Bisa dibilang saya ini cukup menggandrungi sepak bola, khususnya sepak bola Eropa. Saking menggandrunginya, saya bukan hanya menikmati sepak bola di dalam lapangan saja. Saya juga menikmati bola di luar lapangan dengan ngikutin gosip transfer pemain, info keseharian bintang sepak bola sampai mengkoleksi jersey original klub.

Hanya satu hal di sepak bola yang kurang saya sukai, atau mungkin lebih tepatnya saya males melakukannya. Hal tersebut adalah nyetadion, alias nonton langsung pertandingan bola di stadion. Bagi sebagian orang hal ini terasa aneh. Mengingat mayoritas cita-cita pecinta sepak bola eropa di Indonesia adalah nonton klub kesayangannya langsung di stadion.

Agar pendapat saya tidak terasa terlalu aneh, biarkan saya menjelaskan alasan dari males nyetadion sebagai berikut:

Nggak Ada Replay

Alasan utama saya males nyetadion adalah nggak ada replay momen pertandingan. Meski momen pertandingan bola tak secepat MotoGP, tetap saja ada kemungkinan penonton bisa kehilangan sebuah momen penting pertandingan. Nggak mungkin dong penonton bisa selalu fokus 2×45 menit menyaksikan pertandingan, pemain saja kadang kerap kali tak fokus.

Kalau nontonnya di layar kaca, penonton masih bisa melihat momen penting yang tertinggal di replay. Bahkan, replaynya bukan hanya diulang satu kali saja. Kadang kala diulang sampai beberapa kali. Terlebih bila momennya sangat penting kayak goal, offside tipis sampai pelanggaran keras.

Enggan Ngechant

Terus terang, saya enggan ngechant di stadion. Bukan apa-apa saya itu nggak tau chant klub mana pun. Tak terkecuali klub Eropa yang saya dukung. Paling mentok saya cuma tau chant Timnas Indonesia. Itu pun hanya chant Garuda di Dadaku doang.

Ditambah mulut saya ini nggak ngerti nada sama sekali. Selain itu, pita suara saya juga nggak layak digunakan untuk nyanyi. Dapat memekakan telinga orang lain. Berbagai hal tersebut memantapkan keengganan saya untuk ngechant di mana pun berada.

Pusing Ketika di Kerumunan

Penonton sepak bola di stadion itu bukan hanya 1.000 atau 2.000 orang doang. Rata-rata penonton bola di stadion bisa mencapai puluhan ribu. Bahkan, beberapa stadion di luar negeri ada yang berkapasitas sampai 100.000 penonton lebih. Semua kursi penonton tersebut dapat terisi penuh terutama di laga-laga besar.

Sementara saya ini orang yang mudah pusing dan risih saat berada di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Apalagi kerumunan yang penuh sesak saat masuk, di dalam dan keluar stadion ketika ada pertandingan penting. Saya nggak berani menjudge hal tersebut penyakit fisik atau psikis. Soalnya, saya belum pernah memeriksakan ke ahlinya langsung.

Lebih Nyaman Nonton di Rumah

Setahu saya, supporter yang nonton langsung pertandingan klub kesayangannya di stadion jarang sekali menempati kursinya. Kebanyakan dari mereka nontonnya berdiri sambil memberikan semangat para pemain melalui chant. Tak sedikit juga supporter yang sampai lompat-lompatan sambil nonton di stadion karena terjadi momen menedebarkan seperti peluang terciptanya sebuah goal.

Hal berbeda yang saya lakukan ketika nonton bola melalui layar kaca. Kadang saya nonton pertandingannya sambil berbaring di atas kasur. Terutama saat klub kesayangan saya berhadapan dengan tim medioker macam Manchester United. Sebab, hampir pasti menangnya.

Rawan Tangan-Tangan Jahil

Berdasarkan penuturan orang-orang terdekat yang pernah nyetadion, tak sedikit tangan-tangan jahil di stadion. Maksud dari tangan-tangan jahil di sini adalah copet. Pencopet ini biasanya bergerombol dan pura-pura menjadi supporter. Dengan bergerombol, para pencopet lebih mudah melancarkan aksinya.

Saya rasa situasi pada stadion di Indonesia memang sangat mendukung terjadinya tindak kejahatan. Pasalnya, para penonton lebih fokus ke pertandingan daripada barang bawaan mereka. Ditambah pengaturan tempat duduk yang belum serapih di Liga Inggris serta tim keamanan juga tak terlalu ketat dalam melakukan penjagaan.

Takut Bawa Keluarga

Sebenarnya, jauh sebelum Tragedi Kanjuruhan, saya punya sedikit keinginan untuk nyetadion bersama keluarga. Biar hanya sekali dalam seumur hidup. Ingin rasanya hati ini merasakan bagaimana atmosfer supporter ketika mendukung klub kebanggaannya.

Namun, setelah Tragedi Kanjuruhan terjadi, keinginan saya pupus begitu saja. Bagaimana tidak? stadion yang dulu sempat saya anggap tempat aman untuk didatangi saya dan keluarga pernah menjadi neraka bagi masyarakat Malang. Pasca tragedi tersebut, tak ada sedikit pun terlintas di kepala ingin mengajak keluarga datang di stadion di mana pun berada. Kecuali hanya sekadar untuk stadium tour saat nggak ada pertandingan berlangsung. Begitu sekiranya beragam alasan saya males nyetadion walau sangat menggandrungi sepak bola. Bahkan, adanya Piala Dunia U-17 yang digelar di Indonesia tak meningkatkan sedikit pun minat saya untuk nyetadion.

Foto: SVG Europe

Editor: Pratama