Betapa sulit membedakan candaan dan hinaan. Oleh karena itu, bercanda ada aturannya juga lho!

Siapa sih yang enggak suka dengan bercanda? Saya yakin semua orang pasti suka dengan hal tersebut. Mulai dari sisi usia, strata sosial, atau dari berbagai etnis pun semuanya pasti suka dengan perilaku yang menyenangkan itu.

Sebuah perilaku yang berupaya untuk menyehatkan mental, hati, dan pikiran dari segala apapun yang membuat penat.

Tapi, apakah benar, kalau bercanda itu sudah pasti bisa menyehatkan kondisi personal seseorang? Dan, apakah bercanda itu memang bebas, sehingga lepas dari segala aturan?

Saya rasa bercanda pun sama dengan entitas sosial lainnya. Setiap ada entitas sosial, entah apapun itu pasti enggak akan lepas dengan yang namanya peraturan.

Sebab, manusia sendiri adalah makhluk sosial, yang berarti setiap perilakunya selalu berkaitan dengan perilaku manusia lainnya.

Kalau kata salah satu filsuf bernama Jean Paul Sartre, “manusia itu selalu terjebak dalam faktisitas”. Maksudnya adalah manusia selalu bertemu dan terjebak dalam fakta-fakta yang dibawa manusia lainnya.

Oleh sebab itu, manusia dalam berkehidupan harus mempunyai aturan-aturan, agar kemudian enggak sampai terjadi perselisihan dan supaya sesama manusia senantiasa hidup dalam perdamaian.

Sejauh ini, agaknya perihal bercanda masih kurang disadari oleh beberapa orang, bahwa bercanda ada aturannya lho!

Enggak semata-mata bercanda itu terkesan hal yang sepele, lantas dianggap terlepas dari beberapa aturan.

Ini menurut saya sangat tricky kalau sampai orang-orang dibiarkan menganggap bercanda itu adalah perihal yang sepele, yang kemudian semua orang pasti paham, yang semua orang enggak boleh baper ketika bercanda.

Saya kadang bingung dengan orang yang menyeragamkan candaan-nya terhadap orang lain. Mereka kerap membuat asumsi bahwa candaan-nya itu adalah sebenar-benarnya standarisasi dari sebuah candaan.

Biasanya ketika si penerima candaan belum bisa menerima kesimpulan bahwa itu adalah sebuah candaan, lalu si penerima itu diangap orang paling dungu, paling kudet, seakan paling enggak pantas buat hidup di dunia yang penuh dengan candaan.

Kalimat paling familiar yang terlontar biasanya: ngopimu kurang kental, mainmu kurang jauh, pulangmu kurang pagi. Saya suka gedek kalau mendengar kalimat itu.

Okelah. Sekarang katakanlah kalimat familiar itu logis dengan pengertian candaan. Tapi, bukankah dengan mengetahui personal dari si penerima candaan, harusnya mereka tahu bahwa si penerima ternyata belum layak atau belum pantas untuk menerima candaan?

Dan dengan begitu, kalau tujuan awalnya adalah untuk bercanda, untuk bisa menyenangkan suasana, ya, harusnya tindakan yang mereka lakukan itu berempati kepada si penerima, bukan malah merendahkan yang seakan-akan si penerima harus paham dengan candaan itu.

Kecuali kalau memang di awal tujuannya adalah diskriminatif. Maka nyambung-nyambung saja dengan sikap bercanda yang bertajuk merendahkan.

Terkadang orang-orang masih susah membedakan antara candaan dengan hinaan. Kadang kala candaan itu dipakai bukan karena untuk bercanda, tapi dipakai sebagai dalih untuk merendahkan yang lainnya.

Dalam hal ini, saya rasa perlu adanya aturan yang harus dipahami oleh orang-orang. Bercanda ya bercanda, tapi juga jangan sampai tidak dengan etika dan empati sebagai sesama manusia.

Lihatlah Kondisi Lawan Bicara

Perlu disadari kalau manusia membawa fakta, susana hati, dan pikiran yang berbeda dengan kamu. Jadi, saat hendak mengajak bercanda dengan seseorang, pastikan dulu kalau dia dalam kondisi tenang, santai, enggak emosi.

Jangan kemudian kamu tiba-tiba melempar bahan candaan seenak jidat. Siapa tahu yang sedang kamu ajak bicara itu sedang mempunyai kondisi hati dan pikiran yang sumpek. Akhirnya yang terjadi bukan kesenangan, tapi malah pertikaian.

Sebelum mengajak bercanda, awali dulu dengan basa-basi atau pembicaraan yang bersifat intro. Lalu, lempar pertanyaan-pertanyaan ringan yang bisa membuka sikap dan gambaran kondisi dari seseorang tersebut.

