Saya ingin memulai tulisan ini dengan statement bahwa selama ini kita gagal melihat kasus pernikahan usia anak (PUA) secara utuh.

Alih-alih menyelesaikannya, kita justru berkutat pada alasan ketimpangan ekonomi dan pendidikan. Alasan klasik yang sebenarnya tidak menyelesaikan apa-apa.

Hal tersebut dapat kita saksikan di berbagai media massa. Hampir dari seluruhnya mengungkapkan alasan seorang anak dinikahkan karena hal tersebut.

Padahal, terdapat problem serius yang sekiranya perlu diperhatikan oleh semua pihak, bukan hanya pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat.

Pernikahan Usia Anak

Pada bulan Februari lalu saya menyempatkan diri untuk melakukan wawancara dengan Rusda dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bantaeng.

Hal itu ditengarai karena kekesalan saya terhadap kasus PUA di daerah ini yang tak kunjung bisa diselesaikan.

Hampir tiap tahun kiranya, kasus PUA menjadi buah bibir di masyarakat Bantaeng bahkan nasional.

Salah satu yang cukup menggemparkan media nasional adalah kasus pernikahan usia anak pada tahun 2018.

Studi Kasus

Kala itu Syamsuddin (15) menikahi seorang perempuan bernama Fitra (14) setelah melalui perjalanan yang cukup alot.

Mereka terlebih dahulu harus berunding dengan pengadilan agama Bantaeng dan berurusan dengan KUA sebelum akhirnya sah sebagai suami istri.

Hal tersebut harus mereka lakukan karena terbentur peraturan yang berlaku. Sebagaimana disebutkan dalam UU nomor 16 tahun 2019 bahwa syarat minimal pernikahan adalah 19 tahun.

Ini tentu sangat miris, pasalnya bagaimana mungkin pengadilan agama dan KUA setempat dapat mengambil keputusan meloloskan kedua anak tersebut. Terlebih lagi setelah menerima kecaman dari berbagai pihak pada waktu itu.

Namun, malangnya nasi sudah jadi bubur. Pernikahan dua sejoli itu akhirnya terlaksana di kantor KUA Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng.

Media massa pun ramai menyorot kasus tersebut, bahkan Net TV membuat liputan khusus untuk menelusuri kehidupan Syamsuddin setelah menikah dengan Fitra.

Miris menyaksikan hal tersebut, tetapi tampaknya liputan khusus itu tak membuat masyarakat dan pemerintah peduli bahwa kasus pernikahan usia anak adalah sesuatu yang penting untuk ditangani.

Terbaru terdapat kasus yang juga menggemparkan Kabupaten Bantaeng dan nasional pada Februari 2023 lalu, yaitu pernikahan seorang anak berusia 13 tahun (pria) dan 16 tahun (perempuan).

Kasus ini sudah ketebak ujungnya seperti apa, dan benar hanya sekadar diketahui dan belum ada penanganan serius soal cara menyelesaikannya.

Lantas apa yang membuatnya demikian? Sekiranya saya merangkum dua alasan kasus pernikahan usia anak belum kunjung dapat diselesaikan:

1. Kegagalan dalam Mengkomunikasikan Kasus Pernikahan Usia Anak

Komunikasi ini nampaknya sepele bagi pejabat pemerintahan, begitu pun media dan masyarakat.

Padahal komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakatnya akan membuat persoalan ini bisa sedikit demi sedikit diselesaikan.

Komunikasi di sini bukan sekadar sosialisasi dan edukasi, tetapi kehadiran penuh semua elemen. Alasan ini saya pertimbangkan ketika melakukan wawancara dengan Rusda selaku P2TP2A Kab. Bantaeng.

Kebanyakan ketika kasus PUA terjadi, hanya sebatas dinas terkait turun lapangan untuk mengetahui persoalan tersebut dan memberikan edukasi singkat soal bahaya pernikahan usia anak.

Setelah itu sangat minim follow up dari kasus tersebut. Seakan-akan kasus ini sudah berhenti sampai di sana.

Saya enggan menyalahkan pihak terkait, karena sependek pengetahuan saya tugas mereka memang relatif berat.

