Seperti yang kita ketahui bahwa film merupakan sebuah media visual yang mana kita dapat menonton sajian-sajian alur cerita yang tentunya dapat memanjakan mata. Iya betul, umumnya tentu film bertujuan untuk memberikan hiburan untuk kita. Namun tidak sedikit juga ada beberapa film yang seakan telah menyiratkan “PR” yang harus dipecahkan untuk para penontonnya. Film 12 Angry Men adalah salah satunya.

Sebuah film tentu memiliki beragam tujuan dan makna kehidupan yang tersirat. Kalo kamu sendiri, apa yang udah pernah kamu pelajarin dari sebuah film?

Film dengan konsep visual hitam putih ini memiliki alur cerita yang tergolong unik, namun juga sangat menarik untuk dianalisis. Dengan pemanfaatan ruang yang terbilang “irit lokasi” (sekitar 99% hanya mengambil lokasi di salah satu ruang pengadilan), 12 Angry Men tetaplah menarik untuk diamati hingga akhir. Secara singkat, 12 Angry Men merupakan sebuah film courtroom drama yang mengambil latar di suatu ruangan diskusi kantor pengadilan yang cukup sempit. Dalam kantor pengadilan tersebut terdapat 12 orang pria (para pemeran utama) dengan watak yang berbeda-beda. Lalu, apakah semuanya pria pemarah sesuai dengan judul filmnya? Mari kita bahas bersama.

12 Angry Men mengangkat sebuah tema kasus mengenai pembunuhan yang mana 12 pria tersebut berperan sebagai juri yang mempertimbangkan hukuman atau pembebasan terdakwa kasus pembunuhan yang baru berusia 18 tahun. 12 Angry Men telah memberikan suatu suguhan yang sangat menarik bagi para penonton dengan dialog-dialog ciamik yang dihamburkan ke atas meja diskusi. Film ini telah menyajikan sebuah plot dan pendalaman karakter yang sangat terstruktur, tentu peran terbesar dari keberhasilan film ini ialah berdasarkan kumpulan dialog yang padat dan penuh interaksi di sepanjang film.

Sydney Lumet, sang Sutradara kondang dunia nampaknya pun memiliki sudut pandang yang lebih memfokuskan pada eksplorasi watak-watak setiap karakter dari 12 pemeran utama. Mulai dari cara berbicara, memberikan gesture, hingga bentuk ekspresi wajah yang sangat hidup. Tentu saja, layaknya dalam sastra maupun karya seni, sebuah film tidak pernah berangkat dari sebuah kekosongan semata, namun film berangkat dari sebuah kolase realita pada keseharian manusia yang kompleks.

Seluruh karakter dalam 12 Angry Men seakan-akan disajikan dalam bentuk spektrum yang sangat bervariasi, bahkan mengandung sebuah unsur yang sangat kontradiktif satu sama lain. Mulai dari Juri 1 yang memiliki sifat yang hati-hati, Juri 2 yang baik hati, namun agak kikuk, Juri 3 yang agak emosional, Juri 4 yang terbilang kaku, namun serius dan rasional, Juri 5 yang pendiam, Juri 6 yang beretika tinggi, hingga Juri 12 yang mungkin tergolong sangat menyukai candaan.

Perdebatan sengit yang terjadi dalam suatu ruangan yang sempit tentu menghasilkan suatu kegelisahan yang luar biasa, khususnya bagi para penonton. Bahkan, para karakter 12 Angry Men pun seolah-olah tidak ada yang pernah memperkenalkan nama mereka terlebih dahulu.

Ternyata kehampaan perkenalan nama karakter dalam 12 Angry Men ini telah berhasil menghindari beberapa stereotip negatif atas nama ras yang telah banyak menjadi masalah dalam sejarah panjang Amerika Serikat, terlebih pada tahun film tersebut rilis.

12 Angry Men telah mengarahkan persepsi bahwa berdasarkan seluruh bukti dan saksi yang ada mengatakan bahwa anak berusia 18 tahun tersebut memanglah pelaku pembunuhan tersebut, yang tidak lain korbannya adalah ayahnya sendiri.

Setidaknya persepsi tersebut bertahan hingga seorang Juri memiliki sebuah keraguan dan memberikan sebuah pendapat yang fenomenal. Juri 8 (diperankan oleh Henry Fonda) telah berhasil menggiring opini para penonton pada sebuah proses pencarian “kebenaran” melalui perdebatan yang sengit. Layaknya ilmu filsafat yang meski terkesan berat, hanya memerlukan suatu proses penting, yakni “keraguan” yang diantarkan oleh Juri 8.

12 Angry Men memiliki sebuah penekanan yang mengarah pada pentingnya bersikap adil, objektif, dan tidak asal main klaim mana yang benar, dan mana yang tidak. Juri 8 telah mengatakan “Kapanpun kau berprasangka, prasangka tersebut selalu mengaburkan kebenaran. Aku benar-benar tidak tahu mengenai kebenarannya. Aku malah berpikir bahwa tidak ada yang sama sekali tahu mengenai kebenarannya.”

Logika berpikir yang luar biasa berusaha digambarkan dengan kuat pada plot 12 Angry Men. Konsep argumen yang benar dan salah pun seperti dihindari dalam keseluruhan alur cerita. Terdapat unsur faktor sosial yang melatarbelakangi pendapat mereka masing-masing.

12 Angry Men telah mengajak para penonton untuk berpikir mengenai suatu sistem peradilan dan bagaimana seharusnya kita dapat bersikap terhadap penegakan asas praduga tak bersalah. Wujud nyatanya ialah saat pengadilan memberatkan si pelaku seakan-akan ia pasti bersalah, tentu asumsi seseorang pasti bersalah sebagai premis awal dapat saja berubah, dan bukan sebagai suatu gambaran hasil akhir yang pasti.

12 Angry Men seakan memberikan suatu gambaran pergolakan batin yang kompleks dengan tidak mencari siapa sesungguhnya pembunuh dari kasus pembunuhan tersebut, namun 12 Angry Men memiliki fokus apakah terdakwa benar bersalah atau tidak. Dengan naskah yang sederhana, kuat, dan berbobot, menyaksikan 12 Angry Men akan memberikan suatu kesegaran dan pelajaran tersendiri bagi siapapun yang menontonnya. Nilai musyawarah untuk mufakat yang terkandung dalam Pancasila seakan sangat kuat tersirat dalam 12 Angry Men dengan konsep voting yang menjadi unsur utama.

12 Angry Men telah memberikan suatu bukti jelas bahwa suara terbanyak itu belum tentu benar, demikian dengan suara minoritas pun belum tentu salah. Secara keseluruhan, 12 Angry Men telah mengajarkan kepada kita bagaimana untuk selalu saling menghargai pendapat, berpikir objektif, menghargai sebuah nyawa manusia, selalu bekerja dengan serius, dan mengajarkan kita untuk berkomunikasi yang baik dan sesuai dengan tempatnya.

Akhir kata, ucapan singkat dalam penutup untuk 12 Angry Men, it’s one of the most perfect examples of how beautiful a film can be, if it focuses on story. Marvelous!

Referensi

Editor: Nawa

Gambar: wordpress.com