Bagi saya, membaca novel selalu punya tempat ternyamannya sendiri di hati. Sebab, lewat novel lah saya pertama jatuh suka pada membaca. Lewat novel pula saya mengenal buku-buku bacaan lainnya. Selain buku pelajaran sekolah tentunya.

Tapi siapa sangka, membaca novel anak ternyata punya dimensi yang sama sekali berbeda dengan genre lainnya. Seperti yang saya rasakan kali ini.

Bertemu novel Le Petit Prince atau ‘Pangeran Cilik’-nya Antoine de Saint-Exupery ini membuat saya merasakan dimensi lain dari sebuah serial cerita.  Alih-alih membawa cerita sederhana untuk usia belia, novel anak ini justru mengajak orang dewasa untuk ikut berpikir jeru dengan cerita-ceritanya yang penuh makna.

Saya rasa, tajuk novel anak ini hanya akal-akalan si Saint-Exupery saja. Sebenarnya, ia ingin menyindir halus para orang tua atau orang dewasa yang tengah membacakan cerita ini untuk anaknya.

***

Novel Le Petit Prince ini diawali dengan cerita seorang pilot yang mengalami kecelakaan di tengah gurun Sahara akibat ada sesuatu yang patah di mesin pesawatnya. Kemudian, saat malam pertamanya di gurun pasir yang amat jauh dari pemukiman tersebut, ia heran karena dibangunkan oleh seorang Pangeran Cilik yang tampak tidak ada bekas perjalanan dari raut wajahnya, padahal gurun tersebut sangat jauh dari pemukiman warga.

Usut punya usut, ternyata Pangeran cilik ini datang dari planet lain yang ia huni seorang diri. Perjalanan ke planet Bumi ini memang bukan pertama kali baginya dalam menyusuri planet lain di luar planetnya. Sebab, ia juga pernah mengelilingi beberapa planet sebelumnya, tetapi tidak sebesar Bumi.

Selama perjalanannya menghampiri planet-planet kecil tersebut, pangeran cilik ini bertemu dengan beberapa dewasa yang menjadi penghuni planet-planet tersebut. Tetapi, Pangeran Cilik ini dibuat bingung akibat ulah dan sikap orang dewasa yang sangat membagongkan dan tidak masuk akal di mata anak kecil seperti dia.

Dalam novel ini, Saint-Exupery dengan rapi menggambarkan kejanggalan-kejanggalan sikap orang dewasa dalam beberapa scene.  Sebenarnya, banyak sekali kritikan yang disajikan dalam novel ini. Tetapi ada tiga hal menggelitik tentang keganjilan sikap orang dewasa yang  menarik perhatian saya, di antaranya adalah:

  1. Menganggap anak kecil adalah ‘Rakyat’.

Pengalaman ini didapat oleh sang Pangeran Cilik ketika ia mengunjungi sebuah Asteroid yang hanya dihuni oleh seorang Raja. Di planet tersebut, Pangeran bertemu dengan seseorang yang memanggil dirinya dengan sebutan rakyat. Bagi Pangeran cilik, ini merupakan sebuah pemandangan yang aneh. Sebab, ia adalah orang asing di planet tersebut, bagaimana bisa orang dewasa itu menganggap kalau ia adalah rakyatnya.

Lebih anehnya lagi, sejak saat itu Pangeran Cilik diminta untuk menuruti semua perintah sang raja. Tapi Pangeran tetap menolak dan berencana akan pindah ke planet lain. Sang raja pun tidak kehabisan akal, ia justru menawari Pangeran untuk menjadi menteri di planetnya, asalkan ia mau menuruti semua perintah sang Raja.

Cerita ini merupakan sebuah kritik pedas dari Saint-Exupery kepada setiap orang tua yang menempatkan anak sebagai objek yang bisa dibentuk semaunya. Menganggap anak adalah ‘rakyat’ yang harus patuh pada setiap kemauannya. Padahal, setiap anak punya otoritas dalam menentukan hidupnya.

  1. Menganggap semua orang adalah ‘Pengagum’.

Scene selanjutnya adalah ketika Pangeran Cilik melakukan perjalanan ke sebuah planet kecil yang hanya didiami oleh seorang yang sombong. Orang ini menganggap bahwa setiap orang yang datang ke planetnya adalah pengagum yang akan memberikan pujian untuknya.

Ternyata benar, setibanya Pangeran Cilik di planet itu,ia langsung dibuat tercengang dengan sikap penghuninya. Bagaimana tidak? Kedatangan pangeran cilik bukannya disambut dengan hangat, malah ia diminta untuk memberikan tepuk tangan dan pujian pada penghuni planet tersebut.

Cerita ini mengajak kita untuk mengaca pada era media sosial seperti saat ini. Di mana banyak orang yang memburu jumlah hati merah di setiap unggahannya, ingin mendapatkan banyak pujian di akunnya, sampai lupa kalau sebenarnya ia belum berkontribusi apa-apa untuk dunia nyatanya.

  1. Mengatasi masalah dengan masalah.

Kemudian, scene yang ketiga juga tidak kalah mengherankan dari yang sebelumnya, yaitu ketika petualangan Pangeran Cilik ini sampai di sebuah planet yang hanya dihuni oleh seorang Pemabuk.

Kunjungan Pangeran Cilik ke planet ini memang sangat singkat, tapi menyimpan sebuah teka-teki besar di benaknya. Pasalnya, sejak awal ia sampai di planet itu, ia langsung bertemu dengan pemabuk yang sedang menghabiskan puluhan botol bir.

Pangeran pun penasaran dan akhirnya bertanya alasan mengapa pemuda itu mabuk sebanyak itu. Pemuda itu menjawab, “Saya ingin menghilangkan rasa malu. Malu karena telah minum sebotol bir sebelumnya, maka aku tambah satu botol lagi untuk menutupi rasa maluku.” Hal inilah yang membuat Pangeran semakin bingung dan heran dengan sikap orang-orang dewasa yang ditemuinya. Sebab, keganjilan-keganjilan pemikiran yang dimiliki orang dewasa tidak pernah sampai di nalarnya.

Oleh karena itu, cerita ini bisa menjadi alarm bagi kita bahwa menutupi masalah dengan masalah lain tidak akan merubah apapun. Justru akan membuat permasalahan semakin rumit dengan adanya tumpukan permasalahan-permasalahan yang baru.

Dengan novel Pangeran Ciliknya ini, Saint-Exupery rupanya ingin mengkritisi dunia dan pengalaman-pengalaman paling dasar yang dialami manusia. Seperti halnya kekuasaan, kerakusan, tanggung jawab, dan cinta. Tetapi, dengan menggunakan sudut pandang anak-anak yang lugu dan naif.

Cerita yang dibawakan dalam novel Le petit Prince ini memang menyimpan banyak teka-teki, tapi sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Jadi, ada baiknya kawan-kawan juga ikut membaca novel ini agar bisa mendapat pengalaman utuhnya sendiri. Sebab, membaca buku adalah ibarat berpetualang menyusuri hutan. Dan kita diperbolehkan mengambil apa saja dari sana semampu kita. Jadi, sebuah keniscayaan jika kita mendapatkan sesuatu yang berbeda, meskipun membaca buku yang sama.

Foto: rikaaltair.com
Editor: Saa