Masih ingat pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi UI? Insiden tersebut viral di twitter pada bulan februari kemarin. Dalam ceritanya, pada saat ia pulang kuliah, ada segerombolan laki-laki yang berjalan di belakangnya. Obrolan mereka cukup keras sehingga, dapat terdengar oleh mahasiwi tersebut. Dari pembicaraan yang didengar olehnya, segerombolan laki-laki tersebut menyebut kata “bra” dengan nada sensual dengan tertawa cekikikan dalam percakapannya.

Tak berselang setelah itu, salah satu lelaki dalam gerombolan tersebut mengelus pundak korban dari arah belakang sambil senyam-senyum. Merasa dirinya tidak nyaman, mahasiswi tersebut berjalan cepat, dan segerombolan lelaki itu pun tertawa.

Ia kemudian menemui pos Pengaman Lingkungan Kampus (PLK) UI. Di sana, ia berniat mencari perlindungan dengan melaporkan pelecehan seksual yang ia alami kepada petugas PLK UI. Namun, setelah ia melaporkan kejadian yang ia alami kepada petugas PLK UI, ia malah balik dimarahi untuk tidak jalan sendirian.

Sungguh ironi memang, korban yang merasa tidak aman dan nyaman setelah mengalami pelecehan seksual malah disudutkan dengan alasan yang tidak masuk akal; salahnya jalan sendirian. 

Urusan menyalahkan balik korban ini belakangan semakin berkembang dengan mengatakan bahwa korban tidak memakai pakaian yang sopan, berdandan, tidak berkerudung, sampai ke ucapan “kamu belum menikah sih, nggak ada yang jagain deh..” sungguh nggak masuk akal.

Sudah sepatutnya, masyarakat tahu dan paham apa itu pelecehan seksual dan respon apa yang harus diberikan saat ada orang yang terdekat mengalami pelecehan seksual. 

Lalu apa itu pelecehan seksual?

Definisi pelecehan seksual menurut KBBI adalah orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. 

Definisi lain menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan, tindakan lisan atau tulisan atau isyarat yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi dimana reaksi seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan situasi yang ada, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan dan tidak sopan.

Apa saja bentuk-bentuk pelecehan seksual?

Ada tiga jenis pelecehan seksual, yaitu pelecehan verbal, pelecehan non-verbal dan pelecehan fisik. Berikut ini penjelasan dan contohnya:

Pertama, pelecehan verbal yaitu ucapan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk melecehkan seseorang. Kebanyakan korban tidak merasakan langsung karena tidak adanya kontak fisik. Tetapi perlu diketahui bahwa pelecehan verbal ini memang sering dilakukan banyak orang. Bahkan tanpa disadari oleh pelaku bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk pelecehan terhadap orang lain.

Adapun contohnya yaitu menggoda, bercanda, menyindir, berkomentar hal-hal seksual yang menimbulkan rasa tidak aman maupun nyaman. Juga menyebarkan cerita kehidupan seksual orang lain tanpa persetujuan, dan memberi komentar seksual terhadap gaya berpakaian seseorang atau bentuk tubuh seseorang.

Kedua, pelecehan non-verbal adalah segala bentuk gerak-gerik secara sensual terhadap orang lain sehingga merasa tidak aman dan nyaman apa yang dilakukannya.

Adapun contohnya yaitu, menunjukan gerak-gerik sensual yang tidak diinginkan, memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain tanpa persetujuan, dan memandang bagian tubuh seseorang secara sensual, kerlingan mata, dan masih banyak lagi.

Ketiga, pelecehan fisik adalah segala bentuk sentuhan terhadap seseorang sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman.

Adapun contoh dari pelecehan fisik yaitu memeluk dan mencium seseorang tanpa izin serta ada kesepakatan bersama. Juga menepuk dan mencolek bagian tubuh seseorang dengan paksa, dan melakukan penyerangan seksual.

Lalu, bagaimana cara mengukur tingkat kewajaran dalam pelecehan seksual? 

Pada dasarnya, unsur utama dalam pelecehan seksual adalah adanya rasa tidak ingin oleh korban atau dengan kata lain tidak ada consent. Saat consent itu dilanggar, maka tidak ada yang pantas disebut wajar. Korban memiliki hak untuk terlindungi, baik oleh lembaga ataupun hukum yang berlaku. Hal ini tentu saja untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan pelajaran bagi setiap orang untuk melindungi dan menghormati kehendak dan ranah privat setiap orang.