Bayangkan ketika mereka turun lapangan, nyawa menjadi taruhan. Keluarga korban rata-rata menyatakan penolakan jika ada Dinas Perlindungan Anak turun lapangan.

Padahal niatnya baik ingin mengedukasi anak yang terjerat kasus PUA, bukan melarang, karena toh sudah terjadi.

Oleh karena itu, masalah komunikasi di sini haruslah bersinergi dengan elemen lain. Harus total.

Dinas Kesehatan mungkin dapat memetakan daerah mana saja yang rawan dan telah terjadi praktik PUA untuk kemudian diawasi dan dilindungi soal kesehatan fisik dan mentalnya.

Atau Pemerintah Desa dapat membuat program khusus melakukan pembinaan kepada keluarga dan korban agar berdaya secara ekonomi, yang mana nanti bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan.

Dinas Pendidikan bisa masuk di sana untuk memastikan mereka bisa diterima dan nyaman untuk melanjutkan pendidikan.

Fitra yang menikah pada tahun 2018 lalu, bukanlah orang yang karena ekonomi dan masalah pendidikan lantas harus menikah. Toh, dia tetap melanjutkan pendidikannya di bangku SMP.

Fitra adalah cerminan anak-anak Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian negara. Ketiadaan sosok orang tua membuat ia memutuskan untuk menikah dengan Syamsuddin.

Padahal, menikah karena ketiadaan sosok orang tua bukanlah solusi satu-satunya. Mengapa negara tidak hadir untuk mengedukasi keluarga dekatnya agar memberikan perhatian penuh kepada Fitra?

Jika alasan praktik PUA sudah turun temurun, sejauh mana negara memberitahu warganya bahwa tindakan itu dapat membahayakan anak-anak? Tidak hanya secara ekonomi dan pendidikan, tetapi kesehatan, kehidupan agama, sosial mereka juga berpengaruh.

Atau alasannya menikah karena menganggap itu sebagai aib atau siri’ (malu) dalam bahasa Makassar, yang mana dua anak di bawah umur ditakutkan berzina atau bahkan telanjur melakukannya.

Kemana Kementerian Agama mengedukasi anak-anak soal itu? Mengapa persoalan ini dititkberatkan pada satu dinas, yakni Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak seorang?

Intinya, negara harus hadir untuk memberikan komunikasi yang total dan perlindungan kepada generasi penerusnya.

2. Sistem Pendidikan Kita Tidak Ramah Anak

Bagaimana mungkin seorang anak yang sedang di usia pendidikan dapat dengan mudah memutuskan untuk menikah? Apakah sistem pendidikan kita sudah berhasil membangkitkan impian dan ambisi anak-anak?

Jika sistem pendidikan kita ramah anak, dapat dipastikan ketika seorang pelajar menyelesaikan pendidikan, yang ada di benak mereka adalah ingin fokus mengejar cita-cita.

Namun, yang terjadi adalah keinginan untuk menikah dan meninggalkan pendidikan masih menjadi pilihan anak-anak di Indonesia khususnya di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Saya membayangkan bagaimana jika pada suatu hari seluruh kementerian duduk dalam satu ruangan merancang satu sistem yang ramah anak.

Kementerian Pendidikan hadir mengajukan kurikulum pendidikan yang ramah anak versi mereka. Lalu didebat oleh kementerian lain.

Atau mungkin Kementerian Ketenagakerjaan mengajukan program agar anak-anak muda dapat dengan aman dan mudah melanjutkan kariernya.

Lalu Kementerian Agama merumuskan sistem pendidikan agama atau landasan dasar agama yang patut diketahui seorang anak. Semuanya, yang intinya fokus terhadap anak.

Mengapa itu sedemikian penting? Alasanya cuman satu, karena anak-anak yang sekarang terlibat kasus PUA, dan kasus anak lainnya adalah satu dari seluruh anak yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negara ini.

Kita tidak ingin ketika Indonesia Emas tahun 2045 bonus demografi membuat kualitas anak-anak justru jauh dari harapan. Hanya karena kita tidak memikirkan ini matang-matang sedari sekarang.

Editor: Lail

Gambar: Google