Dakwah merupakan satu kegiatan yang sudah lama ada dan akan selalu ada dalam kehidupan. Musababnya adalah manusia (dalam hal ini umat Islam) akan terus membutuhkan tuntunan dan penyejukan spiritualitas. Semua itu merupakan bagian dari ‘makanan pokok’ dimensi bathiniyyah manusia. Selain itu, dakwah juga merupakan salah satu perintah agama (Islam). Hal ini telah terekam dalam hadis Nabi saw riwayat Imam al-Bukhari, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat!”. Perlu dicatat bahwa perintah Nabi saw tersebut tidak ditujukan secara umum. Sasaran dari perintah tersebut adalah orang-orang yang punya kapasitas ilmu yang memadai. Jadi, kalau kita merasa ilmunya masih sedikit, ya cari ilmu dulu, bukan malah sembrono berdakwah.

Bicara soal dakwah, di era mabar seperti saat ini kita telah melihat bahwa dakwah bisa dengan mudah ditemui. Corak dakwah kini ada 2, konvensional dan digital. Masing-masing punya jamaahnya sendiri. Dakwah konvensional biasanya dihadiri oleh para orang tua, sementara dakwah digital banyak digemari oleh anak muda. Jika dilihat, tampaknya kita sering menjumpai tema dakwah yang sama. Hal ini memberi kesan bahwa seolah Islam hanya membahas itu-itu saja. Padahal sifat dari Islam adalah― seperti yang dikatakan oleh Mas Sabrang MDP―komprehensif, meluas. Artinya, seluruh aspek kehidupan nggak akan bisa lepas dari Islam (atau mungkin secara umum lebih tepatnya, ‘agama’).

Tema dakwah yang berkutat pada hal-hal itu saja tentu akan membuat audien merasa jenuh. Oleh sebab itu, perlu adanya ‘inovasi’ tema dakwah. Saya ada beberapa saran tema dakwah yang anti-mainstream, tapi tetap memiliki urgensi untuk disampaikan kepada jamaah. Ya, siapa tahu ada salah satu yang bisa dipertimbangkan. Berikut beberapa saran tema dakwah yang saya maksud.

Parenting

Nah, ini yang kerap lupa dibicarakan. Hampir semua dakwah yang saya simak, selalu membicarakan birr al-walidain (berbakti/berbuat baik pada kedua orang tua). Iya, saya paham bahwa itu merupakan kewajiban fundamental anak. Alasannya seperti pada umumnya, anak telah berhutang pada orang tua saat dirinya masih kecil. Namun, bukankah penjelasan soal berbakti pada orang tua telah banyak didengar anak di sekolah dalam mata pelajaran keagamaan?. Sependek yang saya perhatikan, semua anak punya interpretasi yang kurang-lebih sama terhadap ayat/hadis tentang birr al-walidain. Coba saja tanya pada anak-anak, “Gimana sih bentuk berbuat baik pada orang tua?”, pasti mereka nggak akan kesulitan menjawabnya.

Lantas apabila pertanyaannya dibalik seperti ini, “Gimana sih cara mendidik anak yang baik?”, berapa orang tua yang bisa menjawabnya? Apakah akan sebanyak jumlah anak yang bisa menjawab pertanyaan soal birr al-walidain tadi? Tampaknya tidak. Ini menunjukkan bahwa sangat sedikit orang yang belum tahu/paham soal parenting. Penyebabnya adalah mereka belum banyak menerima penjelasan soal itu. Dan, parahnya ketidaktahuan tersebut sering disangkal oleh para orang tua. Berangkat dari hal ini, maka para pendakwah sangat perlu mengulas (menyampaikan) ayat dan hadis yang menyinggung tentang parenting. Perlu dicatata bahwa selain punya kewajiban berbakti pada orang tua, anak juga punya hak mendapat pendidikan yang baik dari orang tua.

Ekologi

Alih-alih saling menyalahkan antar-praktik keagamaan yang berbeda, akan lebih baik kalau kita membahas perkara yang lebih penting. Perkara yang saat ini sedang kita hadapi bersama, yakni masalah lingkungan. Para pendakwah perlu menjelaskan bahwa Islam memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Menurut saya hal ini lebih berpotensi menciptakan kemaslahatan bersama ketimbang berdebat karena perbedaan tafsir keagamaan yang selama ini banyak kita temui. Sayangnya, ulasan ekologi Islam masih sangat jarang ada dalam dakwah.

Interpretasi paling mendasar dari tema ini bisa dimulai dari konsep khalifah fi al-ardh. Para pendakwah mestinya mampu memberikan penafsiran yang tepat terkait konsep tersebut. Konsep khalifah fi al-ardh bukan mendorong manusia mengeksploitasi alam seenaknya. Konsep tersebut mendorong manusia untuk menjadi ‘pengelola alam’ yang bertanggung jawab. Dakwah dengan tema ekologi diharapkan bisa menekan jumlah perusakan alam yang kini telah merajalela. Perlu dipahami bahwa perbedaan tafsir keagamaan adalah masalah sebagian orang, sementara kerusakan alam adalah masalah seluruh ‘makhluk hidup’.

Etos Kerja

Banyak pendakwah yang bicara soal sedekah. Mulai dari jumlah sedekah hingga bermacam-macam keutamaan sedekah. Oke, saya setuju! Sebab, bagaiaman pun sedekah bukan hanya tentang dimensi ritual melainkan juga soal dimensi sosial. Tapi, para jamaah pasti bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa sedekah dalam jumlah banyak yang banyak bila harta benda yang dimiliki masih sedikit!?. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang biasanya menghambat orang untuk bersedekah. Oleh sebab itu, selain didorong untuk bersedekah, para jamaah juga harus didorong untuk punya etos kerja yang tinggi. Memang benar rezeki itu sudah diatur oleh Allah swt. Tapi jika kita malas-malasan, apakah rezeki akan menghampiri kita?.

Kewajiban Suami terhadap Istri

Dalam beberapa ceramah yang pernah saya dengar, kebanyakan yang dibahas adalah kewajiban istri terhadap suami. Misalnya, istri yang wajib memenuhi kebutuhan seksual suaminya, bagi yang menolak akan mendapat laknat. Fenomena ini ternyata juga disadari oleh Gus Uli Abshar Abdalla. Dalam buku yang berjudul “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?”, Gus Ulil memaparkan bahwa kegiatan beragama selama ini lebih banyak dipandang dari sudut mata laki-laki (male-centred). Berangkat dari sini, tampaknya narasi soal hubungan suami-istri dalam materi dakwah perlu direkonstruksi. Dalam sudut pandang yang paling sempit bisa dikatakan begini, “Istri juga manusia biasa seperti manusia. Mereka pun punya kebutuhan seksual. Di sini suami wajib memenuhi kebutuhan istri tersebut”. Dalam sudut pandang yang lebih luas, tentu kewajiban suami terhadap istri ada banyak. Dan, penjelasan soal ini nggak patut dengan sengaja dipinggirkan.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels