Semalam (24/8/2020) Bayern Munchen sukses meraih gelar Liga Champions kelimanya. Gelar ini diraih setelah Die Roten mengandaskan perlawanan Paris Saint-Germain (PSG) dengan skor tipis 0-1. Bayern memang bisa disebut unggulan dalam laga ini, Bayern Munchen pantas jadi juara Liga Champions Eropa. Berikut lima alasannya.
Bayern Munchen Pantas Juara Liga Champions
Hansi Flick
Awal musim 2019/2020, Bayern Munchen nggak lebih dari jawara Bundesliga yang terlihat akan kehilangan kehebatannya. Di bawah asuhan Niko Kovač, Bayern tampil angin-anginan. Baik di kompetisi Eropa maupun liga, Bayern tampak seperti tim medioker.
Nggak lama kemudian, Niko Kovač dipecat pada 3 November 2019 setelah Bayern kalah 5-1 dari Eintracht Frankfurt. Ia digantikan pelatih sementara Hans Dieter Flick, sebelumnya menjadi asisten Kovač.
Siapa sangka, lelaki yang akrab dengan panggilan Hansi Flick Ini bisa membuat Bayern tampil mengerikan. Flick pun dipermanenkan oleh Bayern pada April 2020. Setelahnya Trofi Bundesliga disabet, DFB Pokal pun tak ketinggalan.
Lalu, di fase gugur Liga Champions Eropa dirinya berhasil membawa Bayern melaju secara meyakinkan. Chelsea dibabat dengan skor agregat 7-1. Lalu, Die Roten menggunduli Barcelona, iya, satu-satunya klub yang pernah meraih 6 gelar juara dalam semusim itu, dengan skor tragis 8-2. Lyon yang sebelumnya mengalahkan tim favorit Manchester City pun disikat 3-0.
Pada pertandingan final semalam pun Hansi Flick sukses kembali menunjukkan superioritasnya. Bayern menjadi tim yang menyerang banget dengan garis pertahanan sangat tinggi. Hal ini bahkan memaksa PSG yang biasa tampil menyerang harus menumpuk 6-8 pemain di kotak penalti untuk meladeni penetrasi mengerikan ala Hansi Flick.
Karena pendekatan taktik ini, lini serang mewah PSG hanya bisa menciptakan peluang-peluang yang nggak cukup berarti.
Pengalaman
Dalam sepak bola, pengalaman seringkali jadi penentu di laga-laga penting. Pengalaman ini suatu yang sangat mahal harganya. Nah, di final kali ini, Bayern Munchen jelas lebih berpengalaman dibanding PSG. Sebelum partai final kali ini, Bayern sudah pernah merasakan gelar Liga Champions Eropa sebanyak empat kali.
Sementara itu dari sisi materi pemain memang PSG punya skuat yang mentereng. Ada Neymar dan Mbappe yang masing-masing merupakan pemain termahal dan termahal kedua di dunia. Namun, pengalaman yang dimiliki skuat PSG nggak sebaik Bayern.
Bayern punya pemain berpengalaman macam Manuel Neuer dan Thomas Müller. Dua pemain yang bahkan pernah merasakan gelar Piala Dunia. Keduanya jugalah yang merasakan kalah di kandang sendiri pada Final Liga Champions 2011/2012 lalu menang di final musim selanjutnya.
Neuer, Coman, dan Müller
Khusus di laga semalam, Bayern superior secara keseluruhan. Thiago Alcantara yang menjaga ritme permainan Bayern tetap nyaman dan superior. Namun, tiga pemain berikut ini yang menjadi pembeda.
Neuer yang sempat beberapa kali diserang barisan pemain PSG tetap tampil tenang. Dirinya tampil lepas baik saat menjaga gawang maupun membagi bola. Di akhir laga, Neuer sukses menjadi penjaga gawang pertama sepanjang sejarah yang berhasil mencatat clean-sheet di Final Piala Dunia dan Liga Champions Eropa.
Selanjutnya, Müller kembali hadir dengan perannya, yaitu raumdeuter (penafsir ruang). Peran ini bukan hanya bisa dilakukan oleh Müller, melainkan juga diciptakan oleh Müller.
Semalam, dirinya memang nggak terasa berkontribusi dalam pertandingan, tapi coba cermati gol Kingsley Coman. Pergerakan Müller di dalam kotak penalti memancing 3 pemain bertahan PSG sibuk menutup ruang. Membuat pemain yang menjaga Coman mengendurkan penjagaan. Lalu, bola mental ke Kimmich, Kimmich melepas umpan lambung ke tiang jauh, dan Coman berhasil menentukan hasil akhir tanpa penjagaan berarti.
Kingsley Coman sendiri punya kisah yang cukup unik. Dirinya merupakan eks-pemain PSG, sempat dikontrak Juventus secara bebas transfer pada 2014, lalu pindah ke Bayern pada 2015. Sejak musim 2013 saat masih di PSG hingga sekarang Coman berhasil memenangkan gelar liga setiap musim. Saat ini, ia pun berhasil mengumpulkan 20 trofi pada usia ke-24 tahun. Dan tentu saja, dia berhasil mencetak gol semata wayang dan mengandaskan perlawanan mantan yang dulu menyia-nyiakan dirinya~
Kingsley Coman has won his 20th major trophy in his professional career at the age of just 24.
🏆🏆🏆🏆🏆
🏆🏆🏆🏆🏆
🏆🏆🏆🏆🏆
🏆🏆🏆🏆🏆
He’ll have more trophies than birthdays at this rate. pic.twitter.com/PxZVvoA8sA— Squawka Football (@Squawka) August 23, 2020
Perjalanan karirnya memang membuat Coman dirasa cuma beruntung bisa selalu bermain untuk klub jagoan. Namun, kini Coman membuktikan bahwa dirinya bukan hanya beruntung, tapi memang punya kualitas. Sebelum gol terjadi pun tusukan-tusukan Coman ke pertahanan PSG sempat membuat penonton deg-deg-ser.
Identitas
Bayern Munchen adalah raja Jerman. Namun, mereka juga membuktikan bahwa mereka merupakan tim kuat di Eropa. 4 kali gelar sebelum laga semalam menjadi bukti sahih.
Gelar dan ketenaran Bayern ini lahir dengan identitas yang sangat kuat; Mia San Mia (Kita adalah Kita). Ada 16 prinsip yang terdapat dalam filosofi ini. Dengan slogan “Mia San Mia” mereka punya tradisi kuat sebagai panduan dan paham apa yang harus dilakukan untuk jadi jawara, lagi dan lagi.
Di pihak lawan, PSG praktis baru eksis menjadi “tim besar Eropa” setelah Nasser al-Khelaifi dengan Qatar Sport Investment-nya datang memberi uang berlimpah pada 2011. Hingga saat ini, alih-alih memenangi Liga Champions Eropa, mereka baru mampu menjadi tim kuda hitam dengan harga kemahalan.
Musim ini adalah kali pertama dalam sejarah klub PSG melaju sampai final. Sebelumnya, sejak 2012 PSG bahkan nggak mampu menembus babak besar Liga Champions walaupun sudah menghabiskan biaya 1,17 milyar euro hingga tahun 2019 (sekitar Rp 20,3 trilyun!).
Jalan yang Berat
Tanpa mengurangi rasa hormat pada PSG dan segenap fansnya, kita bisa bilang PSG beruntung dan terbantu lawan-lawannya dalam undian fase gugur Liga Champions Eropa kali ini.
PSG hanya bertemu Borussia Dortmund, Atalanta, dan RB Leipzig. Seluruhnya belum pernah merasakan gelar juara Liga Champions Eropa, paling banter Dortmund yang kalah oleh Bayern di final musim 2012/2013. Bahkan, Atalanta dan RB Leipzig musim ini baru menjalani musim debut mereka di Liga Champions.
Sebaliknya, jalan yang ditempuh Bayern sangatlah terjal. Di babak 16 besar, Bayern harus bertemu Chelsea (Juara Liga Champions 1x), dilanjutkan dengan Barcelona (Juara 5x), lalu dilanjutkan dengan melawan Lyon (semifinalis 2009/2010). Bayern pun mencatat kemenangan 100% dalam perjalanan menuju final.
Jalan yang berat ini bukan berarti membuat Bayern menang sebelum bertanding. Namun, untuk menjadi juara harus mengalahkan semua lawan, sehingga dalam hal ini Bayern lebih teruji. Lalu sisanya terbukti di lapangan. Bayern Munchen menjadi klub pertama sepanjang sejarah yang mencatat 100% kemenangan dalam satu musim Liga Champions. Bayern Munchen memang pantas juara Liga Champions Eropa musim ini.
WWWWWWWWWWW
Bayern are the first team in Champions League history to win every game in a single campaign.
Absolute dominance. #UCLFinal pic.twitter.com/TKyL0Dg2PU— Squawka Football (@Squawka) August 23, 2020
Foto: UEFA
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments