius, rendang bisa saja disebut shared heritage seperti kata almarhum Bondan Winarno.

Hal ini karena rendang adalah budaya kuliner Minangkabau sejak abad keenam belas, dan bangsa Minang bisa dikatakan sebagai klan pengembara. Maka, tidak heran jika adanya selat Malaka jadi jembatan perjalanan ke Malaysia, apalagi saat musim ibadah haji dimulai. Hasil penelitian terbaru bahkan menunjukkan kemungkinan metode dan cara memasak rendang sebenarnya juga dipengaruhi oleh budaya Portugis, jauh sebelum raja Minangkabau memutuskan jadi mualaf.

Istilah shared heritage sebenarnya ingin mencontoh Italia yang tidak malu mengakui bahwa “spaghetti” dan beragam jenis pasta lain sebenarnya berasal dari China, dibawa ke Eropa oleh Marco Polo. Atau Spanyol yang berterus terang bahwa “paella” yang terkenal di Valencia memiliki akar sejarah yang jauh hingga Arab dan Mediterania, misalnya “pilaf” dari Persia hingga “biryani” dari India.

Barangkali, Indonesia harus menerima kenyataan bahwa cilok, bakmi, dan tahu sebenarnya bentuk turunan dari bakso, mie, dan “doufu” yang telah ribuan tahun sebelumnya dibuat oleh rakyat Tiongkok. Sudah sejak ribuan tahun lalu, apapun saja memang made in China. Menyetujui itu semua mungkin satu-satunya cara untuk mempopulerkan cilok dan tahu bulat ke seluruh dunia.

Meskipun demikian, paling tidak masyarakat Indonesia bisa berbangga dengan kerupuk. Kerupuk sebagai kudapan ringan asli Indonesia dikatakan sudah tercatat dalam prasasti sejak abad ke-9. Sekarang baru masuk akal mengapa tidak pernah ada “rambak kulit sapi, kemplang ikan, gendar, rempeyek, dan rengginang” di Amerika.

Editor: Nirwansyah