Kalau kondisi lawan bicara terlihat kaku, serius, atau sedang fokus dengan suatu hal, sebaiknya jangan melempar sebuah candaan, sekalipun menurut kamu terlihat ringan. Karena balik lagi, manusia itu menangkap informasi berdasarkan bagaimana kondisi hati dan pikirannya.

Ibaratnya begini: kamu enggak bisa menuangkan kopi kepada dia yang sedang membawa batu. Yang terjadi pasti kopimu enggak akan tertuang, malahan akan ambyar enggak karuan.

Sadari Kalau Lucu itu Bersifat Relatif

Perihal lucu, ada yang subjektif dan ada yang objektif. Lucu yang subjektif itu adalah lucu yang dihasilkan saat sedang sendirian. Misalnya ketika melihat foto-foto lama di facebook, lalu kamu tertawa karena merasa foto itu alay. Nah, ini salah satu contoh lucu yang subjektif.

Terus, gimana lucu yang objektif? Lucu yang objektif itu akan lahir ketika kamu sedang berinteraksi dengan satu orang atau lebih. Candaanmu bisa disebut lucu ketika orang yang kamu ajak interaksi itu menangkap dan mengakui bahwa itu lucu.

Tapi, kalau orang lain belum bisa menangkap dan mengakui candaanmu itu lucu, maka candaanmu masih bersifat subjektif. Artinya lucu itu relatif, enggak absolut.

Dengan begitu kamu enggak bisa memaksa dan menyeragamkan standar kelucuanmu kepada seseorang. Lagi-lagi ini menyangkut faktisitas seseorang.

Ada orang yang punya latar belakang gaya bicaraannya itu konservatif, dan ada pula orang yang punya latar belakang gaya bicaranya itu penuh dengan humoris.

Lantas, bagaimana menentukan bahwa lucu yang kita pahami itu bisa objektif? Bagaimana mengetahui bahwa orang yang diajak bicara itu pribadi yang humoris?

Ketahui Batasan-Batasan dalam Bercanda

Memang sangat rumit bila kita ingin bercanda saja harus dengan meneliti lawan bicara kita itu humoris atau tidak.

Masak iya, kita sebelum bercanda itu harus menanyakan, “kamu itu pribadi yang humoris atau enggak?” atau dengan briefing dulu pada lawan bicara mengenai bagaimana candaan kamu itu bisa objektif dengan dia? Kan, ribet kalau begitu.

Jadi, menurut saya ada beberapa batasan-batasan dalam bercanda yang setidaknya jangan sampai diterobos. Sebenarnya setiap orang punya batasannya sendiri-sendiri dalam bercanda.

Namun untuk menjaga etika kemanusiaan, alangkah lebih baik sebuah candaan itu jangan sampai merendahkan perihal fisik, orang tua, keluarga, pekerjaan, agama, pengalaman hidup, dan prinsip hidup seseorang.

Sebab, beberapa hal itu sifatnya sudah ketetapan dan keyakinan manusia. Menurut saya ketetapan dan keyakinan itu sesuatu yang sangat melekat dengan perasaan.

Jadi, kalau ada sebuah candaan itu merendahkan beberapa hal di atas, maka sangat mungkin candaan itu melukai perasaan.

Loh, berarti candaan itu merendahkan? Lantas, bagaimana kalau suatu saat kita enggak sengaja merendahkan beberapa hal di atas?

Pahami Konsep Bercanda dan Berempati

Saya pernah membaca salah satu buku yang berkaitan dengan humor. Dalam bukunya menjelaskan bahwasannya orang tertawa, melucu, atau bercanda itu sebenarnya mereka sedang enggak sadar merasa dirinya superior.

Misalnya saja kamu melihat seorang teman yang hendak beli bensin, tapi dia malah ikut antrian solar. Di situ kan ada perasaan bahwa kamu lebih unggul daripada temanmu.

Dalam benakmu: seharusnya kalau beli bensin, ya ikut antrian bensin, bukan ikut antian solar. Nah, itulah perasaan unggul.

Tapi, memang perasaan itu muncul secara enggak sadar. Lantas, apa bedanya hinaan dengan candaan? Hinaan itu sifatnya memaksa, tapi kalau candaan itu sifatnya manusiawi.

Memaksakan seolah harus seperti apa yang diinginkan, dan itu enggak manusiawi. Berbeda dengan candaan, sikap bercanda itu merasa dirinya lebih unggul, tapi dibarengi dengan pemakluman secara manusiawi.

Ketika candaan kamu dirasa enggak bisa diterima oleh lawan bicaramu, maka jangan segan untuk meminta maaf. Berempatilah kepada orang yang sudah kamu lempari candaan.

Kalau kamu enggan minta maaf, sedangkan lawan bicaramu merasa tersakiti, maka kamu bukan lagi bercanda, tapi menghina. Sebab bercanda itu tujuannya agar mengasyikkan, bukan menyakitkan.

Editor: Lail

Gambar: Pexels