Memiliki rumah di dekat masjid sudah barang tentu menjadi dambaan setiap muslim di muka bumi. Selain penuh barokah karena sering dilalui orang-orang beriman, punya rumah di dekat masjid juga memberi akses kemudahan untuk beribadah.

Hal tersebut persis saya rasakan sepanjang hidup. Rumah saya tepat berada di sebelah timur masjid dengan jarak tidak lebih dari 50 meter. Untuk itu, umat muslim di desa yang ingin pergi ke masjid dari arah timur, pasti melewati tempat tinggal saya yang tidak begitu megah ini.

Sebagai umat muslim, tentu saya sangat bersyukur dan bahagia. Jarak yang begitu dekat membuat saya memiliki banyak privileges, seperti sering jalan kaki pergi ke masjid bersama keluarga, menghemat waktu dan biaya, bisa mendengar suara azan lebih jelas, dan tentu bisa memudahkan mas-mas kurir saat ingin mengantarkan paket untuk saya.

Berkat memiliki rumah di dekat masjid, saya juga sering diajak pengurus masjid untuk mengikuti berbagai macam kegiatan keagamaan, seperti pengajian Rebo Legi, khataman, manaqiban, dan lain sebagainya. Ya, meski hanya mendapat tugas dari Pak Takmir sebagai sinoman masjid, itung-itung buat bekal nanti di akhirat.

Di balik rasa syukur dan rasa bahagia, ada beberapa hal yang kadang membuat saya kurang nyaman tinggal di dekat masjid. Sejauh ini, setidaknya ada empat hal yang cukup mengganggu mental dan fisik punya rumah di dekat masjid yang mungkin cukup  penting saya bagikan.

Sering Mendengar Suara Tangis Anak Kecil

Punya rumah di dekat masjid harus selalu siap dengan teriakan anak-anak setiap sore. Sebelum guru TPA datang, saya harus siap mendengar suara berisik anak-anak yang terkadang bertingkah aneh. Tidak hanya sekedar mendengar, bahkan saya juga harus memantau gerak-gerik mereka yang hobi tampol menampol dan jotos-jotosan.

Hampir setiap sore saya mendengar anak-anak menangis. Permasalahannya cukup kompleks dan beragam, mulai dari jambak-jambakan rambut, kepleset di tempat wudhu, hingga kehilangan sandal jepit. Hal ini membuat saya harus siaga membantu para guru TPA yang acapkali merasa kewalahan.

Sama seperti anak kecil pada umumnya, anak-anak di kampung saya cukup petakilan saat proses belajar mengajar berlangsung. Terpantau dari rumah, ada beberapa kegiatan di luar kendali yang kerap mereka lakukan, seperti dolanan mikropon, balapan lari di serambi masjid, hingga pukul-pukul bedug sembarangan. Tentu saja aktivitas tersebut membuat orang-orang yang tinggal di dekat masjid kerap diliputi rasa was-was dan tegang.

Perasaan semakin was-was dan tegang juga sering saya rasakan saat bulan Ramadhan tiba. Di mana anak-anak TPA sering tidak tahu tempat dan waktu saat bermain petasan. Saya pernah merasakan dahsyatnya suara petasan persis di depan rumah saat ingin memejamkan mata. Peristiwa tersebut terjadi pada pukul 02.30 WIB, tepat menjelang sahur. Sebagai manusia yang punya alat vital berupa jantung, tentu saja kejadian heboh itu membuat saya kaget dan kepala pening.

Dianggap Kaum Religius

Untuk sebagian orang, mungkin akan merasa bangga dan cukup bahagia jika mendapat label taat beribadah. Saya juga sering mendapat cap religius, hanya karena memiliki rumah di dekat masjid. Entah teori tersebut didapat dari mana, yang jelas, saat saya tidak salat di masjid, banyak orang menanyakan alasan saya tidak ikut salat berjamaah.

Tidak hanya itu, ketika sudah tiba waktu azan  dan belum ada suara yang keluar dari TOA masjid, saya orang pertama yang  dirasani. Maka dari itu, punya rumah di dekat masjid harus kuat secara mental. Harus siap menerima bisik-bisik tetangga yang cukup membuat napas lebih berat.

Stigma religius tentu menjadi beban yang cukup fundamental buat saya. Meski punya rumah di dekat masjid dan kebetulan lulusan UIN Sunan Kalijaga, tetapi bisa menjadi fitnah jika saya diklaim sebagai manusia yang taat beribadah. Untuk itu, stigma religius hanya karena punya rumah di dekat masjid adalah sikap konyol yang perlu diluruskan.

Sering Menerima Kabar Duka

Sebagai kawula muda yang punya rumah di dekat masjid, saya menjadi orang yang kerap menerima kabar duka. Saat Pak Takmir sedang berada di luar jangkauan, rumah saya sering menjadi transit orang-orang yang membawa selembar kertas berisi berita lelayu (kematian).

Tidak cukup sampai di situ, saya juga harus siap mencari Pak Takmir saat beliau sedang bertugas di ladang atau di pasar hewan. Pasalnya, tetangga sekitar tidak ada yang berani bersuara di depan microphone masjid, kecuali Pak Takmir. Saya sendiri juga tidak berani mengambil risiko, daripada salah mengucapkan sepatah dua patah berita kematian, lebih baik mencari Pak Takmir yang sudah cukup senior perihal mengumumkan berita-berita lokal, seperti berita kematian, pengumuman kerja bakti, hingga arisan Jumat Kliwon.

Stigma Manusia Pemburu Takjil

Bulan Ramadhan menjadi bulan paling istimewa yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim di seluruh dunia, termasuk saya. Setiap bulan Ramadhan tiba, suasana jalan depan rumah menjadi lebih ramai. Namun, di balik itu semua, ada hal yang kadang membuat saya cukup gelisah saat bulan Ramadhan tiba.

Kegelisahan hati saya itu sering muncul saat menjelang salat magrib, tepatnya beberapa menit sebelum buka puasa. Sebagai pekerja serabutan yang sering pulang sore, saya berusaha meluangkan waktu untuk salat magrib di masjid. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian jamaah mempertanyakan motivasi saya datang ke masjid. Ya, sebagian dari mereka menganggap saya datang ke masjid hanya mengincar takjil dan makan gratis.

Anggapan tidak berdasar tersebut, kadang membuat saya cukup gundah dan kesal. Pada saat saya benar-benar ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, justru dianggap aji mumpung dan memanfaatkan kesempatan saat perut lapar.

Untuk meminimalisir stigma negatif tersebut, akhirnya saya meminta tolong ibu untuk memasak saat sore hari. Sebab, hampir setiap kali menjelang buka puasa, kami sekeluarga berbondong-bondong ikut para santri buka bersama di masjid. Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, wallahualam.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels