Sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, pembatasan sosial di masa pandemi ini rasanya menjadi berkah bagi saya. Saya bisa menjalankan WFH, mendampingi anak-anak sambil bekerja di rumah. Mengamati proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), mengikuti kegiatan dan interaksi online anak-anak di sekolah. Saya menjadi begitu kepo dengan kegiatan virtual yang mereka lakukan. Dan ternyata banyak hal-hal unik terjadi selama PJJ, yang menjadi cerita menarik di keseharian keluarga kami.
Cara berpakaian yang drastis berubah
Hal pertama yang unik adalah cara berpakaian. Awalnya agak terkejut melihat putri saya yang masih duduk di bangku SMP memakai seragam sekolah lengkap dengan hijab di bagian atas, tapi memakai piyama tidurnya di bagian bawah, bahkan kadang-kadang memakai celana pendek. Sedangkan kakak laki-lakinya yang baru mulai kuliah tahun kemarin (tapi belum pernah sama sekali mengunjungi kampusnya di Bandung), lebih senang memakai sarung. Kadang dipadukan dengan jaket hoodie, layaknya suasana di pegunungan.
Hal unik lainnya yaitu kebiasaan mandi. Mereka lebih senang mandi saat istirahat siang, bahkan kadang sore hari setelah PJJ selesai dan cukup satu kali sehari, lebih irit air pastinya. Rupanya AC kamar yang sejuk membuat mereka tahan berjam-jam PJJ tanpa mandi. Setiap kali diingatkan untuk mandi pagi, mereka selalu beralasan teman-temannya juga pada malas mandi. Buat mereka yang penting cuci muka, sikat gigi dan ganti baju atasan saja, sudah cukup membuat mereka siap belajar.
Keseruan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
Suatu hari, terjadi gangguan perbaikan rumah dari tetangga sebelah. Putri saya mengungsi dari kebisingan di kamar saya, sedangkan kakaknya mengungsi di kamar bawah. Karena kami duduk berjejer, saya mulai kehilangan konsentrasi dengan tugas kantor. Rasa ingin tahu situasi belajar online, membuat saya memperhatikan laptopnya.
“Ayo anak-anak dibuka videonya, ibu mau absen, wajahnya harus terlihat,” ibu guru mengingatkan. Tapi anak-anak masih saja belum terlihat jelas penampakannya. Kamera sudah terbuka semua, tapi yang terlihat ujung kepala atas, atau samping, bahkan ada yang tidak terlihat sama sekali. Setelah berkali-kali guru memanggil, satu persatu wajah mulai bermunculan. Kasihan juga gurunya, butuh waktu 10-15 menit hanya untuk membuat siswanya menampakkan wajah di layar. Ketika ditanyapun mereka banyak diam, dan baru menjawab ketika dipanggil namanya satu persatu. Entah bagaimana cara guru-guru menilai attitude siswa, dengan interaksi yang serba terbatas seperti itu .
Suatu hari gantian kakaknya yang mengungsi di kamar saya, karena gangguan wifi di kamarnya. Karena menggunakan headset, saya tidak bisa mendengar apa yang dijelaskan dosennya. Dia tampak serius menulis rumus-rumus kalkulus yang tidak saya pahami. Ada rasa kasihan melihat kondisi belajarnya. Idealnya mahasiswa jurusan teknik banyak praktek di laboratorium, harus sering mencari data di perpustakaan, mengerjakan tugas kelompok dan diskusi dengan teman-temannya. Tugas-tugas praktek banyak digantikan dengan tugas-tugas tertulis seperti makalah atau karya tulis ilmiah (KTI), yang membuatnya kesulitan karena belum terbiasa menulis.
Terkait tugas, peran orang tua di PJJ menjadi luar biasa. Saya harus membantu putri saya membuat slide-slide presentasi dan tugas-tugas digital lainnya. Tugas-tugas materi pendidikan jasmani dan keterampilan juga cukup membuat repot, karena harus direkam suara, video atau foto. Untuk keperluan ini handphone saya menjadi sasaran, cukup merepotkan bila terjadi di jam kantor. Dan terkait tugas-tugas, saya juga harus rajin memantau grup orang tua untuk melihat pengumuman guru.
Sementara itu, kakaknya heboh dengan tugas KTI. Beruntung saya terbiasa membuat KTI untuk keperluan kantor. Akhirnya saya membimbingnya dari mulai membuat latar belakang, merumuskan masalah, mencari data dan referensi, mengolah data, pembahasan, hingga hasil dan kesimpulan. Padahal ini tugas kelompok, tapi karena teman-temannya slow respon, akhirnya kami berdua yang menyelesaikannya hingga tuntas. Cukup membanggakan bagi saya, lulusan ekonomi bisa membimbing anak teknik membuat KTI.
Suasana ujian PJJ lebih horor lagi. Pada hari itu wifi harus perfect, benar-benar mengandalkan keberuntungan. Tahun lalu, kakaknya pernah gagal ikut ujian mandiri di salah satu PTN gara-gara gangguan wifi. Dan itu sempat membuatnya down, walaupun akhirnya diberikan kesempatan ikut ujian di hari yang lain. Tentunya setelah negosiasi yang cukup alot dengan panitia. Syarat ujian pun cukup rumit, latar belakangnya harus tembok atau pintu tertutup, dan peserta ujian harus terlihat jelas di layar. Karena posisi meja belajarnya tidak menunjang, akhirnya terpaksa menggunakan meja setrika. Dan alhamdulillah meja setrika menjadi berkah yang membuatnya diterima di PTN tersebut.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya anak-anak saya masih kecil. Pasti lebih sulit untuk mengendalikan mereka untuk fokus selama berjam-jam di depan laptop. Beruntung anak-anak saya sudah besar dan lebih mudah mengarahkan. Saat ini anak-anak memang masih libur sekolah dan kuliah, tapi sebentar lagi mereka akan kembali beraktivitas dengan PJJ dan segala keunikannya. Saya merasa kondisi ini sangat tidak ideal untuk diterapkan dalam jangka panjang. Knowledge mungkin bisa optimal diberikan secara virtual. Tapi tidak dengan skill dan attitude, yang membutuhkan praktek dan interaksi langsung. Semoga pandemi segera berlalu, dan anak-anak bisa belajar normal seperti semula.
Editor: Nawa
Gambar: Kompas
Comments