Siapa disini seorang perokok pasif?

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2017, lebih dari sepertiga penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Jika lebih dikerucutkan lagi, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, enam dari sepuluh generasi milenial laki-laki adalah perokok, sedangkan untuk perempuannya, satu dari seratus generasi milenial adalah perokok.  Bahkan, dilansir dari Republika, jumlah perokok terus bertambah hingga 2,1 juta jiwa saat pandemi Covid-19 ini.

Dari data di atas, bisa dikatakan saya adalah kaum minoritas, yakni perokok pasif yang tidak merokok sama sekali. Sejak saya SD hingga saya berkepala tiga, mau di sekolah, hingga dunia kerja, saya adalah golongan perokok pasif yang tidak merokok sama sekali. Jadi perokok pasif gak ada enaknya sama sekali, yang akan saya jabarkan di bawah ini.

#1 Terpapar asap rokok

Hal paling gak enaknya jadi perokok pasif tentu saja terkena paparan asap rokok. Asap rokok bisa bikin mata pedih sampai bisa ikut bikin batuk kalau gak terbiasa. Asap rokok juga membuat pakaian saya jadi bau asap rokok padahal saya gak merokok sama sekali. Gak cuma itu saja, perokok pasif lebih berisiko terkena penyakit jantung koroner hingga kanker paru-paru.

Satu-satunya cara agar saya tidak terpapar asap rokok adalah dengan cara tidak dekat-dekat dengan orang yang lagi merokok. Tapi hal tersebut kan bikin ribet. Untungnya, teman-teman terdekat saya yang merupakan perokok aktif cukup sopan dengan tidak merokok di dalam ruangan. Mereka juga selalu izin untuk menyalakan rokok di depan saya jika saya ada di tengah-tengah mereka. Semoga kelak  perokok aktif bisa seperti mereka.

#2 Sering kalah debat sebagai seorang perokok aktif

Kedua orang tua saya tidak pernah melarang saya untuk merokok karena mereka sempat jadi perokok aktif. Namun, saya memilih untuk tidak merokok karena saya telah membaca banyak artikel ilmiah maupun video dokumenter yang memperlihatkan bahaya merokok bagi kesehatan. 

Tentu, saya sering memperlihatkan temuan saya itu pada teman-teman saya yang merokok biar mereka bisa hidup lebih sehat. Namun saya selalu kalah debat dengan mereka karena mereka selalu menggunakan kalimat pamungkas seperti, “Kakek saya umur 90 tahun masih aktif merokok sampai sekarang gak pernah tuh terkena penyakit jantung apalagi kanker. Malah yang gak ngerokok kena penyakit jantung dan kanker!

#3 Sering dibercandain karena menjadi perokok pasif

Selain sering kalah debat, saya sering diolok-olok teman saya yang merupakan perokok aktif dengan menyebut saya gak gaul sampai menyebut saya gak jantan hanya karena saya tidak merokok. Kalimat tersebut ada yang murni candaan, ada juga yang murni buat ngatain saya. Mulai dari teman satu sekolah, teman satu kampus, sepupu-sepupu saya, hingga rekan kerja saya.

Jangan salah, sewaktu sekolah saya pernah beberapa kali sengaja membeli beberapa bungkus rokok dan menghisapnya sampai habis. Kedua orang tua saya pun mengetahui hal tersebut dan gak melarang saya sama sekali. Tapi saya gak nemu dimana enaknya, makanya saya gak merokok sama sekali sampai sekarang. untuk saya coba tapi saya gak nemu dimana enaknya merokok, makanya saya gak merokok sama sekali.

#4 Gak bisa sebat bareng dengan khusyuk

Para perokok aktif biasanya punya istilah “sebat”, yakni “sebatang dulu” sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya. Mulai dari anak sekolah, anak kuliahan, hingga pekerja kantoran biasanya suka menyempatkan diri untuk “sebat” yang biasanya dibarengi dengan minum kopi.

Sebagai perokok pasif, saya bisa saja ikut nimbrung biar bisa mengakrabkan diri dengan mereka. Tapi alih-alih ikut merokok, saya biasanya ikut “sebat” sambil membawa secangkir kopi. Tapi hal tersebut bikin mereka heran karena mereka malah balik nanya ke saya dengan pertanyaan, “Kok bisa sih ngopi tanpa merokok?”, jadinya gak bisa khusyuk ikut “sebat”.

Saat sudah kerja, beberapa atasan saya ada yang merupakan seorang perokok berat. Biasanya, para staf di bawahnya suka mengakrabkan diri dengan blio (baca: menjilat) dengan melakukan aktivitas “sebat” bareng atasan. Nah, sebagai perokok pasif, saya jadi gak bisa melakukan hal “sebat” dengan khusuk, jadinya saya merasa rugi karena kehilangan kesempatan untuk dekat dengan atasan dan rekan kerja saya.

Itulah empat hal gak enaknya jadi perokok pasif yang saya rasakan. Meskipun begitu, saya tetap bertekad untuk tetap tidak merokok karena saya tidak merasakan apa enaknya merokok. Lagian harga rokok makin lama makin mahal, mending uangnya dipakai untuk makan nasi padang di kedai nasi padang terdekat.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels