Pertemuan saya dengan bahasa krama terjadi ketika bapak saya memutuskan untuk menikah lagi beberapa tahun setelah ibu saya meninggal. Sebelumnya, saya dan keluarga tidak memiliki kedekatan dengan bahasa krama. Saat itu, saya benar-benar kelabakan. Dihadapkan pada keluarga baru yang mayoritas pandai berbahasa krama. Saya yang sehari-hari memakai bahasa ngoko mau tidak mau harus belajar bahasa krama. Meskipun begitu, kemampuan bahasa krama masih lemah. 

Saya bahkan sampai sekarang masih perlu mengurutkan antara sekawan dan gangsal. Kalau tidak, angka lima akan saya artikan sekawan, dan sebaliknya. Di masyarakat Jawa pedesaan, pandai berbahasa krama adalah patokan kesopanan. Seseorang diangap memiliki level sopan yang tinggi ketika mampu dan piawai menggunakan bahasa krama tanpa nganu-nganu.

Namun, situasi sekarang, anak muda yang sering disebut sebagai milenial ini, rupanya banyak yang masih belum bisa berbahasa krama dengan fasih. Artikel-artikel di website juga banyak yang bilang begitu. Anak milenial sekarang sudah kehilangan jati diri dalam bertata krama. Stereotipnya, mereka pasti anak muda yang tidak punya sopan santun.

Sebaliknya, orang-orang tua pasti pandai berbahasa krama. Anggapannya, mereka adalah orang yang paling sopan dan tidak akan bertindak tidak sopan terhadap orang lain. Itu idealnya, tapi faktanya tentu tidak seideal itu.

Beberapa bulan yang lalu saya memutuskan untuk bekerja sebagai ojol. Mengantarkan makanan pesanan orang lain dari salah satu aplikasi berwarna oranye. Ramai sekali orang memesan. Perjumpaan saya terhadap beragam orang pun meningkat.

Saya menjumpai orang-orang mulai dari anak-anak hingga dewasa. Saya (sebagai seorang ojol) juga mendapatkan respon beragam dari para pemesan. Mulai dari yang mengucapkan terima kasih dan memberikan tip, hingga yang sama sekali tidak menyorotkan matanya kepada saya.

Ini tentu sebuah pemandangan yang biasa. Kawan-kawan ojol juga tidak pernah mempermasalahkan ketika mereka sama sekali tidak mendapatkan ucapan terima kasih. Tapi, saya mendapati fakta lain. Ketika saya mengantarkan pesanan kepada orang dari segala macam usia, saya selalu mengamati bagaimana reaksi mereka.

Ironisnya, orang tua jarang sekali mengucapkan terima kasih. Sedangkan sebaliknya, anak-anak muda, seumuran maupun tidak seumuran dengan saya, mereka selalu melempar senyum dan berterima kasih dengan ucapan yang sangat menyejukkan.

Tentu saya tidak bisa hanya menilai sebuah sopan santun dari hanya ucapan terima kasih. Akan tetapi, sikap ramah dan angkuh mereka terhadap orang seperti saya (ojek online) sejauh ini cukup mampu membuat saya berkesimpulan sementara.

Orang-orang tua yang berusia jauh di atas jarang ramah dalam menyambut orang-orang seperti saya. Mereka jarang sekali mengucapkan terima kasih dan bersikap menyejukkan. Ini tentu tidak berlaku bagi semua orang tua. Tapi sejauh yang saya jumpai, orang-orang tua sebagian besar menyebalkan.

Atas dasar itu, menurut saya, level perilaku anak muda dengan segala macam kenakalannya, tidak bisa kita nilai dari satu aspek saja. Anak muda yang tidak bisa berbahasa krama terhadap orang lain, jauh lebih terpuji ketimbang orang-orang tua yang (pasti) mengerti tata krama dan pandai berbahasa krama.

Melihat fakta ini, saya tentu tidak ingin bilang kalau bahasa krama menjadi tidak penting. Saya juga tidak mau bilang kalau tata krama itu bukan hanya soal bahasa, akan tetapi soal bagaimana kita bersikap teradap orang lain, siapapun itu. Tentu saya tidak ingin bilang seperti itu.

Meskipun ada pendapat yang bilang kalau bahasa krama adalah sebuah bentuk feodalisme, tapi tentu saya harus tidak setuju dengan itu. Bagaimana pun, bahasa krama adalah bahasa baik. Jadi, kita boleh saja memakai bahasa itu untuk menghormati orang lain.

Namun, tingkat kesopanan dan tata krama seseorang sekarang idealnya sudah tidak lagi diukur dengan kemampuan mereka dalam berbahasa krama. Sopan adalah perilaku, tidak hanya seputar tutur kata dan bahasa saja.

Foto: Pexels

Editor: Saa